TRAGIS nian nasib Srimulat Jakarta. Setelah diusir dari Taman Ria Senayan gara-gara menunggak utang Rp 22 juta, pementasannya dua hari di Stadion Sanggraha Pelita Jaya, Lebak Bulus, Sabtu dan Minggu lalu, sepi pengunjung. Dengan uang bantuan dari Garuda sebesar Rp 7,5 juta, Srimulat maunya menggelar tontonan besar dengan ongkos produksi Rp 15 juta. Ternyata, yang membeli karcis cuma 160 orang di hari Sabtu dan 220 orang di hari Minggu pagi. Kerugian Srimulat jelas amat besar. Belum selesai kerugian itu dihitung, Senin siang lalu, berita duka menyusul. Subur, pelawak yang gundul dan suara nyerocosnya yang khas, meninggal dunia di Rumah Sakit Husada. Ia sengaja dipanggil dari Solo untuk memperkuat pertunjukan yang semula diharapkan jadi awal kebangkitan Srimulat di Lebak Bulus itu. Begitu tiba di Jakarta, Kamis pekan lalu, malamnya ia ikut pentas di Pasar Seni Ancol. Di situlah ia melawak terakhir kalinya. Dalam suasana berkabung tak jelas apa yang diperbuat grup lucu ini lagi. "Ini adalah cobaan yang kesekian kalinya bagi kami," komentar Sarjito, wakil manajer. Kegagalan di Lebak Bulus agaknya karena ambisi yang kelewat besar. Di stadion yang bisa menampun 20 ribu penonton itu, Srimulat menggelar panggung di depan gawang bagian utara. "Kami berharap penonton memenuhi tribun barat, selatan, dan timur," kata Sarjito. Untuk tribun barat yang beratap, Srimulat menjual karcis Rp 5.000 (VIP) dan Rp 2.500 (kelas I). Tribun selatan dan timur untuk kelas III seharga Rp 1.500. Di benak Sarjito paling tidak akan datang delapan ribuan penonton. Menyedihkan benar. Di hari Sabtu dengan lakon Drakula Hebring yang menampilkan bintang tamu artis-artis serial drama Pondokan TVRI -- Nani Wijaya, Connie Sutedja, Yayuk Soeseno, Alan Nuari -- penonton tak lebih dari 500 kepala. Itu pun sebagian besar undangan. Di hari kedua dengan lakon Perayu-Perayu Superstar dengan bintang tamu Bagito Group, penonton lebih sepi, walau sebagian besar membeli karcis. Padahal, barisan penyanyinya diperkuat bintang-bintang Jeka Record yang cukup kondang seperti Maryance Mantauw, Gladys Suwandi, Heidy Diana, dan Hana Pertiwi. Lagi pula, lawakan yang dimunculkan sama sekali tak menyesuaikan dengan keadaan panggung. Srimulat masih juga mengandalkan lawakan pada gerak tubuh. Padahal, jarak panggung dan penonton yang terdekat (VIP) sekitar 50 meter. Andaikan ada penonton di tribun selatan, apa yang mereka lihat selain mendengar suara? Baru pada hari kedua, ketika Bagito Group muncul, penonton sempat tertawa karena trio Didin, Mi'ing, dan Unang ini bermain kata-kata. Dengan kata lain, baik manajernya maupun pelawaknya tak siap mengadakan pentas di alam terbuka sepcrti itu. Yang siap hanya grup musik, dan itu yang membuat penonton enggan pulang. Faktor lain adalah mahalnya harga karcis dan sepinya publikasi. Maka, semuanya menjadi runyam. "Sudah saya sarankan kenapa tidak main di tempat lebih kecil saja, misalnya Gelanggang Remaja Bulungan. Kalau memang sukses barulah pergelaran akbar," kata Mi'ing dari Bagito Group. Dalam perjanjian semula, semua artis tamu akan dibayar minimum Rp 250.000 per orang. Melihat kenyataan yang mengenaskan ini para artis cukup maklum. "Saya ikut prihatin. Dibayar pun akan saya tolak," kata Didin dari Bagito Group. Artis lainnya belum ada yang sampai menagih. Penyanyi Jeka Record bahkan pulang sebelum pertunjukan usai tanpa minta apa-apa. "Kami tak tahu bagaimana menghadapi artis-artis tamu itu. Kami ingin membayar, tapi entah bagaimana caranya. Pemain Srimulat pun belum tahu harus dibayar berapa," kata Sarjito. Untung, ada keringanan sewa stadion yang biasanya Rp 850 ribu per hari menjadi Rp 250 ribu -- dan itu pun belum dibayar. Modal dari Garuda Indonesia Rp 7,5 juta sebagian habis untuk persiapan pentas. Uang sponsor dari Bentoel dan produser Oskadon sebesar Rp 2,8 juta masih kurang untuk menyewa sejumlah system yang besarnya Rp 3 juta sehari. Ke mana lagi Srimulat mencari utang? Padahal, dana dari Garuda itu adalah pinjaman untuk modal kerja, bukan sponsor. Menurut Humas Garuda Indonesia, Sofyan Alty, inisiatif itu langsung dari Dirut Garuda Soeparno. Alasannya, Srimulat sedang prihatin, tapi mereka tetap bertahan. "Garuda milik masyarakat, begitu pula Srimulat," kata Sofyan, yang ikut menonton di Lebak Bulus hari pertama. "Ini juga menyangkut rasa nasionalisme. Kalau Mick Jagger bisa didatangkan dengan sponsor yang besar, kenapa kok Srimulat tidak." Pergelaran di Lebak Bulus itu juga dipakai Garuda sebagai uji coba, seberapa jauh Srimulat masih diminati masyarakat. Kalau ternyata masyarakat masih meminati, sasaran jangka panjangnya adalah menyiapkan lokasi pentas yang permanen. Mungkin di bekas Miss Tjitjih di kawasan Senen," ujar Sofyan. Alternatif lain yaitu di Taman Ria Monas yang mudah dijangkau rnasyarakat. Jika tempat permanen itu cudah ada, barulah Garuda akan minta "imbalan". Misalnya, deretan kursi VIP dicarter Garuda untuk relasi perusahaan ini. Dan Srimulat diminta menyerempet-nyerempet Garuda dalam lawakannya. Tak jelas apakah kerja sama Garuda. Srimulat masih akan berlanjut setelah tragedi Lebak Bulus. Priyono B. Sumbogo dan Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini