Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tiga daun pisang terbentang di samping tenda. Satu menindih dua yang lain. Melapis. Kami, 12 orang, mengelilinginya. Duduk bersila. Menyantap makanan yang terhidang di atasnya. Kami saling bersenda gurau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu adalah makan malam pertama kami pada acara Jambore Jejak Petualang Community Indonesia 2019. Sekaligus makan malam yang membawaku ke masa lalu. Bernostalgia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai anak petani, makan beralaskan daun, itu hal biasa. Dulu, ketika sekolah dasar. Hampir setiap hari. Karena tiap pulang sekolah, wajib pergi ke ladang membantu orang tua.
Di ladang, makan beralaskan daun itu hal paling mudah dan efisien. Tidak perlu mencucinya setelah makan, seperti menggunakan piring. Usai makan, tinggal buang ke bak sampah. Daun-daun itu akan membusuk. Lalu menjadi pupuk kompos.
Banyak daun yang biasa dijadikan alas makan. Jenis daun yang lebar terutama.
Misalnya, daun dari jenis keladi. Karena ukurannya yang besar, daun ini disebut juga daun kuping gajah. Tanaman ini banyak tumbuh di rawa atau tanah berair. Sehingga biasa dipakai ketika di sawah.
Daun jati juga kadang dipakai, jika daun yang lebih lebar tidak ada. Karena ukurannya yang tidak terlalu besar, biasanya daun ini dilapis, dua sampai tiga lapis dengan posisi melebar.
Daun pisang adalah yang umum. Karena bentuknya memanjang, daun ini bisa dipotong-potong sesuai kebutuhan jumlah orang yang mau makan.
Bisa juga tidak dipotong. Makanan langsung ditaruh di atas daun memanjang mengikuti panjang daun, lalu yang mau makan duduk mengelilinginya. Terus bersantap ria. Seperti makan malam pertama kami di acara jambore yang menghadirkan 150 anggota komunitas jejak petualang se-Indonesia di eks lapangan golf Cibodas, Jawa Barat itu.
Hidangan makan malam itu sederhana saja. Nasi putih yang dimasak seadanya–matang berkerak–, sarden kaleng yang dihangatin, chicken nugget, sosis, dan indomie rebus.
Ditambah candaan di setiap suapan. Menceritakan kebodohan sendiri. “Aku kok bodoh ya selalu mau mentraktir kalian makan,” kata Istiqomatul Hayati, salah satu teman yang ikut makan. Bunda, begitu aku sering memanggilnya, adalah teman kantor kami yang memang suka mengajak kami makan. Dan seringkali ajakan makan ini bertujuan agar dia punya teman bergosip. Siapa yang tidak mau ditraktir makan? Apalagi imbalannya cuma bergosip ria. Haha…
Gigi mengunyah. Mulut terbuka lebar tertawa lepas.
Perut kenyang. Jiwa senang.
Makan malam itu membersitkan rindu pada keluarga.
Tapi itu makan malam yang nikmat. Coba sesekali, makan bersama hanya beralaskan daun pisang.
Tulisan ini sudah tayang di Martinrambe