Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Semua berawal dari tulisan-tulisannya Pak Dian Basuki di Indonesia. Salah satu user aktif yang merupakan eks wartawan senior Tempo ini kerap sekali menuliskan mengenai pentingnya membaca buku. Di awal tahun, beliau beberapa kali menulis tentang berapa banyak buku yang dibaca tahun lalu, juga ajakan untuk lebih banyak membaca di tahun ini. Membacanya, saya jadi ikut tertantang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sejak tiga bulan akhir tahun lalu saya mulai aktif membaca, tapi intensitasnya tidak begitu kerap. Tak sesering ketika masih remaja dulu. Tentunya, saya tak mau menyalahkan faktor U telah mempengaruhi saya. Ini lebih ke kemalasan saya saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun ini, Bacalah Lebih Banyak Buku betul-betul menjadi pelecut saya. Bulan lalu, sedikit demi sedikit saya mulai membaca dengan baik. Mengisi waktu-waktu luang saya di sela-sela kerjaan kantor dengan membaca buku. Hasilnya, alhamdulillah meski tidak begitu banyak buku yang dibaca, bulan Februari saya berhasil menghabiskan lima buku bacaan.
Sayangnya, bulan Januari adalah kesuraman. Saya hanya menyelesaikan satu buku. Alasannya, selama dua minggu di Bima saya tak banyak membawa buku. Satu buku mengenai Oprah yang saya bawa tak berhasil saya selesaikan. Buku terjemahan yang sangat payah saya rasa. Membacanya jadi enggan. Jadi, bulan Januari saya hanya membaca Wiji Thukul.
Jika semangat membaca saya perolehi dari Pak Dian Basuki, lalu menuliskannya saya dapatkan dari Pak Handoko Widagdo. Melalui tulisan-tulisan beliau, saya mulai belajar mereview buku yang sudah saya baca. Belum sepenuhnya sempurna memang, tapi sedikit demi sedikit saya mulai belajar. Saya baru sebatas menuliskannya sedikit di instagram.
Akhir-akhir ini, saya memang begitu malas membuka dashboard blog. Jadi, pelampiasannya adalah instagram. Merasa begitu malas dan tak ada kalimat saat menghadap komputer di kantor atau laptop di rumah. Saya merasa jengah setiap hari menghadapi dan membaca tulisan di Indonesiana. Tapi, sepertinya ini hanya alasan saja :(