Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saringan Baru, Harapan Baru

Pemerintah memperkenalkan Pusat Mediasi Nasional untuk memotong arus perkara perdata. Bagaimana masa depannya?

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH Bagir Manan yang ceking seakan semakin ringkih saja, tergencet tumpukan perkara yang kian menggunung di Mahkamah Agung. Hingga sekarang, ada sekitar 16 ribu perkara yang mengendap di lembaga yang dipimpinnya ini. Kendati sekian ribu perkara bisa ditangani tahun ini, sekian ribu pula berkas kasus datang tak pernah berhenti. Alih-alih menyusut, tumpukan perkara itu justru semakin bertambah dari tahun ke tahun.

Pangkalnya? Pengadil an tingkat pertama (pengadilan negeri) dan pengadilan banding (pengadilan tinggi) nyaris tak berfungsi sebagai penyaring perkara. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan memberikan ilustrasi bagaimana perkara bisa dibilang tak ada yang selesai di tingkat pertama. Selalu ada pihak yang tak puas, sehingga hampir semua perkara selalu ke banding dan kasasi. Berkali-kali dia menceritakan, pihaknya mesti menangani kasasi atau peninjauan kembali atas kasus kecil seperti sengketa tanah yang berukuran 5 x 7 meter persegi.

Karena tak ingin Mahkamah Agung terus-menerus menjadi gudang simpanan perkara, Bagir membuat terobosan dengan membentuk lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan (out of court settlement). Awal September lalu, Bagir Manan meresmikan Pusat Mediasi Nasional. Agar lembaga ini segera efektif, Kamis dua pekan lalu Bagir meneken Peraturan Mahkamah Agung mengenai Prosedur Mediasi di Pengadilan. Intinya, semua perkara perdata harus disaring lewat lembaga ini. "Pengadilan tidak akan menangani perkara perdata yang tidak melewati proses mediasi," kata Bagir kepada Hambali Batubara dari Tempo News Room.

Pada praktek peradilan yang lama, hakim biasanya memang menawarkan jalan damai. Namun tawaran ini tidak mengikat. "Dulu, tawaran hakim cuma formalitas," kata Bagir. Sekarang, dengan adanya Pusat Mediasi Nasional, hakim wajib meminta para pihak berdamai. Malah, jika mereka yang bersengketa tak bisa memilih mediator, hakimlah yang akan menetapkan si juru damai. Proses mediasi ini paling lama berlangsung 30 hari, dan jika perdamaian tak juga dicapai, barulah hakim akan menyidangkannya sesuai dengan hukum acara yang ada. Selain itu, proses ini menjanjikan biaya yang murah. Bahkan proses ini gratis jika hakim yang dipilih menjadi mediator.

Diharapkan saringan awal di luar pengadilan ini bisa mengurangi aliran perkara yang ujungnya bermuara ke Mahkamah Agung. Kalau tidak, tumpukan perkara di sana tak akan pernah menyusut. Tengok saja, sebagai contoh, data per Juni 2003 lalu. Dalam tempo satu setengah tahun sejak awal 2002, Mahkamah Agung menyelesaikan sekitar 8.000 kasus. Tapi, pada saat yang bersamaan, masuk kasus baru dalam jumlah yang hampir sama. Alhasil, pada Juni lalu, jumlah kasus yang masih mendekam di Mahkamah Agung mencapai 16.581, dan sekitar 10 ribu kasus (60 persen) di antaranya adalah perkara perdata. Untuk menyelesaikan ribuan kasus tersebut, Mahkamah Agung kini hanya memiliki 43 hakim agung dari yang seharusnya 51 hakim agung. Bahkan jumlah itu akan berkurang empat orang lagi karena pensiun.

Untuk sementara ini, Pusat Mediasi diujicobakan di tiga pengadilan negeri, yakni Jakarta Pusat, Surabaya, dan Padang. Jakarta Pusat dan Surabaya dipilih karena di dua pengadilan ini perkara yang masuk begitu banyak. Sementara itu, Padang dipilih atas tiga alasan, antara lain mereka telah lama memiliki lembaga yang memutuskan perkara berdasarkan hukum adat Minangkabau. Universitas Andalas di Padang juga punya lembaga yang mengkaji sengketa-sengketa yang terjadi di masyarakat. Terbukti di sana ada beberapa pemerintah tingkat desa yang banyak sekali menyelesaikan perkara dengan hukum adat sehingga jarang ada sengketa perdata yang sampai ke pengadilan.

Rencananya, Pusat Mediasi akan beroperasi secara nasional mulai awal tahun 2004. Saat ini, yang dilakukan lembaga ini adalah menyosialisasi lembaganya ke seluruh masyarakat Indonesia. "Percuma saja ada pusat mediasi jika masyarakat tak tahu apa-apa soal ini," kata Denaldy Mauna, Ketua Pusat Mediasi Nasional. Lembaga baru ini juga tengah melatih para mediator di luar pengadilan. Sejauh ini, Pusat Mediasi sudah memiliki 15 mediator. Mereka antara lain berasal dari Jakarta Initiative Task Force (JITF) atau dikenal sebagai Prakarsa Jakarta dan juga ahli-ahli hukum yang sudah berpengalaman menangani mediasi berbagai kasus perdata setidaknya empat tahun. "Merekalah embrio Pusat Mediasi Nasional," ujar Denaldy.

Bagaimana prospek lembaga ini? Denaldy merujuk pada pengalaman Prakarsa Jakarta. Didirikan pada akhir 1998, organisasi ini berperan sebagai lembaga mediasi yang mempertemukan kreditor dan debitor untuk menyelesaikan sengketa utang yang terjadi di antara keduanya. Ketika itu, akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997, banyak perusahaan terjerat utang macet. Total utang swasta yang macet mencapai sekitar US$ 70 miliar atau Rp 700 triliun (dengan kurs ketika itu Rp 10 ribu per dolar AS), sebagian kepada kreditor lokal, sebagian besar lagi kepada kreditor asing. Ledakan kredit macet ini diperkirakan bakal membuat sibuk pengadilan. Dan kalau itu terjadi, jelas pengadilan tak akan sanggup menanggung beban tersebut. Itulah sebabnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia mengusulkan pembentukan Prakarsa Jakarta untuk membereskan utang luar negeri swasta.

Hasilnya? Kinerja Prakarsa Jakarta ternyata tak mengecewakan. Dari jumlah utang macet senilai US$ 70 miliar itu, utang US$ 29,3 miliar milik 117 perusahaan di antaranya dimasukkan ke lembaga ini. Sampai semester pertama 2003, sengketa utang yang dapat diselesaikan mencapai US$ 20,5 miliar (96 debitor). Kini masih tersisa utang macet 21 perusahaan senilai US$ 8,75 miliar yang harus diselesaikan Prakarsa Jakarta. Ini jelas pencapaian yang luar biasa. Bayangkan saja jika semua masalah ini mesti diselesaikan di pengadilan. Bisa jadi sampai sekarang juga tak bakal selesai.

Praktek Prakarsa Jakarta inilah yang kemudian menjadi model Pusat Mediasi Nasional. Tak mengherankan jika sejumlah mediator Prakarsa Jakarta kemudian direkrut masuk ke Pusat Mediasi Nasional, di antaranya Denaldy sendiri dan Ahmad Fahmi Shahab. Apalagi Prakarsa Jakarta akan dibubarkan pada akhir tahun ini. Kemungkinan besar Pusat Mediasi Nasional menjadi penggantinya. Denaldy mengungkapkan bahwa ada banyak contoh yang bisa ditiru Indonesia untuk penyelesaian di luar pengadilan yang tingkat keberhasilannya lumayan tinggi. Dia menunjuk lembaga serupa di Australia dan Amerika Serikat. Di dua negara ini, proses perdamaian di luar pengadilan sudah biasa dengan tingkat keberhasilan masing-masing 70 persen (Australia) dan 54-84 persen (Amerika Serikat).

Melihat angka-angka tersebut, Denaldy yakin hal yang sama bisa diterapkan di Indonesia. Kendati demikian, katanya, tak mudah menyelesaikan perkara perdata di luar pengadilan. Banyak pihak yang enggan menyelesaikan kasusnya melalui Prakarsa Jakarta ketika lembaga ini baru dibentuk dan belum dikenal sepak terjangnya. Namun, setelah sejumlah masalah utang bisa dibereskan lewat lembaga ini, akhirnya banyak orang yang memasukkan kasusnya. Apalagi ada yang tak bisa diperoleh di pengadilan, yakni terjaganya kerahasiaan. Bisa jadi hal yang sama bakal dialami Pusat Mediasi Nasional.

Kendati demikian, masih ada kemungkinan munculnya hambatan yang lain, yakni pengacara. Bisa dibilang pengadilan niaga dan kasus-kasus sengketa dagang menjadi lahan basah pengacara. Tak mengagetkan jika banyak pengacara terjun ke wilayah tersebut. Mereka bisa mendapatkan success fee jika menang. Ini di luar tarif mereka yang makin ke langit. Dengan adanya Pusat Mediasi, peran mereka akan jauh berkurang.

Hal itu diakui oleh Arief T. Surowidjojo, pengacara dari kantor pengacara Lubis Ganie Surowidjojo. "Mediasi tidak disukai pengacara karena fee-nya kecil," kata Arief, salah satu promotor kelahiran Pusat Mediasi Nasional. Namun, pada akhirnya, yang memutuskan tetap saja klien mereka. Bisa jadi mediasi akan menjadi pilihan karena murah dan cepat, apalagi vonis pengadilan makin susah diprediksi. Kalau itu terjadi, barulah Bagir Manan bisa terbebas dari timbunan perkara.

M. Taufiqurohman, Sapto Yunus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus