Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas panggung musik itu, Shane Finlan, Mark Feehilly, Kian Egan, Nicky Byrne, dan Bryan McFadden merasuki ribuan remaja Ibu Kota dengan sejumlah lagu pop cengeng, Senin malam lalu. Mereka dikenal dengan label Westlife, sebuah grup boysband asal Irlandia yang sedang naik daun. Di mata remaja, mereka lebih dari itu: Westlife adalah pujaan, pahlawan, bintang yang mampu membuat 100 penonton pingsan karena sesak napas di saat pertunjukannya.
Pentas itudiberi judul East Meets Westlifedibuka dengan penampilan boysband asal Jakarta, Cool Colors. Grup beranggotakan Johandi Yahya, Surya, Ari Wibowo, dan Ari Sihasale itu tampaknya naik ke panggung hanya bermodal semangat dan tampang. Penampilan mereka yang jelek tak dapat didongkrak oleh Johandi Yahya, satu-satunya personel Cool yang bisa membawakan solo vokal dengan baik. Setelah itu, boysband yang lain, Trade Mark, boysband dari Jerman, membawakan beberapa lagu sebelum Westlife beraksi. Dan , bukan main!
Begitu lampu dipadamkan, jeritan membahana mengalir dari segala pojok. Ratusan pasang tanganpara gadis remaja, tentu sajamenggapai-gapai ke panggung. Usaha ini sia-sia saja. Selain panggung terlalu jauh untuk digapai, ada sejumlah petugas keamanan di tepi panggung, siap mengamankan pentas lima anak muda asal Irlandia tersebut.
Lalu, bak adegan di klip video, gadis-gadis muda melempar bunga. Sebuah boneka Bugs Bunny melayang dan, pluk!, jatuh di atas panggung. Bryan McFadden menyambar boneka itu dan menggendongnya sembari bernyanyisebuah aksi yang kian memancing jeritan histeris. Beberapa remaja belasan tahun dalam balutan tank top dan celana ketat yang seksi kontan mengusung beberapa poster. Isinya?"Westlife, you're my hero," atau, "Shane, you know what I mean". Ada lagi poster yang lebih kocak: "Shane, I'm pregnant ."
Histeria penonton praktis menenggelamkan setiap lagu yang dilantunkan lima anak muda itu. Dan suara jeritan kian tinggi saban kali personel Westlife meliukkan tubuhresep khusus semua boysband kala membawakan lagu. Meriah betul suasana malam itu. Tapi, dari segi tontonan, konser Westlife sesungguhnya jauh dari istimewa. Mengapa?
Pertama, kualitas suara yang pas-pasan. Pentas mereka dijalankan dengan cara minus one, yakni musik telah diprogram hingga tak perlu menyajikan band pengiring. Terasa betul betapa mereka hanya memindahkan isi kaset/CD ke atas panggung. Tak ada improvisasi sama sekali. Bandingkan dengan Backstreet Boys, yang kini berada di garda terdepan deretan boysband dunia. Mereka pernah tampil di MTV Unplugged untuk menunjukkan kualitas olah vokal yang lumayan.
Toh, dengan vokal yang pas-pasan, grup musik itu mampu menggoyang Istora. Di sinilah hebatnya daya pikat sebuah produk pop culture: penonton tetap tergila-gila pada apa pun yang disuguhkan Westlife di panggung, tak peduli suara yang keluar dari pengeras suara di Istora Senayan sember, atau "meleset"-nya nada personel Westlife tatkala melagukan More Than Words. Semua kekurangan ini mudah lebur dalam jeritan, dalam histeria. "I wanna know who ever told you I was letting go. Of the only joy that I have ever known ," penonton ikut melagukan syair Swear It Again dalam teriakan.
Apa gerangan yang membuat penonton tergila-gila pada musik boysband ini? "Lagunya enak dan tampang mereka oke," ujar Dea dan Tiara, dua bersaudara yang masih remaja. Westlife ternyata memikat pula penonton usia dewasa. Puspa, 34 tahun, seorang pegawai bank swasta, datang ke pentas itu dengan alasan serupa. Tak aneh, 8.000 lembar tiket seharga Rp 125 ribu ludes jauh-jauh hari sebelum pementasan.
Daya pikat boysband juga amat disadari para label master alias pelaku industri musiksuatu hal yang membuat jenis musik kelompok ini terus bertumbuh. Musik yang enteng, lirik yang gampang dicerna, dan irama yang pas untuk bergoyang adalah kunci memikat pasar. Lalu, ada polesan yang tak kalah penting: tampang penyanyi yang tampan dan seksi, yang menjadikan gadis-gadis muda pasar yang amat potensial. Para produser yang tajam mencium selera konsumen lebih banyak menciptakan lagu dan memberi warna musik. Para artis boysband tinggal bernyanyi dan menggerakkan tubuh.
Dengan trend seperti ini, sejarah boysband terus diwarnai fenomena "patah tumbuh hilang berganti". Cepat berkibar dan mudah tenggelam. Para kritikus musik kemudian melontarkan julukan "boysband" karena, itu tadi, mereka cuma bermodal tampang dan potongan tubuh yahud, kemampuan menari, dan kemampuan bermusik yang minim.
Meminjam istilah musisi Erwin Gutawa, boysband adalah sebuah produk pop culture dan ia menjadi fenomena industri musik. "Dari segi musikalitas, boysband tidak jelek. Hanya, mereka tidak pernah menawarkan sesuatu yang baru," ujarnya kepada TEMPO. Musisi Indra Lesmana memberi komentar lebih keras. "Musik boysband ibarat junk food. Gampang dicerna, dinikmati, tapi sama sekali tidak ada yang spesial. Dan kebanyakan boysband tidak bertahan lama," Indra menjelaskan.
Kenyataannya? Memang demikian. Beberapa boysband yang fenomenal tidak bertahan lama, seperti Jackson Five (era 1970-an), yang melahirkan Michael Jackson, Menudo (1980-an)Ricky Martin adalah mantan personelnya, New Kids on The Block (1980-an), atau Take That dan Boyzone (1990-an). Nama-nama ini pernah luar biasa populer, menjual jutaan keping album, sebelum akhirnya bubar dan masuk daftar sejarah musik pop.
Sementara itu, yang masih bertahan terus berkibar-kibar. Misalnya, Backstreet Boyslahir pada 1996sebuah kelompok musik asal Amerika. Tampil dengan formula stereotip boysbandtampang oke, potongan seksi, dan tubuh lenturBackstreet Boys kini menjadi kelompok vokal paling sukses. Album terbarunya, Millenium (1999), terjual 11 juta keping di Amerika saja.
Sukses ini mendongkrak penjualan sejumlah album lama mereka. Sebuah fenomena yang hanya bisa dijelaskan dengan "keedanan" industri hiburan musik. Dengan cara yang sama pula kita bisa menjelaskan mengapa delapan ribu lebih penonton seolah dirasuki penampilan Westlife yang jauh dari istimewa. Dan di sini pula pelaku industri musik selalu dapat merentang hoki: karena musik yang minimdengan polesan tepatbisa menjadi penuh daya pikat.
Hermien Y. Kleden, Hendriko L. Wiremmer, Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo