Bawang Merah dan Bawang Putih
Sutradara : Rama Soeprapto
Musik : Thoersi Argeswara
Pengarah gerak dan tari : Chichi Kadijono
Cerita : Rama Soeprapto, Prima Rusdi, Nani Buntarian, Catharina Latjuba
Skenario : Joko Nugroho
Begini. Ada beberapa "aturan main" untuk bisa menikmati apa yang sering disebut sebagai "drama musikal" atau so called "operet" atau drama bermusik atau pertunjukan musik berdrama di tanah air kita yang minta ampun ini. Pertama, tolong, sekali lagi, tolong jangan sekali-kali membuat referensi dengan drama musikal Broadway Cats atau Les Miserables atau Miss Saigon atau yang dahsyat-dahsyat itu. Sudahlah. Jangan. Yang namanya drama musikal di negara ini masih tak jelas juntrungannya.
Kedua, tolong segera maklumi bahwa negara yang sedang membangun, yang mengaku miskin ini—meski banyak penduduknya yang sudah memiliki mobil BMW—tidak memiliki barang satu pun gedung pertunjukan yang memiliki perangkat akustik yang kompeten dengan jumlah kursi yang memadai dan panggung yang tidak membuat pemain atau penarinya terpeleset. Belum. Mungkin nanti jika kita sudah punya presiden nomor 20 yang peduli pada kesenian.
Ketiga, dengan duit Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu, yang Anda bayar nanti adalah nama beken seperti Dian Sastro, Nicholas Saputra, Ria Irawan, dan Titi D.J., meski nama beken tidak selalu identik dengan jaminan mutu.
Nah, dengan mematuhi ketiga aturan main di atas, sembari membawa anak dan keponakan—dan oh, jangan lupa, tak semua segera paham dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih, karena mereka lebih tahu Sinbad atau tokoh-tokoh Disney, Bung—marilah kita duduk santai tanpa banyak berharap akan menemukan suatu pencerahan.
Dengan sikap santai itu, Anda (dengan anak dan keponakan) akan segera ikut menikmati bertepuk tangan ketika gemuruh musik arahan Thoersi Argeswara itu mengiringi nyanyi dan tari para pekerja—semuanya mengenakan kebaya dan baju petani—bersama Puti (ini nama modern Bawang Putih), yang diperankan Rachel Maryam, dan Pak Seta (ini nama ayah Puti), yang diperankan Alex Komang. Syahdan, 3.000 penonton yang memadati Jakarta Convention Center pada Rabu silam itu dibawa ke dunia antah-berantah, campur aduk, masa lalu, masa kini, antara dunia dongeng "lokal" (dengan sebagian pemain berkostum Jawa) dan bumbu masa kini (bahasa anak gaul Jakarta lengkap dengan perangkat ATM dan komputer).
Nah, ketika penonton kecil-kecil sudah mulai gelisah—maklum, pertunjukan dimulai agak terlambat dan sudah waktu tidur bagi the kids—barulah tokoh-tokoh jahat muncul: Ibu Shellfira (ini nama bagi ibu Bawang Putih), yang dimainkan oleh Ria Irawan, dan Meira (ini nama modern bagi Bawang Merah), yang diperankan oleh Dian Sastro. Panggung mulai hidup. Sebab, seperti kata Teguh Karya (almarhum), panggung selalu mulai terasa bergerak jika "tokoh setan" mulai beraksi. Ria Irawan kali ini mengeluarkan bakatnya yang masih saja bersinar; tampil cantik, judes, dan pandai mengucapkan kalimat-kalimat yang lucu. Di belakangnya selalu ada Dian Sastro yang ngintil; tampil cantik luar biasa, centil luar biasa, dan juga selalu diikuti seorang perias banci bernama Derina (Alex Fatahillah).
Panggung kemudian meledak ketika Nicholas Saputra—berperan sebagai Dega, sang pengusaha muda—muncul di antara ombak lautan dengan baju penyelam. Untuk sementara mohon penonton yang berangkat tua dan baya memberikan ruang dan waktu kepada remaja yang menjerit histeris sembari memanggil-manggil nama Nicholas. Dita, 12 tahun, bersama ketiga temannya duduk di tribun tengah sembari memegang teleskop hitam untuk menikmati wajah Nicholas Saputra setiap kali dia muncul di panggung.
Dari sisi hiburan, pertunjukan ini sudah berhasil meraih beberapa keberhasilan—meski promosinya kurang gencar. Pertama, sang sutradara pandai menggaet nama-nama beken yang tengah menjulang (demam Dian Sastro dan Nicholas Saputra tampaknya belum juga padam). Kedua, Rama juga pandai merangkul orang-orang yang sudah berpengalaman di bidangnya. Rama mengajak Thoersi untuk pengarahan musik, Obin untuk kostum, beberapa pentolan Teater Koma seperti O'han Adiputra dan Alex Fatahillah, Putri Soehendro (penyiar Radio Female) sebagai narator cerita, dan yang paling penting Prima Rusdi—salah satu orang yang sangat dipercaya Mira Lesmana untuk penulisan skenario film-film produksinya.
Lalu kenapa kisah Bawang Merah dan Bawang Putih? "Saya ingin mengemas pertunjukan yang berakar dari budaya sendiri tapi bisa menghibur anak sekarang," ujar putra sulung artis Marini dan pembalap Tinton Soeprapto ini. Yang menarik sebetulnya bagaimana kisah lokal ini diadaptasikan kepada setting modern. Pesan kebaikan pasti menang dan kejahatan pasti terkalahkan adalah moral cerita yang penting, tapi pengemasannya adalah tiang utama dari seluruh pertunjukan.
"Adaptasi bebas dilakukan untuk dikemas dengan cara apa pun. Yang penting, ada nilai budi pekerti yang ditawarkan," kata Prima Rusdi.
Kebebasan pengemasan itu tampak jelas pada penampilan visual, yang menggunakan komputerisasi di layar putih yang menyemprot adegan hutan atau ombak laut atau sebuah pohon ajaib. Inilah yang tentu saja belum lahir di masa Titik Puspa menyajikan kisah Bawang Putih dalam sebuah film pada 1970-an. Dengan Tanty Yosepha sebagai Bawang Putih, Anna Mathovani sebagai Bawang Merah, Titik Puspa sebagai ibu tiri, dan Broery Pesolima sebagai Pangeran, jelas film itu menampilkan musik sebagai tiang utama film musikal ini (dan tentu saja generasi 1970-an dan 1980-an pasti ingat semua operet Lebaran dan Papiko Titik Puspa yang musiknya gres itu).
Sementara itu, pertunjukan arahan Rama ini tampaknya lebih memilih kemasan teknologi, kostum, dan bintang sebagai tiang utama meski menamai dirinya "drama musikal". Pertunjukan sepanjang satu setengah jam ini menampilkan hanya 18 lagu—yang hanya dipersiapkan dalam waktu satu bulan! Tak aneh jika Thoersi tak bisa berbuat maksimal.
Dengan beberapa lagu baru diselap-selip di antara dialog—yang terkadang terputus karena sound system yang kacau hingga suara Dian Sastro sesekali tak terdengar—akhirnya musik tak bisa lagi dikatakan sebagai jantung dari seluruh pertunjukan. Yang harus dipujikan justru para aktor dan aktris yang mencoba menyanyi sendiri—dan tidak jelek-jelek amat—meski dengan menggunakan playback (artinya mereka tak menyanyi langsung di atas panggung), kecuali Rachel Maryam, yang tak menggunakan suara sendiri karena diisi dengan penyanyi Bina Vokalia. Sebetulnya Rama dan timnya bisa lebih memanfaatkan pemain seperti Titi D.J. untuk berperan lebih banyak dalam unsur musik.
Tapi, ya, sekali lagi, tolong ingat aturan main tadi. Ini bukan panggung Broadway; ini Indonesia, yang tak memiliki gedung pertunjukan yang memadai dengan sistem akustik yang baik, dan lain, dan lain-lain. Dengan demikian, sebaiknya kita duduk menonton dengan sabar menemani anak-anak yang gembira dan sibuk dengan teleskopnya yang menyorot wajah Nicholas Saputra itu.
Telni Rusmitantri, Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini