Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Memikat Penonton dengan Saksofon

Dave Koz Road Show melintasi enam kota bersama album terbarunya, The Dance. Sebuah pertunjukan yang amat menghibur kendati tanpa pembaruan musik yang berarti.


30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA sedikit yang diperlukan Dave Koz untuk menyulap sebuah panggung menjadi penuh daya sihir: sebatang saksofon. Dengan saksofon, Koz meniupkan romantisisme, kegembiraan, percintaan manusia. Suara yang meliuk-liuk, penuh energi, keluar dari lubang alat musik tiup itu, melahirkan harmoni nada yang mempesona ribuan penonton. Cheng Fu, Smile, Silvering, The Dance, dan Together Again adalah beberapa dari belasan repertoar yang dibawakan Dave Koz dalam sebuah road show selama satu minggu lebih. Lagu-lagu itu berasal dari album terbarunya, The Dance, yang dirilis tahun silam. Album inilah yang dia hantarkan kepada penonton di Bogor, Jakarta, Yogya, Bandung, Surabaya, dan Semarang sepanjang pekan silam.

Pergelaran pekan silam itu bukan pertunjukan Koz yang pertama di Indonesia. Musisi asal Amerika ini sudah empat kali memamerkan kelihaiannya meniup saksofon di sini, Namun, baru kali ini ia melakukan road show sepanjang itu. Di Jakarta, Koz malah tampil dua kali: di Hotel Mulia dan Jamz. Sejumlah musisi dan penyanyi lokal mendampinginya di berbagai kota: Ireng Maulana All Stars, Iga Mawarni, dan Syaharani. Maka, penggemar musik jazz Yogya, misalnya, mendapat suguhan istimewa: saksofon Koz mengiringi Syaharani yang melagukan The Dance dalam vokal yang jernih dan matang.

Musik Dave Koz—jazz yang kuat warna popnya—memupuskan citra ini: bahwa musik jazz biasanya dinikmati dengan tenang dan kurang mampu menyedot penonton. Mengapa? Terbukti, tiket Rp 60 ribu sampai Rp 100 ribu tetap membuat penonton memadati Hotel Mulia, Jakarta, New Java Café, Yogyakarta, ataupun Shangri-La, Surabaya. Penonton bahkan berjoget gila-gilaan, tumpah-ruah di atas panggung—sebuah pemandangan tak lazim dalam pertunjukan jazz.

Sementara itu, si peniup saksofon terus menggelitik saraf untuk bergoyang. "I like it," teriak Dave Koz. Gairah penonton membuat aksinya makin menggila. Mulutnya menclok di ujung saksofon, kakinya menyapu seluruh panggung, tubuh membungkuk, kepala menengadah, dan jarinya menari di atas tuts saksofon. Hasilnya? Penonton terpana dengan I'll be There, yang pernah memberinya Grammy Award—penghargaan musik tertinggi di Amerika.

Namun, bukan Grammy semata yang melejitkan nama alumni Universitas California ini. Ia juga dikenal mahir mengambil hati. Berkali-kali lelaki simpatik ini menyalami penonton dalam bahasa Indonesia. "Selamat malam! Indonesia adalah rumah kedua saya," teriaknya, lalu memainkan saksofonnya di antara mereka.

Di sela-sela deretan kursi, ia melengkingkan Together Again. Sesekali ia telentang di pangkuan seorang wanita—sembari terus meniupkan saksofon. Aksi ini mendapat aplaus yang luar biasa. "Ia pemusik dan penghibur yang mampu memadukan daya tarik vokal dan saksofon," ujar Shinta, 35 tahun, penonton asal Surabaya. Dan publik Yogya memberinya tepuk tangan meriah untuk lagu Ruth Sahanaya, Keliru. Koz memang akrab dengan musik-musik Asia.

Sinaran, dari album Sheila Madjid, dan Cheng Fu, lagu Mandarin yang pernah jadi hit penyanyi Nu Ying, adalah musik Asia yang hadir dalam albumnya. Pada 1995, ia merekam lagu Island of the Temples bersama Irianti Erningpraja dari Indonesia. "Musik Asia sangat natural dan itu menarik," ujarnya kepada TEMPO (lihat boks: "Saya Punya Fanatisme pada Musik-musik Asia"). Dan sepuluh tahun terakhir, Dave Koz mengukuhkan diri sebagai saksofonis kelas dunia yang kuat dengan warna smooth jazz.

Album solo perdananya, berjudul Dave Koz, memperkaya koleksi para pencinta musik easy-listening. Setelah itu, lahirlah Lucky Man (1993), Off the Beaten Path (1996), December Makes Me Feel This Way (1997), dan The Dance (1999). Album terbarunya itu, yang merupakan kolaborasi warna pop, R&B, gospel, dan jazzy, tampaknya tak banyak membawa pembaruan yang berarti. Seperti album-albumnya terdahulu, The Dance tetap setia pada warna pop jazz.

"Album ini masih kalah jauh dengan berbagai album sebelumnya. Apalagi dibandingkan dengan Lucky Man," ujar musisi jazz Ireng Maulana. Lucky Man telah mengantarkan Koz kepada sertifikat emas—sebuah penghargaan musik bergengsi di Amerika. Ia juga menyabet gelar double platinum (untuk album asing yang terjual di atas 150 ribu keping) di Indonesia—sesuatu yang, menurut Ireng, akan sulit dicapai The Dance.

Koz sadar akan kekurangan ini. Dan ia berusaha mendongkraknya lewat road show panjang di Indonesia serta di sejumlah negara lain di Asia. Toh, di panggung, ia seolah cuma peduli pada satu hal: memikat penonton dengan saksofon.

Hermien Y. Kleden, Dwi Wiyana, Idayanie (Yogyakarta), Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum