Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Papua, dataran yang kaya budaya. Suku-suku di Papua mengakhiri zaman parasejarah awal abad 20. Bahkan, mereka belum meninggalkan masa prasejarah sama sekali, bersamaan dengan saat mereka melihat Youtube, bermain Instagram, dan berkirim pesan melalui WhatSapp dengan ponsel cerdas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Internet berdampingan dengan kapak batu, yang masih dijadikan mas kawin. Satu lagi, seabad lalu, suku-suku di seluruh dataran Papua malah menggunakan cangkang kerang sebagai uang. Namun tak semua kulit kerang yang dijadikan uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mengenal kerang yang hanya untuk dikonsumsi, dan cangkangnya dijadikan amplas. Hingga saat ini, tiram jenis Gelonia coixans masih dikonsumsi, dan cangkangnya digunakan untuk penghalus kayu oleh warga pesisir Papua.
Kerang yang berharga, berasal dari jenis Cypraea moneta, “Kerang jenis ini memiliki fungsi lebih dari sekedar sumber makanan, kulitnya dapat digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan pada masa lalu sebelum dikenal mata uang kertas,” ujar Hari Suroto peneliti dari Balai Arkeologi Papua.
Menurutnya, cangkang kerang nilainya bervariasi bergantung pada umur dan sejarahnya. Nilai yang paling tinggi, memungkinkan cangkang kerang digunakan untuk membayar mas kawin. Bahkan bisa untuk membatalkan utang nyawa manusia yang diakibatkan oleh perang suku.
Kulit kerang yang dijadikan alat tukar oleh Suku Mee, yang disebut kapaukumege. Dok. Hari Suroto
Cangkang kerang sebagai nilai tukar, digunakan oleh orang-orang dataran tinggi, yang membentang sepanjang 650 kilometer dari arah barat hingga ke timur Papua. Dari Danau Paniai hingga ke perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea. Suku-suku yang menggunakan cangkang kerang sebagai alat tukar, antara lain Suku Mee, Suku Ngalum, Suku Timorini, dan Dani.
Dengan kerang, mereka jual beli komoditas utama seperti garam, mata pisau dari batu dan babi. Garam bagi orang-orang dataran tinggi memang penting – bahkan prajurit legiun Roma digaji dengan garam. Tapi di Papua, kerang mengambil alih peran garam sebagai alat tukar.
Garam bisa ditambang dengan mudah di dataran tinggi, atau membelinya dari Suku Dani – tentu dengan cangkang kerang.
Orang Logo Mabel, yaitu salah satu konfederasi klen Dani yang menguasai sumber garam itu, pada waktu-waktu tertentu menerima barang-barang berharga, berupa cangkang kerang cypraea moneta, tembakau, alat-alat yang terbuat dari besi, dari orang-orang yang mengambil garam secara perorangan. Sementara kelompok-kelompok yang turut menambang garam itu seringkali memberikan bingkisan kepada kepala atau tokoh-tokoh adat setempat berupa babi.
Orang Dani memang banyak berdagang dengan dunia luar, mobilitas dan hubungan dagang antarkelompok atau antara orang Dani dengan orang-orang Papua lainnya, seperti misalnya dengan orang Jali dari daerah di luar Lembah Balim. Atau dengan orang Asmat yang tinggal di bagian selatan Papua, maupun dengan orang Moni, Uhunduni, bahkan dengan orang Mee di daerah Danau Paniai, telah berlangsung sejak lama.
Suku-suku bangsa tersebut memang mengenal orang Dani sebagai suku pemelihara dan pengekspor babi. Sebaliknya orang Dani mengimpor kerang cypraea moneta, bulu burung cendrawasih, manik-manik, jaring, damar, garam, sagu dan sebagainya.
Peserta mempertunjukan tarian tradisional dalam Festival Budaya Lembah Baliem, di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Papua, 8 Agustus 2017. Walau pun keadaan sudah modern, tapi suku Dani tetap mempertahankan adat istiadat dan tradisi mereka dengan menggunakan koteka. Tempo/Rully Kesuma
Orang-orang Mee yang tinggal di sekitar danau-danau Wissel, telah menggunakan cangkang kerang sebagai alat penukar, yang mereka sebut sebagai kapaukumege. Kerang-kerang itu memiliki nilai tak serupa.
Orang-orang Mee membedakan kapaukumege lama dengan yang baru berdasarkan kilau dan warnanya. Kapaukumege lama dianggap lebih tinggi nilainya daripada yang baru. Sebagai perbandingan, satu kapaukumege lama, seharga 10 kapaukumege baru.
Sementara Suku Ngalum yang mendiami lembah di bagian selatan deretan pegunungan Jayawijaya di daerah Pegunungan Bintang, menyebut kulit kerang itu, sebagai siwol. Nilainya berbeda-beda, tergantung dari warna dan ukuran. Nilai dari suatu benda diukur dengan nilai satu siwol. Karena itu orang Ngalum harus memiliki banyak siwol, yang mereka peroleh dari pantai selatan (daerah Merauke).
Dalam berdagang, orang Ngalum menempuh jarak yang cukup jauh sehingga daerah pesisir sekitar Merauke, dan ke arah timur. Walhasil, mereka mempunyai hubungan dagang yang baik dengan penduduk sekitar perbatasan Papua New Guinea.
Lalu dari mana mereka mendapatkan kulit kerang itu? Ini bukan seperti bitcoin yang ditambang dengan aplikasi MultiMiner. Cangkang kerang itu berasal sebagian besar dari Teluk Cenderawasih.
Cangkang kerang ini mula-mula masuk melalui arah barat di Teluk Etna atau Nabire, terus ke wilayah Danau Paniai.
Kemudian – dengan kemungkinan melalui banyak perantara, ‘rumah-rumah kerang’ inipun menyeberangi Dataran Danau Mamberamo, dan selanjutnya mencapai wilayah pegunungan tengah dan pegunungan tengah dan pegunungan timur.
Babi peliharaan berkeliaran di jalanan dengan latar belakang pegunungan Jayawijaya di Kurulu, Wamena, Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Papua, 11 Agustus 2017. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Tempo/Rully Kesuma
Sebagian cangkang kerang juga berasal dari Selat Toreros. Ia masuk melalui wilayah Marind-Muyu dan dari dataran tinggi Papua New Guinea.
Namun, cangkang kerang ini, mulai menurun fungsinya pada 1938, ketika Belanda membuka kantor pemerintahan di Enarotali, di tepi Danau Paniai. Para administrator dan misionaris mulai memperkenalkan gulden sebagai alat tukar.
HARI SUROTO