Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kisah Madun dan Salamah

Pil kb ke 200 juta untuk salamah penduduk desa kedung wonokerto, kec. prabon, kab. sidoarjo ja-tim. pilnya diterima langsung dari menteri kesehatan.

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASANGAN suami-istri Madun, 35 tahun, dan Salamah, 30 tahun, tampak berseri-seri. Pada hari-hari terakhir ini mereka lebih banyak duduk-duduk saja di rumah mereka. Tamu mereka banyak, termasuk juga wartawan. Sampai-sampai "selama 2 minggu ini saya tidak bisa mantap membuka toko di kamar belakang dan jahitan-jahitan juga numpuk", kata Salamah. Kios kain suaminya di Pasar Prambon, sementara juga tutup. Suami istri ini penduduk Desa Kedung Wonokerto, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka baru saja pulang dari Jakarta. Rabu 23 Januari lalu di Bali Room Hotel Indonesia Sheraton, pasangan ini terpilih sebagai penerima pil KB yang ke 200 juta. Pil itu diterimanya langsung dari tangan Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat. "Saya ya bangga, ya lelah. Tidak menyangka akan mendapat penghormatan dari orang besar," ucap Salamah. Selain selembar piagam, mereka juga menerima beberapa hadiah. Tabanas Rp 50.000 dari Nyonya Nelly Adam Malik, sementara Dubes AS Edward E. Masters menghadiahkan satu mesin jahit Singer. Dari Kimia Farma suami istri itu menerima alat-alat kosmetik dan obat-obatan dari Menteri Perdagangan dan Koperasi sebuah alat perekam (tape recorder) merk JVC. Selesai Isya Kini pasangan Madun-Salamah boleh dibilang merupakan model keluarga yang menerima NKKBS alias Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Menikah 1966, baru 2 tahun kemudian lahir anak pertama, Edi Purwanto, yang kini duduk di kelas V SD. Tiga tahun kemudian menyusul anak kedua, Ninik Purwanti kini kelas III SD. Ketika itu program KB baru saja dilancarkan di desanya. Bahkan, "kita sendiri malah belum tahu apa itu KB," kata Madun, suami yang pendiam itu. Waktu mengandung anak kedua, Salamah selalu memeriksakan perutnya ke BKIA Prambon. "Di situ saya selalu mendapat penerangan tentang KB dari Bidan Nyonya Tarpianie " kata Salamah, "dan setelah Ninik lahir, saya terangkan kepada Mas Madun soal KB, persis seperti cerita Bu Tarpianie," tambahnya. Dan Madun pun cepat memahami. Lepas menyusui Ninik, awal 1974 Salamah mendaftarkan diri sebagai peserta KB di BKIA. Dan sejak awal sampai sekarang selalu menelan pil KB. "Pernah saya tawarkan spiral, tapi Salamah menolak," cerita Nyonya Tarpianie, satu-satunya bidan di Kecamatan Prambon. "Setiap selesai sembahyang isya saya tidak lupa menelan pil KB," tutur Salamah. Dan sampai sekarang Salamah memang tidak lagi mengandung. Cuma memang ada yang diharap Madun: "Saya ingin agar kedua anak itu bisa belajar sampai perguruan tinggi." Desa tempat tinggal Madun dan Salamah terletak di tepi barat daya Kabupaten Sidoarjo, di kawasan delta Sungai Brantas. Kabupaten yang membawahi 18 kecamatan dan 353 desa itu sesungguhnya belum terlalu sukses dalam program KB. Sebelum KB digencarkan angka kelahiran masih 2,7%. "Dan setelah digencarkan, terutama 1978/1979, angka kelahiran tinggal 1,13% saja," kata Sutopo, juru bicara Kabupaten Sidoarjo. Bagi Jawa Timur, angka itu sesungguhnya tidak istimewa. Sebab angka kelahiran di Mojokerto misalnya, mencapai 0,9% saja. Peserta KB Lestari (tanpa kehamilan lagi) di seluruh Kabupaten Sidoarjo sejak November 1974 tercatat 12.566 pasang. Dari 18 kecamatan, Prambon paling menonjol dengan 1.432 pasang. Dan di antara 20 desa di kecamatan ini, Desa Kedung Wonokerto paling menyolok dengan 108 pasang. Di Desa Kedung Wonokerto sendiri, sampai Desember 1979, tercatat 438 pasangan subur. "Dari jumlah itu yang aktif ikut KB ada 408 pasang," kata Bidan Tarpianie. Sisanya belum ikut KB karena masih hamil atau masih pengantin baru. Seperti umumnya di Kecamatan Prambon, dari jumlah peserta KB itu 75% menggunakan pil, 20% IUD dan 5% mengenakan kondom. Jumlah penduduk Desa Kedung Wonokerto 3.214 jiwa, terdiri dari 687 kk. Jadi setiap kk rata-rata beranggotakan 4,67 jiwa. Dengan angka rata-rata ini dipandang sudah memenuhi anjuran pemerintah untuk membina keluarga "panca warga."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus