Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan tangan ke kiri, ke ka-nan, 21 penari yang berb-alut kain kuning menyala itu se-ma-cam membentuk gambaran kun-cup bunga. Di pelataran panggung itu mereka sebentar menyatu, sebentar memisah. Kemudian seperti ber-metamorfosis, lengan mereka melambai membangun imajinasi kepak sayap unggas, terbang dengan gerak ritmis menuju nirwana.
Tarian berjudul Seribu Tangan Bodhisattva yang menjadi pembuka dan penutup pertunjukan My Dream ini cukup memukau penonton JITEC, Mangga Dua Square, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Melihat penampilan me-reka, boleh jadi orang tak menyang-ka bahwa para penari itu adalah orang cacat. Me-reka datang dari negeri Ci-na yang bergabung dalam China Disabled People’s Performing Art Troupe.
Selain tari bersama tadi, malam itu rombongan pertunjukan—terdiri sekitar 60 seniman tunanetra, tuna-rungu, dan tunahasta—juga menyu-guh-kan tarian tunggal, permainan p-iano dan instrumen musik tradisio-nal, kor, hingga ke dagelan dalam bentuk martial art. Masing-masing tam-pil tak lebih dari 15 menit. Ke-lir di belakang panggung berganti-ganti menyesuaikan cerita. Tata cahaya, ter-masuk sinar laser, ikut andil membangun suasana.
Setiap tarian memiliki pemandu tari di kanan-kiri panggung. Dan di setiap pergantian sesi, seorang wanita memberikan pengantar dengan bahasa isyarat. Setidaknya dua tampil-an diisi dengan latar belakang video kompilasi keseharian mereka berlatih, makan, tidur, dan bersenda gurau. Sebuah sesi yang sungguh menyentuh. Video perjalanan mereka saat tampil di Amerika Serikat, Mesir, Swiss, Pa-ris, Spanyol, Roma, dan Australia, ju-ga diputar.
Ketidaksempurnaan fisik mer-eka jus-tru memperlihatkan kekuatan pertunjukan ini. Huang Yangguang, mi-salnya, menampilkan tarian Green Seed-lings. Pria bertubuh ramping tan-pa lengan itu tampak menyunggi ember kayu berisi air, lengkap dengan gayung dari batok kelapa, di bahu. Tubuhnya lalu berayun ke kiri dan kanan, kemudian melompat-lompat se-perti tengah menikmati kegembiraan bermain di pematang sawah. Kaki-nya didaulat menjadi tangan, untuk menyi-rami tanaman. Tanaman yang digambarkan terdiri dari kaki para pe-nari lain itu pun tak mau kalah. Me-reka bergoyang-goyang menerima kucuran air yang ditebar Yangguang.
Nuansa ”Barat” antara lain hadir dalam permainan piano solo Jin Yuan-hui, yang menyajikan nomor Moonlight karya Beethoven. Ada pula ensambel instrumen musik tradisional yang membawakan legenda The Sound of Music secara medley: The Lonely Goatherd dan Do-Re-Mi. Suasana le-bih cair saat irama masa kecil itu langsung disambung dengan instrumen lagu daerah Maluku, Sio Nona. Tepuk tangan penonton pun menyambut.
Lihat, betapa sumringah senyum pa-ra penyanyi tunanetra. Atau gemu-lai para penari yang mengenakan alat bantu dengar di telinga. Mereka ke-luar dari cangkang keterbatasan yang bagi sebagian orang bisa ter-asa sa-ngat membelenggu. Mereka se-perti menolak untuk tidak berdaya. Se-ba-gai-mana pepatah Cina yang dikutip dalam prolog: ”Selama di hati ada kebaikan, akan ada seribu tangan yang ter-ulur....”
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo