TAK henti-hentinya aib menerpa wajah Mahkamah Agung (MA). Isu vonis palsu dan tawaran suap yang melanda peradilan tertinggi itu belum lagi pupus, kini MA kembali dihantam tudingan miring berupa pemalsuan surat Ketua MA, Sarwata. Surat Sarwata ini berisi penangguhan eksekusi atas perkara utang-piutang di Bandung.
Tuduhan pemalsuan dan isu adanya kolusi di balik penangguhan eksekusi itu tersirat lewat pengaduan pengusaha Sofian Natawidjaja ke Komisi Ombudsman Nasional, yang dibentuk belum lama ini. Dalam pengaduan Rabu pekan lalu itu, Sofian, yang berdomisili di Bandung, didampingi beberapa pengacara dari Kantor Pengacara O.C. Kaligis dan diterima oleh Ketua Komisi Ombudsman Nasional, Antonius Sujata.
Adanya surat Ketua MA yang diduga palsu itu, menurut O.C. Kaligis, amat merugikan kliennya. Sebab, berdasarkan surat itulah Ketua Pengadilan Negeri Bandung urung mengeksekusi lelang empat rumah dan sebuah mobil mewah milik Sukun Natawidjaja. Padahal, hasil lelang diperkirakan cukup untuk melunasi utang Sukun kepada Sofian, yang nilainya sekitar Rp 12 miliar.
Menanggapi laporan Sofian, Antonius Sujata—mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus—segera meminta MA untuk menjelaskan masalah tersebut. Ia juga menyurati pihak kepolisian agar secepatnya melakukan pengusutan. Sampai pekan lalu, MA belum memberi tanggapan. Sofian sendiri berharap agar masalah itu tuntas secepatnya. Keinginan seperti ini tak berlebihan karena menurut Sofian, piutang itu telah berlangsung sejak 1991. Tapi, Sukun, yang berusia hampir 80 tahun dan juga tinggal di Bandung, tak kunjung melunasi pinjaman sebesar US$ 1,6 juta—kini sekitar Rp 11,2 miliar, berdasarkan kurs Rp 7.000 per dolar AS— dan Rp 750 juta.
Sofian memang pernah mengajukan permohonan eksekusi lelang terhadap barang milik Sukun yang dijadikan agunan. Pengadilan Negeri Bandung kemudian menetapkan eksekusinya pada 3 November 1998. Ternyata, eksekusi itu gagal gara-gara ada surat dari Ketua Mahkamah Agung bertanggal 2 November 1998. Isinya meminta agar pengadilan memperhatikan surat-surat bantahan Sukun.
Kecermatan kerja MA layak dipertanyakan ketika Sofian mengaku memperoleh surat kedua yang juga bertanggal 2 November 1998 dan bernomor sama dengan surat pertama tadi. Tapi, isi surat kedua berbeda dengan surat pertama. Pada surat pertama, kalimat pada nomor urut ketiga tak ada, meski di situ tertera angka 3. Pada surat kedua, kalimat pada nomor urut ketiga itu ada. Isinya berupa permintaan agar pengadilan memperhatikan pedoman pelaksanaan tugas. Tanda tangan Ketua MA pada kedua surat tersebut berbeda.
Hal itu tentu saja mencurigakan. Apalagi, menurut Kaligis, kalau berdasarkan surat kedua, mestinya pengadilan bisa mengeksekusi barang jaminan. Namun, karena sudah menerima surat pertama, pengadilan tak berani mengeksekusi.
Setelah pihak Sofian memprotes, Wakil Sekretaris Jenderal MA, Sorta Edwin Simanjuntak, menyatakan bahwa surat pertama yang benar. Tapi beberapa bulan kemudian, Ketua MA justru mengatakan bahwa surat kedua yang benar. "Surat pertama itu sebenarnya masih harus dikoreksi lagi, yang kemudian menjadi surat kedua. Tapi, surat pertama telanjur dikirim oleh staf sekretaris Ketua MA ke pengadilan Bandung," kata Sekretaris Jenderal MA, Pranowo.
Anehnya, setelah ribut-ribut soal surat ganda yang isinya agak berbeda itu, pada 20 Agustus 1999, Ketua MA memerintahkan pengadilan Bandung untuk melakukan eksekusi. Pihak pengadilan lantas merencanakan eksekusi pada 8 September 1999. Eksekusi itu ternyata gagal lagi. Kali ini karena Pranowo menelepon pengadilan agar menunda eksekusi.
Kecurigaan kembali mencuat: kenapa pejabat MA setingkat Pranowo sampai mengintervensi pengadilan? Lantas muncul dugaan adanya kolusi antara Sukun dan Pranowo. Menanggapi tudingan itu, Pranowo kontan menepisnya. "Tak ada kolusi. Proses perkara itu berjalan secara normal," katanya kepada Rommy Fibri dari TEMPO.
Pranowo juga membantah bahwa dirinya menelepon pengadilan Bandung agar menangguhkan eksekusi. "Saya menelepon hanya untuk mengecek benar-tidaknya akan ada eksekusi. Kalau benar, saya mengingatkan pengadilan agar menunggu dulu fatwa dari Ketua MA," ujarnya.
Tentang pemalsuan surat, Pranowo mengatakan bahwa itu tak benar. Kedua surat itu asli dan yang terjadi adalah kesalahan administrasi karena telanjur mengirimkan surat pertama. Ditandaskannya lagi bahwa surat kedua, dengan kalimat pada angka ketiga, adalah yang benar. Inti kalimat itu, katanya, bila kedua pihak beperkara belum sepakat tentang jumlah utang yang disengketakan, eksekusi tak bisa dilakukan. Menurut Pranowo, ketidaksepakatan itu muncul lantaran Sukun justru mengaku Sofian-lah yang berutang kepadanya. Kesimpulan sementara: yang bermasalah bukan cuma Ketua MA dan surat ganda, tapi juga Sukun dan Pranowo.
Happy Sulistyadi, Tomi Lebang, dan Upiek Supriyatun S. (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini