Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bukan hanya gudangnya perguruan tinggi dan objek wisata. Di wilayah sebelah utara Kota Yogyakarta itu, sampai saat ini masih lestari berbagai tradisi unik. Salah satunya Merti Desa Mbah Bregas yang masih dijalani warga Margoagung, Seyegan, Sleman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mbah Bergas semasa hidup dikenal sebagai salah satu pengikut setia Sunan Kalijaga yang ditugaskan menyebarkan syiar agama Islam di wilayah Sleman barat, terutama Margoagung dan sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mbah Bregas oleh penduduk semasa hidup juga dikenal memiliki kepribadian dan jati diri yang kuat, berwibawa, sederhana, serta jauh dari pola hidup mewah.
Pada 1-3 Mei ini, warga Margoagung kembali menggelar rangkaian upacara adat Merti Mbah Bergas itu dengan berbagai kegiatan.
"Upacara ini digelar pasca musim panen raya, sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah sekaligus doa agar ke depan hasil panen tak terganggu kondisi apa pun," kata Lurah Margoagung Sayegan Sleman Djarwo Suharto pada Jumat, 3 Mei 2024.
Perayaan adat Merti Desa Mbah Bregas di Sleman pada 1-3 Mei 2024. Dok. istimewa
Upacara setahun sekali
Pelaksanaan upacara adat Merti Desa Mbah Bregas hanya dilangsungkan satu tahun sekali, tepatnya Jumat kliwon pada Mei dan sudah berlangsung turun temurun sejak zaman Majapahit.
Rangkaian Merti Desa Mbah Bregas itu meliputi pengajian akbar, tarup wayang, pentas seni jathilan, pengambilan air suci, ziarah kubur, kenduri agung, kirab budaya, dan prosesi upacara adat. Ada dua acara inti dalam prosesi ini yakni bersih desa dan kirab budaya.
Lokasi wajib dalam prosesi upacara bersih desa ini terkait dengan lokasi-lokasi yang berhubungan dengan aktivitas Mbah Bregas selama hidupnya, yaitu pohon beringin atai dikenal Ringin Ngino sebagai tempat bertapa, Sendang Planangan yang biasa digunakan Mbah Bregas di masa lampau untuk kehidupan sehari-hari, Kramat sebagai lokasi pertemuan Mbah Bergas dengan Sunan Kalijaga, dan makam Mbah Bregas sendiri.
Prosesi Merti Desa Mbah Bregas
Sebelum prosesi, dilakukan pemberian sesaji di Ngringin (pohon beringin), Sendang Planangan dan Kramat, berupa tumpeng dan jajan pasar. Upacara dilanjutkan ziarah ke makam Mbah Bregas.
Prosesi pengambilan air suci tujuh klenting (kendi) di Tirto Saptomulya Sendang Planangan yang digunakan untuk menyiram pohon beringin dalam upacara itu adalah simbol menghidupkan dan menjaga alam sekitar serta budaya yang hidup. Lalu dilanjutkan dilanjutkan dengan pementasan tradisi cokekan, karawitan, dan macapatan.
Di puncak kegiatan digelar kirab dengan gunungan, lalu prosesi ngalap (mencari) berkah dengan memperebutkan gunungan yang telah dikirab dan didoakan. Akhir dari rangkaian upacara adat ini adalah pengajian dan ditutup dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk.
Pergelaran wayang kulit sendiri sebagai simbol untuk menghormati Sunan Kalijaga, dengan mengambil lakon kepada dakwah Islam yaitu Jimat Kalimasada, Dewaruci, Petruk Jadi Ratu.
"Untuk kirab budaya diikuti perwakilan bregada (seni keprajuritan Mataram) 22 kelompok warga," kata dia. “Mudah-mudahan dengan mensyukuri hasil panen melimpah tahun ini, maka tahun selanjutnya dapat diberkahi dan diberi hasil panen yang lebih melimpah,” Djarwo menambahkan.
Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo yang tampak menghadiri Merti Desa Mbah Bregas dan melakukan prosesi penuangan tujuh kendi air suci di upacara itu menuturkan, tradisi ini hidup salah satunya untuk selalu merekatkan tali persaudaraan antarwarga. "Warga jadi terdorong terus hidup guyub rukun, gotong royong, serta menjaga desa beserta tradisinya,” ujar Kustini.
PRIBADI WICAKSONO