Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sepuluh penari muda membawakan gerakan tari kreasi yang terinspirasi dari gerakan tari tradisional nusantara. Mereka membukanya dengan gerakan silat khas tari tradisional Minangkabau. Ada pula gerakan Kancet Papatai, tari tradisional suku Dayak Kalimantan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan lainnya adalah agem, sledet (gerakan mata), dan ngelung khas Bali. Ada juga gerakan ngiting pada tari khas Jawa, serta gerakan Sunda Kepret dan geolan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para penari itu sedang berlatih, menyiapkan pentas tari kreasi jelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-74. Koreografer muda Mila Rosinta menciptakan karya seni tari kreasi berjudul Mataya Indonesia. Di studio tari Mila Art Dance di Yogyakarta yang bernuansa interior berwarna merah muda, Mila Rosinta melatih mereka pada Kamis, 15 Agutus 2019. Tari itu disiapkan untuk pentas pada 16 Agustus di mall Yogyakarta.
Mila melibatkan komposer Anon Suneko untuk pentas tari tersebut. “Konsepnya adalah keberagaman Indonesia, mengkreasikan gerakan tari tradisi dari sejumlah daerah,” kata Mila.
Mataya Mila diambil dari Bahasa Jawa, yakni mataya yang berarti penari. Konsepnya terinspirasi dari simbol lingkaran yang banyak ia lihat di candi. Lingkaran bicara soal bagaimana membentuk energi dan berdoa. Lewat tari itulah, mereka berdoa.
Mataya Indonesia mengambil tema persatuan dalam keberagaman dengan pertunjukan tari yang memasukkan gerak tari tradisi nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Dia mencontohkan gerak tari yang menduplikasi karakter silat pada tari khas Minangkabau Sumatera, Bali, Papua, Kalimantan, Jawa.
Konsep tersebut terinspirasi dari Indonesia yang punya sejarah panjang soal keberagaman sejak zaman nenek moyang. Menurut Mila, Indonesia punya kekayaan ragam tradisi, misalnya tari yang bisa direasikan dengan tari kontemporer. “Pesan dalam tari Indonesia beragam dan perbedaan itu tidak perlu dipersoalkan,” kata perempuan berumur 30 tahun itu.
Tari kreasi itu menggunakan peralatan yang menyimbolkan keberagaman, misalnya kipas yang berwarna warni dan kostum yang didesain Mila secara khusus mewakili sejumlah daerah. Untuk mewakili pesan keberagaman dalam tari kreasi itu, Mila melibatkan sepuluh penari dengan berbagai latar belakang.
Mereka di antaranya ada yang berasal dari Kalimantan, Jambi, dan Papua. Para penari itu juga punya latar pendidikan dari kampus yang beragam. Ada yang kuliah di Institut Seni Indonesia, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, serta siswa sekolah menengah atas.
Rini Sugianti, mahasiswi Jurusan Pendidikan Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta memandang keberagaman sebagai suatu keindahan yang perlu dijaga. Dalam seni tari misalnya, keberagaman muncul dari beragam gerakan yang dikreasikan. Rini belajar di studio milik Mila sejak tiga tahun lalu. Bersama Mila Art Dance, Rini menyebutkan seringkali menari dengan tema-tema keberagaman. “Perbedaan dan keberagaman itu indah dan tercermin lewat tari,” kata dia.
Para penari Mataya Mila Art Dance sedang memperagakan tari modern. Foto: Mataya Mila Art Dance
Penari asal Kalimantan Tengah, Yulistia senang karena gerak tari khas Suku Dayak, Kancet dimasukkan dalam tari kreasi Mataya ciptaan Mila. Yulistia yang merupakan mahasiswi Jurusan Seni Tari ISI Yogyakarta menyebutkan keberagaman di Indonesia sudah ada sejak lama dan menjadi berkah.
Mila Art Dance berdiri sejak 2015. Studio tari ini punya kelas-kelas tari tradisi, modern, dan kontemporer. Ada 22 kelas yang Mila Art Dance sediakan untuk peserta, di antaranya kelas K-pop, ballet, tari tradisional Yogyakarta, tari tradisi Bali. Seperti di sekolah tari, setiap peserta harus mengikuti ujian per semester untuk mengukur kemampuan menari.
SHINTA MAHARANI