Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Inilah pengalaman saya dan nyonya menonton gelaran Ngayogjazz 2018 pada malam Minggu lalu. Kami berkendara ke pelosok Bantul dan tiba sekitar jam delapan malam di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, yang menjadi venue Ngayogjazz tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari parkiran, kami menuju pusat informasi untuk mengambil buklet kemudian menerobos kerumunan massa menuju salah satu panggung. Sebenarnya saya berniat ke panggung besar untuk melihat penampil tenar. Tapi, musik Heroic Karaoke di Panggung Bayan berhasil menawan kami untuk berlama-lama nongkrong di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah Heroic Karaoke, panggung dikuasai oleh empat grup musik dari Jogja Blues Forum. Di gelaran Ngayogjazz 2018 ini mereka punya misi ganda. Selain tampil, mereka juga menyambi memberikan pengetahuan soal sejarah blues pada penonton Ngayogjazz.
Kepala saya tak henti goyang mengikuti musik-musik blues modern, roots, Texas, danflower generation. Dibuka dengan Slow Dancing in a Burning Room-nya John Mayer, “kelas” Jogja Blues Forum ditutup dengan Foxy Lady-nya Jimi Hendrix Experience.
Di sela-sela pertunjukan Jogja Blues Forum, saat para musisi sedang memberi kuliah singkat tentang musik yang mereka tampilkan, tiba-tiba saja ada keriuhan dari ujung jalan. Sekelompok orang dewasa berjalan berbaris sambil bermain musik—marching band.
Tapi marching band yang ini beda. Mereka tidak memainkan alat-alat musik “modern” seperti snare, tom-tom, atau bass drum, dan instrumen brass. Yang mereka mainkan adalah baskom bekas, galon air minum, dan terompet tahun baru. Meskipun demikian, perhatian para penonton terpaku ke mereka—entah benar-benar menikmati atau bingung mencerna kerandoman itu.
Heroic Karaoke di Ngayogjazz 2018/Vidiadari
Tak lama kemudian, lewat sesosok serba hijau—baju, celana, caping, dan kulitnya. Menyusulnya adalah tiga orang bertelanjang dada yang kulitnya dibalut warna hitam. Hendro “Pleret” sang pranata acara menjuluki mereka sebagai “tuyul-tuyul Pantai Samas.”
Memasyarakatkan seni lewat musik jazz
Memang beginilah Ngayogjazz. Festival ini bukan hanya perayaan musik jazz, melainkan seni secara keseluruhan. Seniman-seniman dari berbagai disiplin dilibatkan untuk mengemas sebuah acara kesenian—seni instalasi, seni rupa, seni pertunjukan, dll. Jazz hanya menjadi staf garis depan, pion, kendaraan dalam upaya tanpa henti untuk memasyarakatkan seni itu sendiri.
Dan, menurut saya, upaya ini tidak sia-sia. Kalau kamu sempat main ke Ngayogjazz—tahun depan, mungkin—cobalah lihat sekitar. Sudah barang tentu kamu akan menemukan orang-orang memakai kaos berbau musik. Tapi, jangan heran juga kalau kamu juga akan menjumpai orang-orang yang kostumnya lebih cocok untuk dibawa ke rumah ibadah. Beda dari festival jazz kebanyakan, yang berkeliaran di sekitar venue adalah penonton dari segala kalangan.
Usai menikmati Jogja Blues Forum, saya dan Nyonya bergerak ke Panggung Jagabaya. Kami berdiri di samping sebuah sumur tua dekat panggung. Purwanto dan Kua Etnika baru saja menyelesaikan pertunjukan. Tak lama kemudian pianis legendaris Idang Rasjidi ambil posisi di pojok panggung, bersiap untuk mengiringi Margie Segers dan Tompi dan memungkasi gelaran Ngayogjazz 2018.
Tulisan ini sudah tayang di TelusuRI