Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Rabu, 13 Maret 2024 diperingati sebagai Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY ke-269. Tanggal itu, tepatnya 13 Maret 1755, telah menjadi hari bersejarah karena bertepatan dengan peristiwa berdirinya Keraton Yogyakarta atau Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakan separuh Nagari (Kerajaan) Mataram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa Hadeging Nagari itu sekaligus menandai berdirinya negara dan pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan segala komponennya, meskipun kala itu belum mempunyai istana atau ibu kota kerajaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghageng II Tepas Purwo Aji Laksana (Kepala Tata Kelola Administrasi/Urusan Rumah Tangga) Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Purwowinoto menceritakan, penetapan tanggal 13 Maret tersebut awal mulanya dikaitkan dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 atau abad ke-18. Usai dilakukan ratifikasi, peristiwa yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tersebut tidak otomatis dipilih sebagai hari lahir bagi DIY.
"Baru tepat sebulan setelahnya, 13 Maret 1755, Kamis Pon, 29 Jumadil Awal tahun Be 1680, Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan Hadeging Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di Pesanggrahan Garjitowati," kata dia, pada 9 Maret 2024.
Purwowinoto menuturkan Sultan HB I mengumumkan secara resmi daerah kekuasaannya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam kesempatan tersebut. Lokasi pemerintahan awal saat itu berada di Hutan Beringan atau Pabringan yang terdapat sebuah umbul atau mata air Pacethokan dan Pesanggrahan Garjitowati.
Asal-usul nama Yogyakarta
Pembangunan pasanggrahan tersebut diprakarsai Sunan Amangkurat IV kemudian diteruskan Sunan Pakubuwono II sampai rampung. Setelah pembangunan selesai, pesanggrahan tersebut diubah namanya menjadi Ayodhya. Nama Ayodhya ini kemudian dilafalkan menjadi Ngayodhya dan Ngayogya. Dari kata inilah kemudian menjadi Ngayogyakarta Hadiningrat yang berarti tempat yang baik dan sejahtera yang menjadi suri tauladan keindahan alam semesta.
Purwowinoto menyatakan, sebelum mendirikan keraton, Sultan HB I mula-mula bertempat tinggal di Ambarketawang pada 9 Oktober 1755. Di sinilah, HB I memerintah sembari mencari tanah yang cocok dijadikan ibu kota kerajaan saat itu.
Sampai pada akhirnya ditemukan Hutan Beringan di antara Sungai Winongo dan Sungai Code. Beliau tinggal di sana sambil menyiapkan rencana ibu kota kerajaan yang akan dibangun.
Pemilihan lokasi keraton
Dengan berbagai macam studi pada zaman itu dan kepiawaiannya dalam arsitektur maupun pembangunan perkotaan, Sultan HB I menentukan bahwa Hutan Beringin yang ada sumber air merupakan tempat yang paling ideal sebagai ibu kota kerajaan atau lokasi Keraton Yogyakarta saat ini.
Keraton Yogyakarta memberikan apresiasi kepada Pemda DIY yang telah berjuang mengupayakan ditetapkannya Hari Jadi DIY setelah melalui berbagai macam kajian. Penetapan Hari Jadi DIY sangat penting agar DIY mempunyai asal usul yang jelas sebagaimana daerah-daerah yang lain yang telah mempunyai hari lahir.
"Keberadaan hari jadi memiliki arti penting bagi masyarakat dan Pemda DIY untuk memantapkan jati diri sebagai landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi juga akan melengkapi identitas diri DIY," ujar dia.
Peringatan Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta tak sekadar mengadakan kegiatan-kegiatan guna menghabiskan anggaran sebagai wujud simbolisasi. Peringatan ini sekaligus memahami nilai-nilai Hari Jadi DIY itu sendiri yang justru merupakan kekayaan batin.
"Tentunya banyak kajian dan indikasi yang digunakan dalam sejarah. Untuk itu, apa yang akan direncanakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat DIY tetap diperlukan adanya kajian kedepannya," imbuhnya.
PRIBADI WICAKSONO