Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 92 tahun yang lalu, tepatnya 30 April 1932, sastrawan Umar Kayam dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur. Nama tersebut dipilih oleh ayahnya sebagai penghormatan kepada filsuf, matematikawan, astronom, dan penyair Persia terkenal, Omar Khayyam. Pria yang sering disapa Uka ini adalah seorang anak dari keluarga priyayi, sehingga ia diberi gelar raden mas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat berkuliah di Fakultas Pedagogik, Universitas Gadjah Mada (UGM), ia meraih gelar sarjana muda pada tahun 1955. Selain itu, Uka juga aktif dalam bidang teater, yang membantu menghidupkan seni teater di kampus tersebut. Ia juga menjadi guru bagi W.S. Rendra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menyelesaikan studinya di UGM, Uka melanjutkan pendidikannya di Universitas New York pada tahun 1963 untuk meraih gelar master. Kemudian, ia melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Cornell pada tahun 1965.
Kayam dikenal luas dalam berbagai bidang, mulai dari sastra, birokrasi, akademisi, sosiologi, budayawan, hingga akting. Sebagai seorang birokrat, ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film di Departemen Penerangan dan juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Perwakilan Sementara (MPRS).
Pengabdian Kayam dalam bidang seni terlihat dari perannya dalam beberapa film di Indonesia, termasuk perannya sebagai Presiden Soekarno dalam film G 30 S/PKI. Ia juga menulis beberapa skenario film seperti "Yang Muda Yang Bercinta" (1977), "Jalur Penang", dan "Bulu-Bulu Cendrawasih" pada 1978.
Selain itu, Umar Kayam juga memiliki sejumlah karya sastra, baik dalam bentuk cerpen maupun novel, seperti "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan", "Sri Sumarah dan Bawuk", "Para Priyayi", "Parta Krama", dan "Jalan Menikung". Karya-karyanya memiliki daya tarik yang kuat bagi pembaca, sehingga beberapa di antaranya seperti "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" dan "Sri Sumarah dan Bawuk" telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.
Tak hanya itu, Umar Kayam juga aktif menulis esai di surat kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, selama 17 tahun. Tercatat ada tiga kumpulan esai yang ditulisnya, seperti "Mangan Ora Mangan Kumpul", "Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2", dan "Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih: Mangan Orang Mangan Kumpul 3". Umar Kayam meninggal pada usia 69 tahun, tepatnya pada 16 Maret 2002 di Jakarta, meninggalkan warisan karya yang berharga.
Perankan Sukarno meski beda haluan politik
Budayawan Umar Kayam mungkin memiliki pandangan yang berseberangan dengan Presiden Soekarno, namun ia tetap bersedia memerankan tokoh tersebut dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Alasannya sederhana: persahabatan dengan sutradara film itu, Arifin C. Noer.
Film Pengkhianatan G 30 S/PKI, yang dirilis pada tahun 1984, merupakan versi rezim Orde Baru tentang peristiwa G30S. Film ini menandai peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Pengalaman Unik di Istana Bogor
Saat syuting film tersebut, Kayam mendapatkan kesempatan istimewa untuk tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan bahkan naik jipnya. Pengalaman ini membuatnya merasakan aura Soekarno secara langsung, bahkan para pelayan di istana pun sempat mengira dia adalah Bung Karno.
Dikenal Sebagai Sastrawan dan Seniman
Meskipun Kayam memerankan Soekarno, ia sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan dan seniman. Ia adalah dosen sosiologi sastra di UGM dan sering terlihat bersepeda di kampus atau bercanda di warung kopi.
Pandangan Berbeda Soal Film
Kayam memiliki pandangan yang berbeda dengan Soekarno soal film. Saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan (1966-1969), Kayam membuka kembali pintu masuknya film barat ke Indonesia, yang sebelumnya dilarang oleh Sukarno.
Selain sastrawan dan seniman, Kayam juga dikenal sebagai penulis skenario film, seperti Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih (1978). Ia juga rajin menulis kolom di berbagai media massa dengan gaya yang ringan dan penuh renungan.
Kakek Nino RAN
Nino RAN atau Anindyo Baskoro anak Sita Aripurnami, putri Umar Kayam. Dengan begitu, menjelaskan bahwa Nino merupakan cucu dari seorang penulis, budayawan, dan akademisi. Selain itu, Umar Kayam juga pernah menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Sastra di UGM, Yogyakarta. Kayam juga terkenal karena novelnya, yaitu Para Priyayi dan kumpulan esainya yang terbit di Tempo dan Kedaulatan Rakyat.
Kepergian Umar Kayam
Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur pada 30 April 1932. Ia meninggal pada 16 Maret 2002, meninggalkan warisan karya-karya yang berharga bagi bangsa Indonesia.
MICHELLE GABRIELA | KODRAT | GERIN RIO PRANATA