Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Momen bersejarah bagi Indonesia, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta, karena Sumbu Filosofi Yogya diakui secara resmi oleh UNESCO. Pengakuan ini memperkuat status Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan dan warisan dunia yang kaya akan nilai-nilai filosofis yang mendalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyerahan sertifikat inskripsi Warisan Budaya Dunia dari UNESCO diberikan Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri, Yohpy Ichsan Wardana kepada Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjen Kebudayaan), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid, di Graha Insan Pendidikan Berprestasi, Kantor Kemendikbudristek, pada Kamis, 25 April 2024.
Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta? Sumbu filosofi itu merupakan konsep yang menggambarkan keberagaman budaya, spiritualitas, dan kearifan lokal yang terkandung dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari seni, adat istiadat, hingga filosofi hidup yang melekat dalam setiap tindakan dan tradisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bapak Slamet Raharjo, seorang pakar budaya dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Sumbu Filosofi Yogya dapat diibaratkan sebagai "jiwa" atau "ruh" yang menggerakkan kehidupan masyarakat Yogyakarta. Ini mencakup nilai-nilai seperti gotong royong, kebersamaan, serta rasa hormat terhadap alam dan leluhur.
Salah satu contoh yang sering dikutip adalah konsep "Rasa" dalam budaya Jawa. "Rasa" mengacu pada rasa kebersamaan, empati, dan perasaan saling menghormati yang menjadi landasan dalam interaksi sosial masyarakat Yogyakarta. Konsep ini tercermin dalam berbagai tradisi seperti slametan, upacara adat, dan hubungan antarwarga dalam komunitas.
Pengakuan UNESCO terhadap Sumbu Filosofi Yogya juga menggarisbawahi pentingnya melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai lokal di tengah arus globalisasi yang semakin mengglobal. Menjaga keberagaman budaya dan mewariskannya kepada generasi mendatang menjadi tanggung jawab bersama bagi masyarakat Yogyakarta.
Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan garis imajiner dari Gunung Merapi, Tugu, Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, hingga Pantai Selatan. Garis lurus yang mempertemukan daratan dan lautan.
Namun, pengakuan ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam menjaga keberlangsungan Sumbu Filosofi Yogya. Salah satunya adalah pengaruh modernisasi dan perubahan sosial yang dapat menggeser nilai-nilai tradisional. Oleh karena itu, perlu adanya upaya nyata dari pemerintah, lembaga budaya, dan masyarakat untuk melindungi dan memperkuat warisan budaya ini.
Pemerintah Kota Yogyakarta telah merespons pengakuan ini dengan menginisiasi berbagai program untuk melestarikan Sumbu Filosofi Yogya. Program-program ini mencakup pelatihan budaya bagi generasi muda, revitalisasi situs bersejarah, serta promosi budaya lokal melalui seni dan pariwisata.
Selain itu, kerja sama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal juga dianggap penting dalam memperkuat Sumbu Filosofi Yogya. Dengan bersama-sama, mereka dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk menjaga keberlangsungan dan relevansi nilai-nilai tradisional dalam era modern ini.
Tidak hanya bagi masyarakat Yogyakarta, pengakuan UNESCO terhadap Sumbu Filosofi Yogya juga memberikan inspirasi bagi negara-negara lain dalam menjaga dan menghargai warisan budaya mereka sendiri. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan merawat akar budaya sebagai fondasi dari identitas dan keberadaan kita sebagai manusia.
Sebagai bagian dari warisan dunia, Sumbu Filosofi Yogya bukan hanya milik masyarakat Yogyakarta, tetapi juga merupakan warisan berharga bagi seluruh umat manusia. Dengan memahami dan menghargai keberagaman budaya, kita dapat membangun dunia yang lebih harmonis dan berkelanjutan bagi generasi-generasi mendatang.