Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ardi Winangun
Pejalan Backpacker
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan kapal kayu tertambat di Dermaga Mahakam Hilir, Pasar Pagi, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Tak ada sela di antara angkutan umum yang populer disebut perahu klotok itu. Ketika tuannya mencari penumpang di pinggir jalan depan Pasar Pagi, perahu itu kadang-kadang terombang-ambing ketika gelombang Sungai Mahakam ditimbulkan oleh kapal lain yang melintas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dermaga itu, perahu-perahu klotok melayani masyarakat yang hendak pergi ke Samarinda Seberang. Dari dermaga yang disebut Pelabuhan Pasar Pagi itu, bila hendak ke Samarinda Seberang, kita bisa turun di Pelabuhan Kampung Tenun atau di Pelabuhan Batang Pasar (Pasar Sore).
Masyarakat Samarinda banyak menggunakan perahu klotok dari Samarinda ke Samarinda Seberang atau sebaliknya. Dengan transportasi sungai itu, jarak tempuh yang dilalui lebih cepat dibanding lewat Jembatan Mahakam (Mahkota I) atau Jembatan Mahkota II. Para penumpang perahu klotok rata-rata memiliki sepeda motor. Tapi sepeda bermesin itu diparkir di pelabuhan. "Kalau banyak tempat yang perlu disinggahi, saya naik sepeda motor," ujar Bajuri, salah seorang penumpang asal Jember, Jawa Timur.
Tarif untuk menyeberang antarpelabuhan terbilang murah. Apalagi kalau beramai-ramai. Tapi, bila seseorang ingin cepat langsung berangkat, pemilik perahu klotok pun melayani, tapi dengan tarif khusus.
Perjalanan dari Samarinda ke Samarinda Seberang bisa ditempuh dalam waktu singkat. Tak lebih dari 10 menit. Memotong Sungai Mahakam sama dengan menyusuri sungai-sungai besar di Sumatera dan Kalimantan. Tapi, di Mahakam, perahu akan mendapat tantangan ketika berpapasan dengan tongkang yang melintas dengan membawa puluhan ton pasir hitam atau batu bara. Bila melihat tongkang masih jauh, nakhoda perahu klotok melintas di depannya. Tapi, bila kapal tongkang sudah di depan mata, perahu klotok memperlambat lajunya hingga akhirnya melintas di belakangnya. Melintas di belakang tongkang membuat gerak perahu klotok lebih lambat.
Pagi itu, saya hendak pergi ke Kampung Tenun di Samarinda Seberang. Ketika tiba di Pelabuhan Pasar Pagi, salah seorang mendekat dan bertanya. Para pemilik perahu klotok rupanya menyapa orang-orang yang berada di pelabuhan terapung itu untuk menawarkan jasanya. "Hendak ke Kampung Tenun," ujar saya.
Tak tergesa-gesa, saya menunggu dulu beberapa orang lain agar bisa bersama-sama menyeberang. Tujuannya, agar tarif lebih murah. Setelah ada sekitar lima orang, kami menuju salah satu perahu klotok. Perlu berhati-hati bila hendak turun ke dalam perahu. Selain perahu kerap bergoyang karena ombak sungai, tak ada pintu khusus buat penumpang. Biasanya penumpang di sana melewati cucuk perahu. Bahkan bila di perahu tak ada ruang tambat, penumpang harus melewati atap perahu lainnya.
Ketika penumpang sudah berada di perahu yang berdinding seng, mesin menderu. Tak lama kemudian, perahu klotok itu berubah haluan, meluncur ke arah seberang. Di tengah perjalanan, perahu tak hanya berpapasan dengan perahu klotok lainnya atau speed boat, tapi juga berhadapan dengan tongkang. Di sinilah diperlukan kelihaian pengemudi perahu klotok ketika bermuka-muka dengan tongkang yang mengangkut batu bara.
Tak lama kemudian, perahu klotok itu mendekati Pelabuhan Pasar Sore. Pelabuhan ini tak seramai Pasar Pagi. Melintasi Pelabuhan Pasar Sore, kita akan disuguhi panorama bangunan yang tersusun dari kayu ulin. Meski bangunan itu terlihat tidak kokoh, masyarakat yang berada di tempat itu tak peduli. Mereka asyik-asyik saja.
Begitu keluar dari Pelabuhan Pasar Sore, terlihat gapura besar dengan bagian atas berbentuk segitiga sama kaki. Di bawah segitiga itu ada tulisan "Selamat Datang, Kampung Wisata Tenun Samarinda". Untuk sampai ke Kampung Tenun itu, kita harus berjalan kaki sekitar 300 meter.
Kampung Tenun berada di belakang rumah budaya Kampung Wisata Tenun, Kelurahan Tenun, Kecamatan Samarinda Seberang. Dulu kampung itu disebut Kelurahan Mesjid. Memasuki Kampung Tenun, lewat Gang Pertenunan, tampak rumah-rumah penduduk yang saling impit. Rumah-rumah itu ditopang oleh kayu-kayu ulin dengan jarak sejengkal dari tanah agar air tidak masuk bila Sungai Mahakam meluap.
Sarung Tenun Samarinda. FOTO: Ardi Winangun
Ketika menyusuri permukiman Kampung Tenun, di teras atau di samping rumah warga banyak ditemui alat tenun bukan mesin (ATBM). Di tengah kesibukan penghuninya, terdengar suara, klatak… klatak… klatak…. Bunyi yang bersahut-sahutan itu muncul dari depan, samping, bahkan dari dalam rumah penduduk. Bunyi itu muncul ketika perangkat-perangkat ATBM digerakkan penenun saat memintal benang agar terbentuk helaian kain.
Kegiatan menenun di kampung itu biasa dilakukan oleh ibu-ibu. Tradisi menenun sudah lama dilakukan. Salah seorang warga, Sumarni, mengatakan menenun di kampung merupakan tradisi leluhur mereka sebagai orang Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, yang mereka bawa saat merantau ke Samarinda. Kebersamaan sebagai orang Bugis itulah yang membuat kampung itu juga disebut Kampung Bugis.
Di kampung itu terdapat sekitar 200 keluarga. Rata-rata di setiap rumah ada ATBM. Menurut mereka, selain melanjutkan tradisi leluhur, kegiatan menenun bertujuan untuk mengisi waktu di rumah sembari menambah penghasilan keluarga.
Setiap bulan warga kampung itu menghasilkan ratusan sarung, baik sarung perempuan, laki-laki, maupun sarimbit (pasangan). Sumarni dan seorang penenun mengatakan sarung perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam hal motif. Sarung perempuan, kata dia, bermotif etnik Dayak. Sedangkan sarung laki-laki bermotif kotak-kotak, garis lurus, dan pucung rebung.
Di tengah membanjirnya sarung buatan mesin yang berasal dari Jawa, juga iklan-iklan di televisi, masyarakat di kampung itu tetap optimistis bisa memasarkan sarung Samarinda. Fitriani, salah seorang pedagang sarung Samarinda, mengatakan sarung Samarinda sangat khas karena dibuat secara tradisional, yakni dari tangan. "Semakin lama dibuat, harganya semakin mahal," ujar perempuan yang mengaku penerus usaha orang tuanya itu.
Wisa, seorang penenun yang berusia sekitar 70 tahun, mengatakan mampu membuat sarung sekitar 3-5 hari. "Itu kalau tak ada kesibukan saya yang lain," ujar dia. Wisa dan penenun lainnya, Sumarti, mengatakan masalah domestik, seperti mengurus anak dan suami, sering menjadi penghambat produksi sarung.
Pengerjaan yang lama dan rumitnya motif yang mesti dikerjakan membuat harga kain Samarinda mahal. Seorang penenun di sana mengatakan harga satu potong sarung berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta. Hasil pekerjaan tangan penenun kemudian diserahkan kepada pengepul dan selanjutnya didistribusikan kepada pembeli atau dijual di pasar.
Selain di pasar lokal, seperti Pasar Pagi Samarinda dan Plaza Kebun Sayur Balikpapan, sarung-sarung itu dikirim ke banyak kota. "Tapi saya belum pernah mengirim ke Papua," ujar Fitriani. Distribusi barang bisa sampai ke mana-mana. Selain karena ada pemesanan, cara penjualan disesuaikan dengan zaman. "Saya jual juga lewat online," ujar dia.
Seperti produk lainnya, sarung Samarinda asli juga terancam oleh kehadiran sarung Samarinda palsu atau buatan mesin. "Motifnya sama, tapi benangnya palsu," ujar Bunga Rosi, seorang penenun. Bukan hanya itu, sarung yang harganya kelas dua dijual dengan harga kelas satu. "Sarung kelas dua dan kelas satu dicampur," Wisa menambahkan.
Naik-turunnya harga sarung, menurut Fitriani dan penenun lainnya, bergantung pada harga bahan, selain waktu produksi. Menurut dia, sarung Samarinda dibuat dari katun atau sutera. Mereka mendapatkan benang dari Surabaya, Jawa Timur, melalui distributor di kota terdekat. "Saya membeli sarung dari penenun secara cash," ujar Fitriani.
Bagi masyarakat di kampung itu, tenun merupakan usaha turun-temurun. Menurut Sumarni, masyarakat di sana bisa menenun secara alamiah. "Anak-anak penenun setiap hari melihat ibunya menenun, sehingga dengan sendirinya bisa," ia bertutur. Problemnya, sekarang anak-anak muda di sana enggan melanjutkan kegiatan ibunya. Mereka lebih memilih bekerja di tempat lain. Bila masih berkutat pada sarung Samarinda, mereka hanya mau menjadi pedagang. Bunga Rosi mengatakan anak-anak muda enggan menenun karena hasil dari menenun memang cukup lama. "Dapat duitnya baru seminggu setelah produksi," ujarnya. "Biasa, anak muda itu tak mau dikekang."
Rata-rata penenun enggan menjawab apakah kegiatan memproduksi kain tenun itu bisa menopang kebutuhan sehari-hari. Satu pak benang hanya mampu menghasilkan sekitar 20 lembar sarung. Biaya produksi akan bertambah bila ditambah pewarnaan dan penjahitan. "Untungnya sedikit atau malah bisa rugi," kata Bunga Rosi. "Tapi, daripada menganggur, kami tetap menjalankan usaha ini." Pekerjaan suami sebagai sopir perahu klotok di Sungai Mahakam, kata dia, tetap menjadi penopang kehidupan keluarga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo