Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Musik Minim dalam Kemasan Maksi

Pentas kelompok musik Westlife di Jakarta disambut meriah. Contoh kesuksesan industri hiburan memoles materi musik yang minim dalam kemasan penuh daya pikat.

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istora Senayan bergoyang. Delapan ribuan remaja menghentakkan kaki, meloncat, menjerit, dan melambaikan tangan ketika lampu sorot mengantarkan lima anak muda blonda berwajah manis ke atas panggung. Tubuh mereka yang langsing, lentur, dan seksi terbungkus busana warna pasir hingga kuning, merah, dan hijau yang mencolok.

Di atas panggung musik itu, Shane Finlan, Mark Feehilly, Kian Egan, Nicky Byrne, dan Bryan McFadden merasuki ribuan remaja Ibu Kota dengan sejumlah lagu pop cengeng, Senin malam lalu. Mereka dikenal dengan label Westlife, sebuah grup boysband asal Irlandia yang sedang naik daun. Di mata remaja, mereka lebih dari itu: Westlife adalah pujaan, pahlawan, bintang yang mampu membuat 100 penonton pingsan karena sesak napas di saat pertunjukannya.

Pentas itu—diberi judul East Meets Westlife—dibuka dengan penampilan boysband asal Jakarta, Cool Colors. Grup beranggotakan Johandi Yahya, Surya, Ari Wibowo, dan Ari Sihasale itu tampaknya naik ke panggung hanya bermodal semangat dan tampang. Penampilan mereka yang jelek tak dapat didongkrak oleh Johandi Yahya, satu-satunya personel Cool yang bisa membawakan solo vokal dengan baik. Setelah itu, boysband yang lain, Trade Mark, boysband dari Jerman, membawakan beberapa lagu sebelum Westlife beraksi. Dan…, bukan main!

Begitu lampu dipadamkan, jeritan membahana mengalir dari segala pojok. Ratusan pasang tangan—para gadis remaja, tentu saja—menggapai-gapai ke panggung. Usaha ini sia-sia saja. Selain panggung terlalu jauh untuk digapai, ada sejumlah petugas keamanan di tepi panggung, siap mengamankan pentas lima anak muda asal Irlandia tersebut.

Lalu, bak adegan di klip video, gadis-gadis muda melempar bunga. Sebuah boneka Bugs Bunny melayang dan, pluk!, jatuh di atas panggung. Bryan McFadden menyambar boneka itu dan menggendongnya sembari bernyanyi—sebuah aksi yang kian memancing jeritan histeris. Beberapa remaja belasan tahun dalam balutan tank top dan celana ketat yang seksi kontan mengusung beberapa poster. Isinya?"Westlife, you're my hero," atau, "Shane, you know what I mean". Ada lagi poster yang lebih kocak: "Shane, I'm pregnant…."

Histeria penonton praktis menenggelamkan setiap lagu yang dilantunkan lima anak muda itu. Dan suara jeritan kian tinggi saban kali personel Westlife meliukkan tubuh—resep khusus semua boysband kala membawakan lagu. Meriah betul suasana malam itu. Tapi, dari segi tontonan, konser Westlife sesungguhnya jauh dari istimewa. Mengapa?

Pertama, kualitas suara yang pas-pasan. Pentas mereka dijalankan dengan cara minus one, yakni musik telah diprogram hingga tak perlu menyajikan band pengiring. Terasa betul betapa mereka hanya memindahkan isi kaset/CD ke atas panggung. Tak ada improvisasi sama sekali. Bandingkan dengan Backstreet Boys, yang kini berada di garda terdepan deretan boysband dunia. Mereka pernah tampil di MTV Unplugged untuk menunjukkan kualitas olah vokal yang lumayan.

Toh, dengan vokal yang pas-pasan, grup musik itu mampu menggoyang Istora. Di sinilah hebatnya daya pikat sebuah produk pop culture: penonton tetap tergila-gila pada apa pun yang disuguhkan Westlife di panggung, tak peduli suara yang keluar dari pengeras suara di Istora Senayan sember, atau "meleset"-nya nada personel Westlife tatkala melagukan More Than Words. Semua kekurangan ini mudah lebur dalam jeritan, dalam histeria. "I wanna know… who ever told you I was letting go. Of the only joy that I have ever known…," penonton ikut melagukan syair Swear It Again dalam teriakan.

Apa gerangan yang membuat penonton tergila-gila pada musik boysband ini? "Lagunya enak dan tampang mereka oke," ujar Dea dan Tiara, dua bersaudara yang masih remaja. Westlife ternyata memikat pula penonton usia dewasa. Puspa, 34 tahun, seorang pegawai bank swasta, datang ke pentas itu dengan alasan serupa. Tak aneh, 8.000 lembar tiket seharga Rp 125 ribu ludes jauh-jauh hari sebelum pementasan.

Daya pikat boysband juga amat disadari para label master alias pelaku industri musik—suatu hal yang membuat jenis musik kelompok ini terus bertumbuh. Musik yang enteng, lirik yang gampang dicerna, dan irama yang pas untuk bergoyang adalah kunci memikat pasar. Lalu, ada polesan yang tak kalah penting: tampang penyanyi yang tampan dan seksi, yang menjadikan gadis-gadis muda pasar yang amat potensial. Para produser yang tajam mencium selera konsumen lebih banyak menciptakan lagu dan memberi warna musik. Para artis boysband tinggal bernyanyi dan menggerakkan tubuh.

Dengan trend seperti ini, sejarah boysband terus diwarnai fenomena "patah tumbuh hilang berganti". Cepat berkibar dan mudah tenggelam. Para kritikus musik kemudian melontarkan julukan "boysband" karena, itu tadi, mereka cuma bermodal tampang dan potongan tubuh yahud, kemampuan menari, dan… kemampuan bermusik yang minim.

Meminjam istilah musisi Erwin Gutawa, boysband adalah sebuah produk pop culture dan ia menjadi fenomena industri musik. "Dari segi musikalitas, boysband tidak jelek. Hanya, mereka tidak pernah menawarkan sesuatu yang baru," ujarnya kepada TEMPO. Musisi Indra Lesmana memberi komentar lebih keras. "Musik boysband ibarat junk food. Gampang dicerna, dinikmati, tapi sama sekali tidak ada yang spesial. Dan kebanyakan boysband tidak bertahan lama," Indra menjelaskan.

Kenyataannya? Memang demikian. Beberapa boysband yang fenomenal tidak bertahan lama, seperti Jackson Five (era 1970-an), yang melahirkan Michael Jackson, Menudo (1980-an)—Ricky Martin adalah mantan personelnya, New Kids on The Block (1980-an), atau Take That dan Boyzone (1990-an). Nama-nama ini pernah luar biasa populer, menjual jutaan keping album, sebelum akhirnya bubar dan masuk daftar sejarah musik pop.

Sementara itu, yang masih bertahan terus berkibar-kibar. Misalnya, Backstreet Boys—lahir pada 1996—sebuah kelompok musik asal Amerika. Tampil dengan formula stereotip boysband—tampang oke, potongan seksi, dan tubuh lentur—Backstreet Boys kini menjadi kelompok vokal paling sukses. Album terbarunya, Millenium (1999), terjual 11 juta keping di Amerika saja.

Sukses ini mendongkrak penjualan sejumlah album lama mereka. Sebuah fenomena yang hanya bisa dijelaskan dengan "keedanan" industri hiburan musik. Dengan cara yang sama pula kita bisa menjelaskan mengapa delapan ribu lebih penonton seolah dirasuki penampilan Westlife yang jauh dari istimewa. Dan di sini pula pelaku industri musik selalu dapat merentang hoki: karena musik yang minim—dengan polesan tepat—bisa menjadi penuh daya pikat.

Hermien Y. Kleden, Hendriko L. Wiremmer, Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus