Wilayah yang sudah jadi objek wisata andalan Sulawesi Tengah itu berintikan empat kawasan megalitik. Tiga kawasan masing-masing berupa lembah (Bada, Behoa, dan Napu) di Kabupaten Poso, ditambah satu kawasan dari gabungan Lembah Palu dan Danau Lindu di Kabupaten Sigi. Gabungan tiga lembah di Poso biasa disebut sebagai Lembah Lore Lindu.
“Empat kawasan itu kami namakan Kawasan Megalitik Lore Lindu atau KMLL dan wilayah yang belum tereksplorasi lebih luas lagi dari kawasan intinya,” kata Ketua Unit Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo Romi Hidayat kepada Tempo, Kamis, 5 September 2019. Wilayah kerja BPCB Gorontalo mencakup tiga provinsi: Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.
Kini, BPCB Gorontalo sedang menyiapkan naskah pengajuan daftar sementara Warisan Dunia dengan target tahun depan (2020) sudah diserahkan ke UNESCO. Indonesia mempunyai banyak modal ke arah itu sebagaimana terangkum dalam Kajian Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, September 2018.
Arkeolog lulusan Universitas Udayana itu menjelaskan, luas seluruh wilayah cagar budaya megalitik Sulawesi Tengah 156.126 hektare dengan KMLL seluas 692 hektare. Secara geografis, empat kawasan itu berada di wilayah morfologi Pegunungan Telawi yang memanjang dari Sulawesi Tengah hingga perbatasan Sulawesi Selatan. Sedangkan luas lahan ibu kota baru Indonesia 180 ribu hektare dengan kawasan induk 40 ribu hektare.
Luas seluruh wilayah megalitik Sulawesi Tengah dibuat BPCB Gorontalo berdasarkan hasil kegiatan delineasi sepanjang Juli-September 2018. Kegiatan delineasi merupakan rekomendasi diskusi terpumpun atau focus group discussion (FGD) 23 September 2017 di Gorontalo, yang kemudian dimantapkan dengan penyusunan Pedoman Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu pada 30 Oktober 2017 di Gorontalo pula.
Delineasi berarti pemetaan kawasan yang bertujuan untuk menentukan garis batas ruang KMLL, sebagai dasar pembentukan ruang pelestarian yang meliputi ruang pelindung, pengembang, dan pemanfaatan.
Berdasarkan hasil kajian delineasi diketahui, di dalam KMLL seluas 692 hektare terdapat 118 situs atau lokasi yang berisi 2.007 tinggalan arkeologi di KMLL. Tinggalan arkeologi ini antara lain berupa kalamba/tong batu besar berbentuk silinder, arca menhir, menhir (batu tegak), dakon, lumpang, dolmen (meja batu), batu berlubang, tempayan kubur batu, peti kubur, batu berlubang, altar batu, dan jalan batu.
Menurut Romi, berdasarkan kronologi penanggalan yang diperoleh para peneliti, KMLL merupakan kawasan megalitik tertua di Indonesia. Usia situs-situs megalitik di sana umumnya sebaya, sebagai situs prasejarah atau pra-abad Masehi. Namun, di Situs Wineki di Lembah Behoa ditemukan tulang-tulang tubuh manusia dalam kalamba, yang diperkirakan berkurun waktu 2351-1416 Sebelum Masehi dan kemungkinan punah pada sekitar 1452-1527 Masehi.
Kalamba atau stone-vats merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang sangat penting di KMLL, khususnya di Lembah Lore Lindu. Ada tiga tafsiran fungsi kalamba, yakni tempat pemandian, penyimpanan harta, dan kuburan komunal. Fungsi terakhir paling mengemuka berdasarkan hasil riset terkini.
Berdasarkan hasil penelitian bekas spesialis keanekaragaman hayati di Bank Dunia, Anthony J. Whitten, dan kawan-kawan (1987), desain kalamba sangat mirip dengan tinggalan arkeologi sejenis di “Plain of Jars”, Laos. Dataran guci ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Kalamba atau stone vats di situs Pokekea, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulteng. TEMPO/Abdi Purnomo
Namun, Romi menukas, objek wisata di Laos hanya mengandalkan kalamba. Sedangkan di KMLL jenisnya lebih variatif dalam jumlah situs dan tinggalan arkeologi yang lebih banyak, serta tersebar di area yang mahaluas.
“Bahkan, ada kalamba bermotif gambar alien seperti yang ditemukan di Situs Tadulako (di Desa Doda, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso) yang unik dan masih jadi teka-teki,” ujar Romi. ABDI PURMONO