Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Om Liem Mengincar Salim
Liem Sioe Liong menyerbu lagi. Konglomerat gaek itu tengah menyusun strategi guna merebut 103 perusahaan yang kini "disita" pemerintah. Untuk mendanai perebutan itu, Om Liem menggandeng Temasek Holding, perusahaan investasi milik pemerintah Singapura. Sampai pekan lalu, konsorsium Temasek, Om Liem, dan beberapa perusahaan lain itu sudah mengumpulkan dana US$ 700 juta.
Seorang pejabat tinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengakui manuver ini. Tapi ia menegaskan, Om Liem dan konco-konconya belum pernah mengajukan penawaran resmi. Sementara itu, Kepala Divisi Pengelolaan Aset BPPN, Dasa Sutantio, mengingatkan dana "Om Liem Group" itu, kalaupun benar ada, masih terlalu kecil untuk membayar seluruh aset Salim. "Kalau US$ 3 miliar, bolehlah pikir-pikir," katanya.
Lo, kok cuma US$ 3 miliar (Rp 24 triliun)? Apa cukup untuk melunasi utang Om Liem kepada pemerintah? Sebelum ini, pemerintah telah mencairkan aset Salim di empat perusahaan (termasuk Astra International dan Indofood), dengan hasil Rp 4,3 triliun. Itu berarti, jika penawaran Dasa benar, total aset Salim yang ada di BPPN cuma Rp 29,5 triliun, tak sampai separuh dari pinjaman Salim yang jumlahnya Rp 62,5 triliun (Rp 48 triliun pokok, plus tambahan bunga).
Jadi? Tak ada jalan lain: kalaupun transaksi ini gol, agaknya Salim harus menyerahkan kembali aset yang diborongnya itu untuk menomboki kekurangan utang. Atau, ketimbang repot-repot, mbok utangnya dibayar tunai saja.
***
Main Mata di Astra?
Satu bulan untung lima persen. Pada zaman paceklik seperti ini, usaha apa yang bisa menggandakan uang secepat itu? Bagi Lazard Asia Fund, jawabannya adalah membeli saham Astra International.
Hitung saja. Akhir Maret lalu, bersama konsorsium Cycle & Carriage Ltd. (C&C), Lazard mendapatkan tender pelelangan saham Astra pada Rp 3.700. Kamis lalu, lembaga keuangan Hong Kong ini melepaskan Astra kepada C&C pada Rp 4.055. Hampir sepuluh persen, dalam tempo tak sampai dua bulan. Dan karena jumlah transaksinya gede-gedean, keuntungan bersih Lazard memainkan Astra hampir Rp 37 miliar.
Lo, kok bisa? Itulah lihainya Lazard. Ada yang menduga, lembaga keuangan yang dekat dengan politisi Poros Tengah dan mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier itu sudah mendapatkan "janji" dari C&C, sebelum berpatner dalam tender Astra. Kalau C&C menang, begitu kira-kira janjinya, jatah Lazard akan "diambil" dengan sejumlah premium.
Premium yang diberikan C&C memang mencengangkan. Sepanjang pekan lalu, harga saham Astra di Bursa Jakarta terus tertekan dan berkisar pada Rp 3.000. Toh, C&C berani memberi premium 35 persen untuk saham yang cuma 3,9 persen itu.
Pertanyaannya: mengapa C&C tak membeli dari pasar saja? Kalau bisa seberani sekarang, mengapa C&C menawarkan harga begitu murah untuk 38,5 persen saham yang dilelang pemerintah? Apa karena mendapat jaminan pasti menang? Banyak pertanyaan yang tak terjawab.
***
Rupiah Tak Juga "Greng"
Obat kuat ternyata tak cukup ampuh mendongkrak rupiah. Penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dan Dana Moneter Internasional (IMF), Rabu lalu, mestinya bisa jadi semacam viagra bagi nilai tukar rupiah. Tapi ternyata harga dolar tetap tak bisa ditekan di bawah Rp 8.000.
Betul, kurs rupiah memang sedikit menguat jadi Rp 8.400 per dolar. Tapi penguatan itu bukan karena LoI melainkan aksi-jual-rugi spekulan yang "kepanasan" gara-gara memborong dolar pada Rp 8.700. Para pemain pasar valuta asing yakin, pemborongan dolar akan marak lagi jika harganya sampai Rp 8.300.
Nafsu berburu dolar ini tampaknya bakal kian berkobar karena suku bunga dolar diperkirakan akan terus menanjak. Para analis memperkirakan, dalam sidang akhir Juni nanti, Dewan Gubernur Bank Sentral Negara Bagian Amerika Serikat sekali lagi akan menaikkan suku bunga dolar dari 6,5 menjadi 7 persen. "Saya tak terjekut jika naik lagi 1 persen sampai akhir tahun nanti," kata ekonom regional Thomson IFR Sidney, George Worthington. Dengan kata lain, daya tarik dolar akan makin moncer.
Jajak pendapat Reuters memang menyimpulkan lain. Poling terhadap 90 ekonom dan analis se-Asia itu memperkirakan, akhir tahun ini nilai tukar dolar terhadap rupiah justru akan menurun menjadi Rp 7.410 dan Rp 7.369 pada Juni tahun depan. Jadi, rupiah makin "greng"? Betul, jika dibandingkan dengan posisi hari ini. Tapi, Januari lalu, jajak pendapat yang sama menyimpulkan harga dolar akhir tahun nanti hanya Rp 6.685.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo