Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Seminar huur-ketekung

Ugm yogyakarta menyelenggarakan seminar tentang burung perkutut. juga diadakan lomba kontes burung perkutut. temanya : burung perkutut dan masalahnya dalam rangka pelestarian lingkungan dan kebudayaan.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKUTUT. Inilah burung istimewa yang konon mampu menaikkan kesenangan dan gengsi banyak pria hingga sangking edannya, ada yang terlupa pada keluarga. Dan tentang perkutut atau geopelia-striata nan bertuah itu, betapa dia kini jadi penti-i-i-ng, sampai orang perlu bikin seminar sehari di Fakultas Peternakan UGM, 8 Agustus lalu. Kontesnya kemudian berlangsung esok hari, di Alun-Alun Kidul, sisi selatan Kraton Yogya. Adalah sebuah atraksi tersendiri, ketika lebih dari 100 ekor burung itu dikerek di sana, masing-masing menegangkan urat untuk mengeluarkan koong. Huur-ketekungng .... Begitu bunyi di bawah udara terbuka. Burung-burung itu tegak mengerahkan tenaga, menggetarkan selaput suaranya untuk unjuk diri. Kontes kali ini tampaknya lebih marak ketimbang tahun lalu. Bukan seperti konteskontes burung berkicau, misalnya pada 1979 yang diharamkan dulu, sekarang tak ada larangan dari Menteri Negara KLH Emil Salim atau sang aparat. Kali ini semangat dan slogan yang dikerek panitianya juga seperti tak mau kalah memikatnya dengan koong si burung. Nyam-nyam, tema seminarnya yang juga membikin kening berkerut berbunyi: "Burung Perkutut dan Masalahnya dalam Rangka Pelestarian Lingkungan dan Kebudayaan". Dan itu diadakan untuk menyambut Lomba Burung Perkutut Tingkat Nasional, siapa yang menang nanti akan meraih Piala Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Luar biasa. Nama kebudayaan dan Sri Sultan kini dilibat untuk dan penampilan burung. Yang beruntung pada 9 Agustus itu adalah si Atlantik, milik Aing dari Semarang merebut piala bergilir itu. Atlantik mewakili kelompok bebas. Juara pertama dari kelompok lokal adalah Putra Daud milik H.M. Thohir Surabaya. Pesertanya dari Jakarta, kota-kota besar di Jawa, Madura dan Bali. Perebutan piala Sultan itu diadakan tiap dua tahun sekali. Bobot perkutut, dalam kehidupan sehari-hari, ikut mempengaruhi mesra atau cemplang-nya hubungan suami-istri. Untuk mengibarkan kebanggaan si burung, seorang suami mau tak mau mesti didukung istrinya. Dengar, apa kata Soeroso P.S. Ia seorang penggemar perkutut dari Blunyah Gede Yogya. "Harus sabar dan telaten merawatnya. Jangan sampai istri mengomel melulu. Misalnya, lantaran lantai kotor gara-gara tai perkutut," katanya. Soeroso, 64 tahun, pensiunan pegawai Kantor Dinas Pertanian Kodya Yogya kabarnya memang fanatik. Perkututnya ratusan ekor. Tetapi si Laras dan Lintang, dua dari beberapa yang dibanggakannya, memang dijagokan pada kontes di alun-alun itu. Bahkan Lintang, yang pernah menang ketika adu suara bagus di Bekasi, Jakarta, Semarang, dan Yogya beberapa waktu lalu sudah ditawar orang Rp 8 juta. Ia tolak. Bagi Soeroso, perkutut tak melulu didengar suara huur-ketekungng-nya. Juga ada nilai lain yang dianggapnya tak kalah penting. "Pergaulan saya bertambah luas karena perkutut," ujar Pak Perkutut itu, terkekeh. Untuk memahami canang adab yang dibangkitkan si perkutut, simak pula Purbosasmito. Empu dari Kotagede, masih Yogya ini mengutip petuah yang lazim di lingkungan kehidupan keluarga Jawa. Syarat sebagai lelaki Jawa sempurna, katanya, ia harus memiliki isma (rumah), garwa (istri), turangga (kuda, maksudnya kendaraan), cunga (keris), dan kukila (ya, perkutut itu). Mengapa perkutut? "Suaranya merdu seperti Gamelan Lokananta, gending yang membahana di angkasa," kata Purbosasmito. Masih menurut beliau, "nilai-lebih" perkutut makin tinggi jika usianya bertambah, karena telah berkemampuan. "Dan memberi hasil tambahan, kalau kita berniat menjualnya, karena suaranya sudah lebih merdu," katanya. "Perkutut ada juga yang mempunyai sawab atau tuah, bak sebilah keris pusaka, kuda, atau batu akik." Kepercayaan seperti tersebut rupanya bukan saja monopoli orang Jawa di pedalaman. Di pesisir Jawa Tengah, seperti di Batang, pernah ada seorang pemilik kapal nelayan bermesin, yang bisa tahu rezekinya di laut berdasarkan gerak burungnya. Jika si perkutut manggung atau ber-huur-ketekungng berkali-kali ke arah utara, laut, firasat si nelayan tadi memberi makna: hasil ikan akan melimpah. Alias rezeki bagus. Jelas sudah. Karena bobot budaya dan pengaruhnya pada masyarakat, terutama Jawa, lalu Sri Sultan menyediakan piala untuk kontes tingkat nasional seperti sudah disebut. Jika kemudian seminarnya diselenggarakan di Fakultas Peternakan, ini semua karena panitianya sadar. Syahdan perkutut yang nyaris jadi makhluk ajaib ini adalah unggas atau ternak jua namanya. Di atas meja seminar kemudian bisa dikutip pendapat, misalnya dari Nasroedin. Dosen pada Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan UGM itu berkata, "Perkutut umumnya hidup di dataran rendah berhutan jarang." Habitatnya meliputi kawasan Tiongkok Selatan, Laos, Birma, Vietnam, Muangthai Malaysia, Papua Nugini, Australia, dan Indonesia. Sesuai dengan sifatnya yang gemar bermandi cahaya matahari, sebenarnya perkutut seperti meniru kebiasaan para turis bule. Dan kini walau nyaris jadi "simbol status" dan lambang kelengkapan seorang lelaki sejati, justru perkutut tak cenderung berpoligami. Bukan seperti pembawaan alamiah seorang pria yang perkasa. Demikian suara lain dari seminar Yogya itu. Tapi lain kalau sudah bercintaan dan melakukan reproduksi (senggama). Seekor perkutut jantan akan mulai sibuk sejak dari penyiapan sarang bertelur untuk si induk, mengerami telur, dan menyediakan makanan, sampai menjelang si anak bisa terbang sendiri. Sementara itu, ia tak akan main selibat dengan betina lain. Seminar yang juga membahas penangkaran burung berbulu seperti lurik abu-abu itu dihadiri sekitar 100 penggemar tak bersarung. Berbekal sebuah keyakinan, paling tidak, begitu dikatakan oleh Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Soeharto Prawirokusumo, "Perkutut berkait dengan nilai-nilai budaya, mulai dari Brawijaya V sampai Mataram dan Surakarta. Serta nilainilai ekonomis." Bravo perkutut. Huur-ketekuuungng. Mohammad Cholid Laporan Slamet Subagyo (Biro Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus