Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Masa-masa tanpa Beban

Tak lagi bernaung di label besar, Toto lebih leluasa berkarya. Musiknya lebih ”panas”.

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joseph Williams, mantan vokalis Toto, ketika diajak mendukung album terbaru Toto, Falling In Between, merasakan sesuatu yang ber-beda dibanding Toto 20 tahun silam: tak ada lagi pressure dan stress. Itu yang tertulis dalam footnote sampul album Falling In Between (Frontiers, 2006).

Rasa tanpa beban itu jualah yang ki-ni tumbuh pada segenap pendukung kelompok Toto yang terdiri atas Steve Lukather (gitar, vokal), Mike Porcaro (bas), David Paich (kibor, vokal), Simon Philips (drum), dan anggota baru Greg Philinganes (kibor, vokal). Toto kini lebih lepas dan bebas dalam me-nuangkan karya musik.

Pada masa-masa sebelumnya, Toto harus berkonsentrasi dengan karya yang langsung bersinggungan dengan industri: masuk chart Top 40, Hot 100 Singles maupun Top 200 Albums hingga menembus jaringan radio di seluruh dunia. Pendeknya, harus membuat hit. Kini Toto telah menanggalkan tradisi itu. ”No more Top 40 games now,” ung-kap Mike Porcaro yang ikut membesar-kan Toto pada pertengahan 1970-an.

Toto tak lagi bernaung di bawah label besar. Album Falling In Between dirilis oleh label independen. Ini membuat Toto lebih leluasa berkarya. Be-nar-benar tanpa beban. Simak saja la-gu Falling In Between yang menjadi pembuka pertunjukannya di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, sepekan lalu.

Lagu ini bernuansa rock progresif dengan introduksi yang memperde-ngarkan sampling permainan biola dan senandung L. Shankar, pemusik yang selama ini dikenal sebagai anggota grup world music-nya Peter Gabriel. Nuansa musik India tertuang di sana-sini. Belum lagi pola permain-an kibor Greg Phillinganes yang bernuan-sa Timur mengingatkan kita pada Kashmir (Led Zeppelin). Steve Luka-ther mengimbuh distorsi riff gitar yang tebal. Penonton yang mengisi separuh gedung berkapasitas 5.000 orang itu seolah tersedak mendengar sajian terbaru Toto. Mereka hanya menikmati saja tanpa sing a long.

Juga ketika Toto menyambungnya dengan King Of The World, lagu baru lainnya yang bercerita tentang jatuhnya Enron.

Suasana baru mencair ketika Toto meng-hadirkan Pamela dari album Seventh One (1988). Seisi gedung pertunjukan mulai bernyanyi tiada he-nti. Dan seperti biasa penonton memang seolah hanya ingin bernostalgia dengan sederet lagu yang menjadi hits seperti Hold The Line, Stop Loving You, I’ll Be Over You, Rosanna, I Won’t Hold You Back, atau Home Of The Brave dan Africa yang dijadikan encore malam itu.

Suasana musik yang dibangun Toto memang panas terutama ketika membawakan lagu-lagu dari album Isolation (1984) dan Kingdom of Desire (1993) yang kental bercita rasa rock. Na-mun, lagu-lagu seperti Caught In The Act, Cruel, Endless, Isolation, dan Gift of Faith merupakan lagu-lagu yang tak pernah dikenal di Indonesia.

Lukather mengatakan bahwa lagu-lagu yang menjadi repertoar dalam turnya kali ini merupakan hasil jajak- pendapat para penggemarnya di seantero jagat pada situs resmi Toto. Tapi apa mau dikata, penonton Indonesia memang hanya mengenal lagu-lagu Toto yang memiliki sentuhan pop.

Walau tanpa kehadiran David Paich yang berhalangan, Toto tetap memiliki daya tarik. Greg Philinganes, yang juga seorang pemusik studio, adalah pilihan tepat. Pemusik berkulit hitam yang pernah mendukung Stevie Wonder, Michael Jackson, dan Eric Clapton ini juga terampil berolah vokal. Malam itu Phillinganes sebagaimana layaknya pemusik kulit hitam yang soulful tampil sebagai penyanyi utama dalam Let It Go yang bercorak fusion funk dan Africa yang selama ini senantiasa dilantunkan David Paich.

Meski konser malam itu kurang menyentuh wilayah emosional penonton kita, toh ada pelajaran menarik yang bisa diambil dari kiprah Toto, ya-itu upaya untuk survive. Ketika major label mulai tak mengacuhkan sosok mereka, mungkin karena penjualan yang semakin surut, Toto toh masih tegar dengan label yang kurang dikenal. Bahkan di masa-masa pudarnya, popularitas ini mereka hadapi tanpa beban sama sekali. Dan suara tenor Bobby Kimball pun melengkingkan lagu Endless:

Endless are the nights I stay with you

Endless are the dreams you made come true

Denny Sakrie, pengamat musik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus