Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bunyi bilah-bilah bambu saling berbenturan memenuhi salah satu ruangan di sayap kiri Vihara Dharma Bhakti atau Kim Tek Le, Glodok, Jakarta, Minggu, 4 Februari 2018. Seorang laki-laki berusia 50-an tampak mengocok puluhan bambu itu dengan medium gelas kayu di depan patung Dewi Kwan Im.
"Dia sedang melakukan ciam si," kata Gunawan Djajaputra, pengurus Vihara Dharma Bhakti, saat ditemui, Minggu siang.
Ciam si adalah ritual membaca nasib atau meramal menurut tradisi Cina kuno. Kegiatan ini rutin dilakukan warga Tionghoa menjelang Imlek. Tujuannya adalah memprediksi keuntungan di tahun yang akan datang.
Klotak...! Sebilah bambu terpelanting ke lantai. Begitulah cara mainnya. "Gelas kayu harus dikocok-kocok sampai bambu keluar satu," kata Gunawan. Selagi mengocok, si peminta ramalan disarankan berdialog dalam hati dengan Dewi Kwan Im. "Berdialog untuk meminta ramalan apa pun, bisa jodoh atau bisnis," ucapnya.
Sebilah bambu tersebut ternyata bernomor. Pria paruh baya yang melakukan ciam si ini lantas mengingat-ingat betul nomor yang tertera di salah satu ujung permukaannya.
Langkah selanjutnya, ia mengambil dua potong kayu berbentuk oval bernama siao poe. Sia poe punya dua rupa permukaan, seperti dua sisi mata uang. Keberadaannya dipakai untuk mengkonfirmasi kesesuaian nomor dengan ramalan nasib si pengocok gelas.
"Sia poe harus dikocok dengan kedua tangan, lalu dilempar oleh peminta ramalan," kata Gunawan.
Nomor tersebut dianggap benar dan sesuai kalau posisi jatuhnya kedua sisi sia poe berlainan. "Yang satu harus tengkurap, yang satu harus telentang," ujar Gunawan. Kalau dua-duanya berada pada posisi yang sama, sia poe harus dilempar ulang. "Maksimal tiga kali.”
Posisi jatuhnya sia poe untuk meramal nasib si pria berumur 50-an itu ternyata sudah benar. Ia lalu mengambil kertas di rak salah satu sudut ruangan sesuai dengan nomor bambu yang didapatnya.
Pada kertas itu tertera tulisan berhuruf Mandarin. Namun ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Kalimat pada kertas itu dianggap sebagai hasil ramalan. "Kalau kurang jelas dengan maksud kalimatnya, bisa ditanyakan kepada petugas," kata Gunawan.
Ramalan ciam si tak cuma dilakukan warga Tionghoa. Sadia Canantya, 22 tahun, wisatawan yang berkunjung ke wihara, turut menjajal. Ia mengaku penasaran dengan hasil ramalannya.
"Saya dapat nomor 36," katanya. Pada kertas itu tertulis demikian: “hoki seperti lautan, umur seperti gunung. Anda jangan mengeluhkan kesukaran. Dalam nasib, selalu ketemu peruntungan. Dengan sendirinya mendapatkan bantuan dari orang budiman”.
Meski tak tahu betul maksudnya, Sadia menganggap ramalan itu berarti baik. "Yang bagus dijadikan semangat, yang jelek ya enggak usah dipercaya," kata perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan farmasi di Jakarta itu.
Tradisi ciam si, yang selalu menjadi penanda pergantian tahun penanggalan Cina, memang acap ramai diburu orang-orang. Sebab, kegiatan ini boleh dilakukan siapa pun, tak terbatas umat wihara atau warga Tionghoa. "Siapa pun boleh coba. Wisatawan silakan datang," ucap Gunawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini