Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Nyaris Punah, UI Melestarikan Tari Shangyang Dedari

Tari Shangyang Dedari hanya ada di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali. Seni tari yang nyaris punah ini dilestarikan oleh Universitas Indonesia.

12 November 2019 | 18.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Soft launching Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha, untuk melestarikan seni tari Sanghyang Dedari Giri Amertha. TEMPO/Ludhy Cahyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Karangasem - Bermula dari sebuah riset yang dilakukan Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Saraswati Putri, terhadap tari Shangyang Dedari – ritual pemujaan bumi. Ia menyimpulkan tarian ini nyaris punah, lalu melaporkannya kepada fakultas, untuk memulai langkah-langkah penyelematan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tari Shangyang Dedari termasuk dalam delapan tarian di Bali yang masuk dalam situs warisan budaya, UNESCO. Tarian ini bukan sekadar seni budaya, namun ritual yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masayarakat di Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu, Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) FIB UI yang terdiri atas LG Saraswati Putri dan Dosen Arkeologi FIB UI   Ali Akbar berkolaborasi dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI (DRPM UI) serta Masyarakat Adat Geriana Kauh meresmikan “Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha” pada Selasa (12/11) di Desa Adat Geriana Kauh. Peresmian dihadiri oleh Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumantri, Direktur RPM UI Dede Djuhana, Dekan FIB UI Adrianus L.G Woworuntu, serta Ketua Desa Adat Nyoman Subratha.

Pendirian museum ini didasarkan atas semangat tim Pengmas FIB UI, dengan dukungan masyarakat untuk mencegah punahnya tradisi ritual tarian panen di wilayah Bali. “Harapannya, pendirian museum berbasis komunitas yang diharapkan dapat menjadi wadah dokumentasi serta pelestarian Tari Sang Hyang Dedari, lontar dan kebudayaan lain bagi masyarakat setempat maupun turis lokal dan mancanaegara, ujar Kepala Humas UI Rifelly Dewi Astuti dalam siaran persnya.

Launching museum melibatkan Desa Adat Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali. TEMPO/Ludhy Cahyana

Museum dengan luas bangunan berkisar 100 meter persegi ini berdiri di tengah Desa Adat Geriana Kauh yang asri, hijau dan sarat budaya. Desa setempat dikenal sebagai desa dengan sawah padi organik yang memiliki daya tarik wisatawan. Pendirian Museum telah dimulai pada 30 Oktober 2016 dan fisik museum telah tuntas diselesaikan pada akhir November 2018.

Pengerjaan Museum sempat terhenti akibat diterpa bencana meletusnya Gunung Agung pada September 2017. Namun, bangunan tetap berdiri kokoh dan penataan interior serta diorama yang menampilkan Tarian Sang Hyang Dedari dan kebudayaan lainnya tetap dilanjutkan.

sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia. Saat ini, Desa Adat Geriana Kauh menjadi satu-satunya Desa di Bali yang secara konsisten menjalankan praktik ritual Tari menyambut panen “Tari Hyang Dedari”. Tarian ini melibatkan anak-anak perempuan sebagai penari, komunitas penyanyi gending, dan seluruh masyarakat desa untuk mempersiapkan ritual persembahan lainnya.

“Di tengah dinamika globalisasi yang menjadikan sebagian wajah Bali sebagai Kota Metropolitan, kami memiliki kekhawatiran bahwa Tarian Sang Hyang Dedari akan terancam punah,” ujar Saraswati.

Saraswati dan tim telah terjun langsung ke Desa Adat tersebut sejak tahun 2016, untuk memahami, berafeksi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat, “Kami melihat bahwa masyarakat Desa Adat Geriana Kauh menyadari akan pentingnya melestarikan warisan budaya leluhur mereka. Untuk itu, kami menggagas pendirian museum ini sehingga dapat menopang keberadaan Tari Sang Hyang Dedari,” ujar Saras.

Usai peluncuran, museum tersebut diserahkan pihak UI kepada masyarakat sehingga bangunan menjadi milik komunitas yang nantinya akan dijalankan untuk kepentingan warga desa. “Kami mengarahkan warga adat setempat untuk dapat mempertahankan tradisi mereka sehingga ke depannya diharapkan Desa Adat Geriana Kauh dapat menjadi pusat ekowisata desa,” imbuh Saras.

Tidak sebatas membangun dan mengisi Museum, Tim Pengmas FIB UI juga turut meningkatkan kapasitas masyarakat dengan memberikan edukasi pengelolaan museum sehingga masyarakat setempat dapat menjalankan operasional muesum secara swadaya dan profesional.

Penyerahan cinderamata oleh Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumantri, Direktur RPM UI Dede Djuhana, Dekan FIB UI Adrianus L.G Woworuntu, serta Ketua Desa Adat Nyoman Subratha. TEMPO/Ludhy Cahyana

Selain itu, Tim Pengmas juga membagikan ilmu mitigasi bencana. Pengetahuan ini menjadi sangat krusial mengingat Desa Adat Geriana Kauh berlokasi di kawasan rawan bencana, khususnya dari ancaman lahar serta awan panas letusan Gunung Agung.

Museum ini nantinya bukan sekadar sebagai pelestari nilai-nilai luhur yang ada di Kabupaten Karangasem, namun juga sebagai destinasi wisata budaya dan religi yang dapat dipadukan dengan agrowisata. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

LUDHY CAHYANA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus