Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim yang Kebal Hukum

Hakim J.M.T. Simatupang dituduh berkolusi pada lebih dari satu perkara. Tapi, ia hanya diperiksa majelis kehormatan dan diamankan di pengadilan tinggi.

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI LUAR kemungkinan dihujat terdakwa—yang tidak bisa menerima vonis yang dinilai tak adil—hakim-hakim tergolong aman. Selain tak terimbas fluktuasi kurs rupiah, hakim juga kebal dari hempasan gelombang reformasi yang menuntut persamaan hukum. Kalaupun terkena kasus, atas nama kemerdekaan yudikatif, hakim punya imunitas untuk tak sembarangan diperiksa polisi. Isu kekebalan itu kembali mencuat, misalnya, ketika hakim I Gusti Ngurah Somya di Denpasar diperkirakan terlibat kasus pemalsuan surat. Pihak kepolisian tak kunjung bisa menyidik hakim Somya karena Mahkamah Agung (MA) tak kunjung mengizinkan polisi untuk memeriksanya. Hal serupa juga terjadi pada hakim tinggi Sorta Edwin Simanjuntak, yang kini menjadi Wakil Sekretaris Jenderal MA. Kalaupun akhirnya kasus hakim diperiksa secara internal oleh MA ataupun Departemen Kehakiman—kini Departemen Hukum dan Perundang-undangan—paling banter sang hakim dikenai sanksi nonpalu. Maksudnya, si hakim dimutasi ke MA atau ke pengadilan tinggi dan tak boleh menangani perkara. Hal itu pernah dialami hakim Sarwono di Surabaya, M. Hatta di Jakarta Pusat, dan juga Somya. Selaku orang yang berprofesi mulia—bahkan sempat dimitoskan sebagai wakil Tuhan yang memutus perkara—sosok hakim pun identik dengan pegawai negeri yang hidupnya sederhana. Padahal, banyak hakim punya rumah di berbagai daerah tempat ia pernah bertugas. Jumlah mobilnya juga sering lebih dari tiga unit. Hakim yang menjadi ketua pengadilan negeri di Jakarta, misalnya, malah menggunakan mobil mewah. J.M.T. Simatupang, yang juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, termasuk salah satu hakim yang beruntung itu. Ia dikabarkan punya lima mobil, di antaranya sedan Mercedes New Eyes, BMW, dan Timor. Gajinya hanya Rp 3 juta sebulan, tapi hakim Simatupang mampu menikahkan putrinya secara mewah di Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta. Adapun kediaman resminya terletak di Kompleks Kehakiman, Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Tapi, ia juga punya rumah mewah di kawasan Lebak Lestari Indah, Lebakbulus, Jakarta Selatan. Bahkan, Simatupang memiliki rumah di beberapa daerah yang pernah menjadi tempat dinasnya, seperti Bandung, Surabaya, dan Makassar. Keempat anaknya tinggal di rumah milik sendiri di Bandung. Gaya hidup hakim Simatupang yang wah sudah dicurigai sejak beberapa tahun lalu, tapi baru kali ini ia diperiksa oleh Majelis Kehormatan Hakim Daerah di Pengadilan Tinggi Jakarta. Itu pun setelah Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra, melaporkannya. Namun, pengusutannya tak berkaitan dengan isu suap, melainkan seputar dugaan kolusi yang dilakukan Simatupang pada beberapa perkara. Perkara yang dimaksud kebanyakan menyangkut transaksi derivatif, seperti perkara Bank Niaga melawan PT Suryamas Duta Makmur, Bankers Trust International (BTI) dan PT Mayora Indah, juga perkara BTI dan Jakarta International Hotel and Development. Pada berbagai perkara itu, hakim Simatupang ditengarai berlaku tak adil dan acap mengakali hukum. Ia juga diduga selalu membagi-bagi jatah perkara tersebut di antara dirinya dan dua rekannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi, tuduhan itu tak bisa dicek kebenarannya karena hakim Simatupang kini sulit ditemui. Baik dia maupun istrinya tak bisa ditemukan di kedua rumahnya di Jakarta Selatan, yang hanya dijaga oleh pesuruh. Sebagaimana para hakim sebelumnya, Simatupang juga tampaknya tak akan bernasib buruk. Hal ini hampir bisa dipastikan karena hakim itu kini dikabarkan menjadi hakim nonpalu di Pengadilan Tinggi Jakarta. Sebenarnya, dia sudah dimutasikan ke Palembang dan kemudian ke Medan, sejak Agustus 1999, tapi tak satu pun dari dua keputusan perpindahan tempat tugas itu dituruti Simatupang. Berarti, sang Hakim berhasil mempertahankan posisinya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di Pengadilan Tinggi Jakarta pun, menurut ketuanya, I Gde Sudharta, Simatupang belum diperiksa oleh majelis kehormatan hakim. Menurut Sudharta, belum ada cukup bukti untuk pelanggaran yang dituduhkan kepadanya. Apalagi, hakim tinggi pengawas pernah menyimpulkan bahwa Simatupang tidak bersalah. Alasannya, apa yang dilakukan hakim itu pada berbagai perkara di atas sudah sesuai dengan prosedur Hukum Acara Perdata. Sementara Simatupang sejauh ini aman-aman saja, tak demikian halnya pengacara Tony Budidjaja dari Kantor Pengacara Darmawan, yang melaporkan hakim itu. Berdasarkan usul Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sunarto, pengadilan tinggi diminta untuk tidak memperpanjang izin praktek Tony selaku pengacara. Kata Sunarto, Tony telah memfitnah Simatupang. Tapi, menurut Sudharta, usul Sunarto—yang membunuh mata pencaharian orang lain itu—belum diputus olehnya. Happy S., IG.G. Maha Adi dan Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus