Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Xiu Xiu: The Sent Down Girl | ||
Sutradara&Skenario | : | Joan Chen |
Pemain | : | Lu Lu, Lopsang |
Produksi | : | Stratosphere Entertainment |
Xiu Xiu menjalani program barunya itu dengan penuh kesabaran. Namun, saat waktu belajar telah usai, ternyata tak satu pun orang Markas Besar yang menjemputnya. Dalam penantian yang tak berujung, ia tetap memelihara keyakinan bahwa kepulangannya itu akan tiba dan orang dari Markas Besar akan menjemputnya.
Suatu hari, seorang pria muda melintasi tendanya. Ia mengaku sebagai pedagang yang sering berbisnis dengan para petinggi di Markas Besar. Kongkalikong yang rapi telah membuat hubungan sang pemuda dan petinggi tak berjarak. Karena itu, ia mengaku mampu membisiki mereka di sana agar Xiu Xiu bisa segera kembali pulang. Penampilannya yang mengenakan pakaian bergaya Baratsimbol penguasamembuat gadis lugu itu percaya hingga ia memasrahkan keperawanannya. Beberapa hari kemudian, datanglah sejumlah pria yang datang dengan janji sama. "Aku akan segera pulang," ucapnya sambil membersihkan badan setiap kali habis dicabuli pria-pria itu.
Film Xiu Xiu: The Sent Down Girl memang memiliki magnet yang dahsyat. Bukan semata karena ini adalah karya debut aktris Joan Chen yang memulai karirnya sebagai sutradarasebelumnya ia dikenal sebagai aktris Asia yang bermain gemilang dalam beberapa film, antara lain The Last Emperor, Earth and Heaven, dan serial televisi Twin Peaks. Namun, film yang diangkat dari Celestial Bath, salah satu cerita yang termuat dalam novel White Snake, karya Yan Geling ini menyuguhkan sebuah sisi lain dari Revolusi Kebudayaan yang digagas Mao Tse-tung selama 1967 hingga 1976. Dan, Joan Chen menyajikannya secara gemilang.
Lantas mengapa Xiu Xiu harus memasrahkan tubuhnya? Bukankah ia bisa pulang sendiri ke kampung halaman? Revolusi Kebudayaan telah menyerap hidup Xiu Xiu. Ia tidak akan pulang dengan tangan hampa. Tanpa diploma dari Markas Besar, semuanya sia-sia. Ia tak lebih dari gadis dari rakyat biasa. Surat itu akan meluncurkannya ke sebuah kehidupan mewah di tengah rakyat yang tercekik oleh sosialisme. Tapi nyatanya revolusi yang membiusnya itu justru membuatnya menjadi pelacur dengan sebuah "apel" sebagai bayarannya.
Film ini adalah gugatan Joan Chen terhadap Revolusi Kebudayaan yang digagas Maosaat itu Chen seusia dengan Xiu Xiu. Ia mencuplik potongan-potongan film propaganda tentang kemenangan Tentara Rakyat Cina dalam merebut kekuasaan pada 1949. Foto Mao yang terpajang di dalam tenda itu menunjukkan ketidakberdayaan Kawan Ketua itu menyaksikan penyelewengan jalannya gerakan yang digagasnya. Film yang memperoleh banyak penghargaan initujuh Golden Horse (Festival Film Taipei) dan sebagai Film Drama Terbaik (Festival Film Fort Lauderdale)sudah bisa diduga, dilarang beredar di Cina.
Xiu Xiu merupakan anugerah bagi Lu Lu dan Lopsang. Chen memberikan seluruh ruang dalam film untuk keduanya. Lu Lu sadar betul, wajah yang kekanak-kanakan merupakan modal utama yang menopang akting dalam film ini. Dengan akting yang memukau ia berhasil menyuguhkan sebuah kepolosan remaja yang manja dan pemalu. Berbicara dengan bahasa tubuh: gaya melangkah dan cara berbicara, Lu Lu menampilkan kekenesan yang menggoda. Namun, saat terlarut dalam keputusasaan, saat penantiannya tidak berujung, kepolosan itu langsung meruap. Ia berubah menjadi wanita "nakal" yang menyerahkan tubuhnya untuk tujuannya. Penampilannya itu membuat dia meraih penghargaan sebagai aktris terbaik dalam Festival Film Taipei.
Lopsang, yang menjadi lawan mainnya, juga tak kalah istimewa. Aktor Tibet lulusan Akademi Drama Shanghai ini menjelma menjadi pria yang kalah. Ia begitu gagah menaklukkan alam, tapi tak berdaya terhadap wanita. Hilangnya penis karena disabet pasukan musuh menghilangkan jati dirinya sebagai lelaki. Wajahnya yang keras tidak sebanding dengan sikapnya yang tak punya daya.
Butiran salju menutup film ini. Bedil Lao Jin menyalak, melepas derita Xiu Xiu. Kemauan penguasa bagai mesin giling yang bisa melindas siapa saja. Hanya nasib baik yang dapat menghindarkannya.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo