Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bertandang ke museum nasional atau berkunjung ke piramida Mesir, patung-patung bersejarah baik besar maupun kecil, kerap dijumpai dalam kondisi hidung yang patah. Bahkan, ornamen di dinding pun kerap terlihat rusak pada hidungnya. Ada apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurator Edward Bleiberg kerap mendapat pertanyaan serupa dari para pengunjung galeri seni Mesir di Museum Brooklyn. Dinukil dari CNN Style, Bleiberg, yang bertugas mengawasi koleksi khusus seni Mesir, Klasik dan Timur Dekat untuk Museum Brooklyn, mulanya terkejut dengan pertanyaan itu. Pasalnya, selama ini ia menerima begitu saja patung-patung rusak yang datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dan seperti biasa, pengetahuannya di bidang Egyptology mendorong memvisualisasikan patung-patung itu dalam keadaan utuh. Tapi, ia berpendapat kerusakan itu tak terhindarkan. Patung berusia ribuan tahun selalu menunjukkan keausan. Namun, belakangan Bleiberg mengungkap pola kehancuran yang disengaja secara luas. Ia menunjuk pada serangkaian alasan, mengapa kompleks bersejarah di Mesir saat penemuannya selalu dikotori.
Penelitian Bleiberg menjadi dasar dari pameran "Striking Power: Iconoclasm in Ancient Egypt". Sejumlah benda pilihan dari koleksi Museum Brooklyn dikirimkan ke Pulitzer Arts Foundation akhir Juni, yang dikuratori Stephanie Weissberg.
Weissberg akan menyandingkan patung-patung dan relief yang rusak dari abad ke-25 SM hingga abad ke-1 M dengan benda-benda sejenis yang masih utuh. Pameran ini berupaya mengungkap fungsi-fungsi politis dan keagamaan artefak Mesir kuno - dan budaya ikonoklasma yang mengakar, yang jadi biang mutilasi patung-patung bersejarah.
Laetitia Delaloye, kepala barang antik rumah lelang Christie, kepala patung Raja Mesir Tutankhamun di London, Inggris, 4 Juli 2019. Kepala patung Raja Mesir Tutankhamun laku terjual 4,7 juta poundsterling atau setara Rp83,3 miliar. Hidung pada patung tersebut terdapat kerusakan. REUTERS/Peter Nicholls
Menurut Bleiberg, Mesir merupakan salah satu peradaban yang berusia panjang. Ia mengalami berbagai ketidakstabilan di dalam negeri akibat suksesi. Sementara itu, bangsa Mesir juga kerap menghadapi invasi, dan beragam periode pergolakan lainnya. Semuanya meninggalkan bekas luka pada budaya mereka.
"Konsistensi pola di mana kerusakan ditemukan pada patung menunjukkan bahwa itu memiliki tujuan," kata Bleiberg. Ia merujuk berbagai motivasi politik, agama, pribadi dan kriminal untuk tindakan vandalisme. Hidung merupakan sasaran termudah dari patung tiga dimensi. Dan tak perlu upaya keras untuk menghancurkan hidung patung.
Patung menjadi sasaran, karena orang-orang Mesir kuno, menganggap patung dapat menyimpan esensi dewa. Dalam arti, patung-patung itu bisa menjadi hunian para dewa. Sementara, manusia yang dipatungkan agar jiwanya tetap berada dalam patung tersebut. Kampanye vandalisme ini dimaksudkan untuk "menonaktifkan kekuatan gambar," seperti yang dikatakan Bleiberg.
Makam dan kuil adalah tempat penyimpanan bagi sebagian besar patung dan relief yang memiliki tujuan ritual. "Semua itu ada hubungannya dengan ekonomi persembahan kepada yang supernatural," kata Bleiberg. Di sebuah makam, rakyat Mesir biasa melayani orang yang meninggal dunia, dengan memberi hadiah berupa makanan. Di kuil, representasi dewa ditampilkan menerima persembahan dari raja atau elit lain, agar dewa-dewa tetap melaksanakan tugasnya.
"Agama negara Mesir," Bleiberg menjelaskan, mengajarkan supaya raja-raja di Bumi menyediakan persembahan bagi dewa, dan sebagai imbalannya, dewa mengurus Mesir." Patung dan relief adalah "titik pertemuan antara yang gaib dan yang ada di dunia ini," katanya. Mereka yang dari alam gaib, dapat hidup kembali ketika ketika ritual dilakukan melalui patung atau relief. Dan tindakan ikonoklasma dapat mengganggu kekuatan itu.
Seorang polisi melihat ponselnya saat sejumlah turis melihat-melihat patung Spink di pinggiran kota Kairo, Mesir, 8 November 2015. Sphinx Giza memiliki panjang 73,5 meter, lebar 6 meter, dan tinggi 20 meter yang merupakan struktur batu tunggal terbesar di dunia. REUTERS
"Bagian tubuh yang rusak tidak lagi dapat melakukan tugasnya," Bleiberg menjelaskan. Tanpa hidung, arwah patung itu berhenti bernafas, sehingga perusak secara efektif "membunuh" nya. Memukul telinga dari patung dewa akan membuatnya tidak dapat mendengar doa. Simbol-Sementara tangan kiri juga kerap dipenggal, karena bangsa Mesir Kuno meyakini, para dewa menerima persembahan dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan dewa, untuk membawa simbol-simbol tertentu.
"Pada periode Firaun, ada pemahaman yang jelas tentang apa yang seharusnya dilakukan patung," kata Bleiberg. Bahkan jika seorang perampok makam kecil kebanyakan tertarik untuk mencuri benda-benda berharga, ia juga khawatir bahwa orang yang meninggal mungkin akan membalas dendam wajahnya tidak dimutilasi.
Praktek umum merusak gambar bentuk manusia juga menjadi bagian umum dari sejarah Mesir. Mumi yang dirusak ditujukan untuk merusak citra yang bersangkutan. Bahkan, prasasti bertuliskan hieroglif memberikan instruksi bagi prajurit yang akan memasuki pertempuran: buat patung lilin musuh, lalu hancurkan.
Memang, "ikonoklasme dalam skala besar ... terutama bermotif politis," tulis Bleiberg dalam katalog pameran untuk "Striking Power." Mengotori patung membantu penguasa yang ambisius (dan calon penguasa) untuk menulis ejarah yang menguntungkan mereka. Selama berabad-abad, penghapusan ini sering terjadi di sepanjang garis gender: misalnya perusakan terhadap dua Ratu Mesir Hatshepsut dan Nefertiti. Petilasan mereka sebagian besar dihapus dari budaya visual.
Sejumlah pekerja Mesir mengangkat patung Firaun Ramses II di kawasan Matariya, Mesir, 13 Maret 2017. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany
"Pemerintahan Hatshepsut menghadirkan masalah bagi keabsahan penerus Thutmose III, dan Thutmose menyelesaikan masalah ini dengan menghilangkan semua memori Hatshepsut yang imajinatif dan tertulis," tulis Bleiberg.