JANGANKAN jenderal, orang berpangkat kolonel pun masih bisa menikmati "hak istimewa" yang kini populer disebut sebagai kekebalan hukum. Contoh mutakhir adalah Kolonel Hindarto. Sebagai Bupati Tuban, Jawa Timur, ia tidak hanya mengecap dwifungsi, tapi sekaligus mendapat perlakuan khusus dari peradilan antikorupsi. Pendeknya, Hindarto kebal alias tak bisa dituntut ke meja hijau, padahal beberapa indikasi kuat menunjuk pada kesimpulan bahwa ia terlibat korupsi senilai Rp 2,8 miliar.
Dua perwira atasannya, yakni Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Brawijaya dan Gubernur Jawa Timur, tak mengizinkan pihak kejaksaan memeriksa Hindarto. Padahal, dua pejabat sipil, yakni Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Tuban Parastuti dan Direktur PT Semen Gresik Slamet Sumari, sudah resmi menjadi tersangka untuk kasus yang sama.
Kejanggalan yang mencolok itu telah membuat gusar pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur beserta DPR Daerah Tuban dan DPR Daerah Jawa Timur. "Kalau yang diadili cuma pejabat sipil, jelas tidak adil," kata Hutala M. Pakpahan dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Kasus yang melibatkan Bupati Hindarto terjadi pada 1998. Ini berawal dari proyek pembebasan tanah seluas 141 hektare di empat desa di Kecamatan Kerek, Tuban. Tanah yang digarap 725 orang petani itu akan digunakan pabrik PT Semen Gresik. Dengan dalih bahwa tanah itu milik negara, pembebasannya pun harus melalui Pemerintah Daerah Tuban. Maka, dibentuklah tim pembebasan tanah yang diketuai Sekretaris Wilayah Daerah Tuban Soekarman.
PT Semen Gresik pun mengucurkan uang ganti rugi Rp 5,6 miliar. Itu berarti satu meter persegi tanah dinilai Rp 4.000. Ternyata, uang penggantian yang sampai ke rakyat hanya Rp 2.000 per meter persegi. Jadi, dari dana Rp 5,6 miliar, hanya separuhnya yang diberikan ke petani. Sisanya, Rp 2,8 miliar, ditelikung sang Bupati.
Masyarakat baru mengetahui manipulasi itu setelah koran memberitakannya. Warga Tuban merasa ditipu dan muncullah rentetan unjuk rasa ke alamat Hindarto. Warga menuntut agar sang Bupati, yang akan selesai masa jabatannya pada 2001, segera diadili. Belakangan, Hindarto mencoba meredam gelombang protes dengan membangun pelbagai fasilitas umum, di antaranya masjid dan jalan umum. Biayanya diambil dari sisa dana ganti rugi tanah tadi.
Sementara itu, Parastuti—selaku bendahara tim yang rekening banknya digunakan untuk menampung uang ganti rugi—sudah dijadikan tersangka oleh kejaksaan. Demikian pula Direktur PT Semen Gresik Slamet Sumari. Sangat berbeda halnya Hindarto, yang sampai sekarang belum terjamah tangan kejaksaan.
Kekebalan hukum itu bersumber pada dua atasan Hindarto, yakni Panglima Kodam Brawijaya waktu itu, Mayjen Djoko Subroto, dan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo. Kedua petinggi itu tak mengizinkan kejaksaan memeriksa Hindarto. Menurut mereka, perbuatan Hindarto bukan tindak pidana, melainkan hanya kesalahan prosedur. Hal itu berdasarkan hasil pemeriksaan polisi militer dan inspektorat wilayah provinsi.
Kalau bicara sesuai dengan prosedur, Bupati hanya boleh menjadi pengawas pembebasan tanah, bukan berperan langsung sebagai pembebas tanah. Dana pembebasan tanah pun mestinya disetorkan ke kas daerah, bukan ke rekening Parastuti. Kendati jelas telah terjadi penyimpangan, Hindarto hanya dikenai teguran tertulis.
Hindarto sendiri, yang akan pensiun dari dinas tentara dua tahun lagi, menandaskan bahwa dirinya tak melibas uang ganti rugi tanah. "Demi Allah, tak sepeser pun saya mengambil uang itu," ujar kolonel yang berencana mencalonkan diri lagi pada pemilihan Bupati Tuban mendatang ini.
Menurut Hindarto, pemotongan uang ganti rugi tanah sebesar Rp 2.000 per meter persegi yang dialokasikan untuk biaya pembangunan fasilitas umum, pada dasarnya, sudah disetujui warga yang tergusur. Dana itu ditampung di rekening Parastuti karena uangnya bukan pendapatan daerah. Uang itu mampir di rekening Parastuti untuk kemudian disalurkan ke petani.
Namun, kejaksaan dan DPRD tetap berusaha menggiring Hindarto ke pengadilan koneksitas. Alasannya, kesalahan prosedur yang didalihkan itu termasuk pelanggaran hukum. Apalagi uang ganti ruginya semula disimpan di rekening pribadi Hindarto. Setelah diributkan, baru uang tersebut ditransfer ke rekening Parastuti. Uang yang digunakan untuk pembangunan fasilitas umum pun hanya Rp 700 juta. Artinya, masih ada Rp 2 miliar yang terselubung misteri.
Yang jelas, nasib Hindarto belum seburuk rekan-rekannya sesama petinggi daerah. Sebutlah Sudarmono, yang pernah 10 tahun menjadi Bupati Magetan, kini diadili dengan tuduhan mengorupsi dana pengentasan orang miskin sekitar Rp 200 juta. Demikian juga Kolonel (Purn.) M. Zakir, bekas Wali Kota Tegal, yang sudah dituntut 18 bulan penjara plus denda Rp 10 juta oleh jaksa, akibat kasus korupsi sekitar Rp 100 juta.
Hp.S., Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini