Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Febrianti
Wartawan Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim ombak telah tiba. Suasana itu langsung terasa di atas kapal cepat Mentawai Fast yang saya tumpangi ke Tuapeijat, Pulau Sipora, Ibu Kota Kepulauan Mentawai. Di geladak atas, di bangku-bangku dengan pemandangan terbuka sudah dijejali turis asing yang akan surfing ke Kepulauan Mentawai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bercakap dalam beragam bahasa-Spanyol, Inggris, Italia, Prancis-sambil memandang laut di Selat Mentawai yang berkilau biru pekat. Langit cerah, buih ombak membentuk dua garis putih di belakang kapal.
Seperti tahun lalu, musim ombak di Mentawai dimulai pada Maret dan berakhir Desember. Dan puncak musim ombak akan terjadi pada Juni hingga November. Pada pertengahan Mei, saat saya datang, ombak yang besar mulai bermunculan di mana-mana.
Ombak Mentawai sudah dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia, menjadi impian para peselancar. Pada setiap musim ombak, lebih dari 7.000 turis asing dari berbagai negara, seperti Australia, Prancis, Brasil, Amerika Serikat, Jepang, dan Spanyol, akan datang bermain di 73 spot surfing yang tersedia di sekujur Kepulauan Mentawai.
Setelah kapal menempuh perjalanan selama 3 jam dari Padang, akhirnya daratan Pulau Sipora terlihat, kapal merapat di Dermaga Tuapeijat di teluk yang tenang. Saya berdesakan turun dari kapal dengan penumpang lain.
Para peselancar menunggu papan selancar mereka diturunkan dari bagasi kapal. Di sisi kapal, beberapa boat sudah menunggu, yang akan membawa peselancar ke resor di pulau-pulau kecil di titik lokasi surfing. Kepulauan Mentawai memiliki 107 pulau dengan empat pulau besar: Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan.
Bagi peselancar berkantong tebal, resor tempat menginapnya adalah yang akan mempermudah akses mereka ke spot ombak. Walaupun harus membayar mahal, sekitar Rp 2,1 juta hingga Rp 5 juta per hari, semua kebutuhan mereka sudah ditanggung, dari makan hingga urusan mengantar ke spot ombak. Mereka datang per grup dan mengambil paket berselancar selama 10 hari atau 15 hari.
Peselancar tanpa grup kebanyakan menginap di homestay di pantai yang dikelola masyarakat. Lebih murah dan tinggal menyewa boat yang akan mengantar ke lokasi surfing. Sebenarnya tidak bisa juga dikatakan murah, karena sewa boat ke lokasi surfing cukup mahal, sehari tarifnya sekitar Rp 3,5 hingga Rp 4 juta. Tapi ini bisa disiasati dengan berbagi biaya bersama peselancar lainnya dalam satu boat. Tidak ada yang benar-benar murah untuk berlibur ke Mentawai.
Saya sendiri ke Tuapeijat ingin memperluas perjalanan ke pantai-pantai yang belum pernah saya kunjungi di Pulau Sipora. Banyak pantai indah di sini, saya hanya pernah datang ke dua pantai terdekat di Tuapeijat, Pantai Jati dan Pantai Mapadegat. Kedua pantai itu indah, alami, dan menjadi lokasi wisata bagi penduduk setempat. Pantai Mapadegat juga menjadi favorit peselancar asing karena ada spot ombak bagus di depannya, namanya ombak Telescope.
Saya menginap di Oinan Guest House, berada di ketinggian Mapadegat yang berjarak 1 kilometer dari pantai. Dari jendela kamar bisa terlihat birunya laut dengan garis-garis ombak yang putih berkilauan berlarian ke pantai. Ini homestay dengan bangunan dan tamannya dikelola mirip resor, tempat yang sangat tenang dan hijau oleh pohon di belakangnya.
Sore harinya saya diajak teman saya, Desti Seminora, berkeliling pulau-pulau kecil di depan dermaga Tuapeijat. Desti juga Kepala Dinas Pariwisata di Kepulauan Mentawai.
Kami naik boat dari dermaga menuju Pulau Umat Siteu yang hanya berjarak "sepelemparan batu" dari dermaga, hanya 5 menit sampai di depan Pulau Umat Siteu. Lalu masuk ke dalam labirin mangrove yang tumbuh berkelompok seperti pulau-pulau kecil di tengah laut yang berwarna biru muda.
Airnya sangat jernih dan banyak terumbu karang otak yang tampak bulat-bulat di dalam air. Boat kami harus sering menghindar agar tidak merusak karang otak di bawah sana. Ingin sekali saya terjun berenang ke dalamnya.
"Pulau mangrove ini bagus sekali dikembangkan untuk wisata kano," kata Desti. Saya mengangguk setuju. Keindahan mangrove dan karang otak itu benar-benar unik.
Kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Awera, sekitar 10 menit perjalanan. Di pulau ini terdapat banyak resor yang dikelola warga negara asing dan pekerja lokal dari Mentawai.
Banyak spot ombak di dekatnya, ada Ombak Tidur, Ombak Ice Lands, Stone, dan Suiciders. Boat kami mendarat di depan Resor Awera. Ada seorang pria asing di pantai sedang menenteng papan surfing. Ternyata itu Kepa Munecas Alvares, manager resor yang akan bermain surfing. Hari ini dia hanya kedatangan tiga tamu dari Bali dan Swiss. Kepa berasal dari Spanyol, penggila surfing dan dua tahun lalu bergabung dengan tiga temannya mengelola Resor Awera.
"Di sini amazing. Kalau ombak bagus, tiap hari saya bisa surfing," katanya. Para peselancar lain terlihat mengenakan gelang warna hijau. Itu gelang penanda mereka sudah membayar retribusi selancar ke Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai.
"Seorang peselancar asing akan membayar retribusi Rp 1 juta untuk 15 hari bermain ombak," kata Desti kepada saya. Pulau Awera berpasir putih dan lembut. Ombak di pantainya tidak terlalu besar. Tapi di depannya, sekitar 500 meter, ada Ombak Suiciders yang dijuluki ombak bunuh diri karena di bawahnya terdapat banyak karang tajam. Hanya peselancar profesional yang berani bermain di tempat itu. Setelah berkeliling Pulau Awera, kami kembali ke Tuapeijat saat sore hari.
Esok harinya cuaca sangat cerah. Saya senang sekali karena pagi ini akan ke Pantai Katiet, Sipora Selatan. Mengarungi hampir separuh garis pantai Pulau Sipora. Kalau dengan kapal antarpulau-hanya ada pada Senin dan Jumat-perjalanan bisa memakan waktu 4 jam. Tapi dengan menyewa boat, bisa dicapai hanya dalam 1,5 jam perjalanan.
Saya dan beberapa teman meluncur dengan boat dari Dermaga Tuapeijat. Matahari bersinar terang. Laut biru berkilau seperti kaca. Tiba-tiba saja ada beberapa ekor lumba-lumba mengikut boat kami, berenang melompat di buih yang putih. Tapi tidak lama.
Masuk ke perairan bagian barat Pulau Sipora, ombak mulai tinggi karena berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Saya makin tak sabar ingin segera tiba di Katiet. Katiet sangat terkenal akan keindahannya dan ombaknya yang tinggi. Kejuaraan surfing internasional, seperti World Champions Surfing Series Mentawai dan Mentawai International Pro Surf Competition, selalu digelar di Katiet.
Akhirnya kami tiba juga di Katiet. Ternyata benar, lautnya sangat indah, dengan latar Pantai Katiet yang dipagari barisan pohon kelapa. Di tengah laut sudah ada tiga kapal yang sedang nongkrong membawa peselancar. Beberapa peselancar sedang antre bermain di ombak Lance's Right, salah satu ombak paling terkenal di Katiet. Ombaknya tinggi dan bergulung ganas. Bahkan ujung ombak yang besar itu juga menerpa boat kami yang langsung oleng. Boat mendarat di pantai dan kami diperintahkan oleh operator boat harus segera melompat ke air karena boat tidak bisa lama menepi.
Begitu menjejakkan kaki di pantainya yang putih, saya langsung terkesima oleh keindahan Pantai Katiet. Begitu berbeda dengan pantai-pantai lain di Mentawai. Lautnya sangat biru, bukan biru toska seperti warna laut lainnya di Mentawai. Pasirnya putih dan sebagian dari pecahan terumbu karang yang tajam terkena empasan ombak. Lautnya dalam gradasi warna biru muda dan biru tua, sementara buih ombak yang putih bergulung ke pantai. Inilah pantai paling indah yang pernah saya lihat.
Di pantai ada pria muda berbadan tegap sedang berenang bersama dua anjingnya. Andre, teman seperjalanan saya yang juga pemain surfing, langsung mengenalinya. Dia Teiki Ballian, pemilik resor Hollow Tree's yang ada di tempat ini. Saya juga berkenalan dengan Teiki.
"Ombak hari ini lumayan bagus, jadi banyak yang main. Kalau kemarin, sangat bagus. Barrel-nya sempurna dan panjang," kata Teiki kepada kami. Keunikan ombak itu, kata Teiki, karena pemain surfing bisa masuk ke barrel-nya sepanjang 100 meter.
Di ombak Lance's Right yang hanya berjarak 100 meter dari pantai inilah beberapa kali digelar kontes surfing internasional. "Ini ombak kanan nomor 5 di dunia, dan semua orang tahu," kata Teiki.
Ombak itu juga sangat berbahaya, sehingga hanya satu orang yang bisa bermain untuk satu kali ombak agar tidak tabrakan. "Saya tidak berani lagi surfing di sini. Dulu pernah terseret ombak, dijatuhkan dari ketinggian dan dihunjamkan ke dasar laut. Selama 2 menit saya dibentur-benturkan ke dasar laut dan tidak bernapas," kata Andre menimpali.
Bagi Teiki, ombak Mentawai-lah yang terbaik di dunia, karena beragam dan disukai semua pemain surfing. Selain itu, pantai dan laut di Mentawai sangat bersih. "Hawaii boleh punya ombak yang paling besar, tapi ombak yang terbaik itu ada di Mentawai," kata Teiki, yang sudah 20 musim bermain surfing di Mentawai. Ia mulai berselancar di Mentawai sejak berusia 13 tahun saat dibawa kedua orang tuanya yang memiliki kapal pesiar untuk berkeliling dunia, termasuk ke Mentawai. Dia dibesarkan di kapal.
Sejak setahun yang lalu Teiki memutuskan membuka resor dengan 8 kamar di Katiet. "Pantai di sini benar-benar yang paling indah, dan warga kampungnya sangat baik. Dari 11 pekerja yang mengelola resor, sembilan orang adalah warga asli Mentawai dari Katiet," kata Teiki.Kami menikmati pantai di Katiet hingga hari mulai petang. Pemain surfing masih terlihat rela antre menunggu giliran merasakan ombak Lance's Right. Dalam perjalanan pulang, saya melihat satu keluarga peselancar asing dan seorang anak balita sedang naik boat berkeliling menikmati laut Katiet. Kami saling melambaikan tangan.
Cara ke Lokasi Surfing di Pulau Sipora, Mentawai
- Dari Padang ke Tuapeijat ada kapal cepat Mentawai Fastdi Pelabuhan Muara Padang yang terletak di tengah kota, jaraknya 21 kilometer. Mentawai Fast menempuh 3,5 jam ke Tuapeijat dengantiket Rp 250 ribu per orang. Jadwal kapal cepat ini empat kali seminggu. Berangkat pada pukul 07.00 WIB dan pada hari yang sama kembali lagi ke Padang pukul 15.00 WIB.
- Sampai di Tuapeijat, menuju lokasi surfing--kecuali di Pantai Mapadegat yang bisa langsung bermain--dengan mencarter boat. Dengan kisaran harga Rp 3-3,5 juta per hari. Datang berkelompok lebih dianjurkan agar bisa menghemat biaya. Untuk penginapan, bisa memilih homestay yang dikelola masyarakat lokal yang terdekat dengan lokasi surfing.
- Pilihan lainnya yang nyaman tapi dengan tarif lebih mahal adalah ikut paket surfing yang ditawarkan resor. Dalam paket ini, peselancar dibawa dari Padang, kemudian mendapat akomodasi, makan, dan akses perahu harian ke spot ombak. Harga paket per hari sekitar Rp 2,1 juta hingga Rp 5 juta. Satu paket untuk 10-15 hari.
- Selain di Sipora, spot ombak paling banyak ada di Siberut Barat Daya di Pulau Siberut. Ombak yang paling besar ada di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Bisa menyewa boat dari Tuapeijat untuk sampai ke sana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo