Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Tidak Hanya Tobelo Dalam di Halmahera, Berikut 6 Suku Pedalaman yang Ada di Indonesia

Dari suku Tobelo Dalam di Halmahera sampai dengan Anak Dalam di Sumatra, ketahui enam suku pedalaman yang menolak modernisasi.

31 Mei 2024 | 22.24 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia memiliki keragaman suku bangsa. Berdasarkan data yang didapat dari sensus BPS tahun 2010 terdapat total 1.340 suku bangsa di Tanah Air. Jumlah suku tersebut sudah termasuk suku-suku pedalaman yang tinggal di seluruh pelosok Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut beberapa suku pedalaman yang ada di Indonesia dengan berbagai keunikannya, salah satunya adalah suku Tobelo Dalam atau sering disebut Togutil oleh masyarakat umum, yang belum lama ini viral setelah terlihat memasuki area pertambangan di Halmahera, Maluku Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1. Tobelo Dalam

Suku Tobelo Dalam merupakan salah satu suku pedalaman yang berasal dari Maluku Utara. Suku ini sering disebut juga sebagai suku Togutil dan merupakan kelompok yang lebih tertutup dibanding suku Tobelo pesisir. Di dalam bahasa lokal kata Togutil sendiri adalah O'Hanga manyawa yang memiliki makna terbelakang, udik, dan tertinggal. Sehingga, istilah Togutil sering dinilai sebagai penghinaan bagi warga Tobelo Dalam.

Suku yang menggunakan bahasa Tobelo untuk berkomunikasi itu masih memegang kuat nilai kepercayaan serta adat istiadat mereka hingga hari ini. Sifat inklusif yang mereka miliki tercermin pada pilihan mereka untuk hidup memisahkan diri dari dunia di luar kelompoknya dan dari dunia yang lebih modern.

Dikarenakan gaya hidupnya yang nomaden, komunitas suku ini juga tersebar di beberapa bagian daerah Maluku lainnya. Ada suku Tobelo Dalam yang menetap di dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Selain itu, beberapa lainnya tersebar di hutan Totoduku, Tukur-Tukur, Kobekulo, dan di pedalaman hutan Wasile yang terletak di sisi timur Ternate.

2. Lingon

Masyarakat suku Lingon terkenal memiliki bola mata yang berwarna biru, tidak seperti warna mata orang-orang dari suku-suku lain di Indonesia. Sama seperti suku Tobelo Dalam, suku Lingon juga berasal dari daerah pedalaman Halmahera, Maluku Utara.

Bukan hanya warna mata, suku Longan juga dikatakan memiliki paras yang berbeda dengan masyarakat Maluku pada umumnya. Banyak dari warga suku Lingon yang memiliki postur tinggi, kulit cerah, dan rambut berwarna pirang atau kecokelatan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa telah terjadi kawin silang antara warga setempat dengan orang dengan ras kaukasoid seperti orang-orang asal Eropa di masa lampau.

Asal muasal yang pasti dari keberadaan suku ini masih menjadi misteri. Salah satu mitos yang paling banyak terdengar bahwa pada zaman dahulu ada kapal Eropa yang terdampar di perairan sekitar Pulau Halmahera dan penumpangnya berujung menetap di sana untuk mempertahankan diri. 

Belum diketahui secara pasti mengenai keberadaan dan informasi mendetail warga suku Lingon. Ada informasi yang mengatakan bahwa salah satu suku unik dari pedalaman Indonesia ini sudah punah, namun ada juga yang percaya bahwa mereka hanya menjauh dari dunia luar agar dapat menjalani hidup dengan tenang tanpa takut diusik.

3. Badui Dalam

Suku yang berada di Kabupaten Lebak, Banten, ini merupakan salah satu suku pedalaman Indonesia yang masih bertahan menolak modernisasi seperti listrik, alat elektronik seperti gawai, dan akses internet. Berbeda dengan suku Badui luar, suku Badui Dalam benar-benar membatasi diri dari akses dunia luar.

Akan tetapi, tidak seperti beberapa suku pedalaman lain yang terhitung sulit untuk dijangkau, suku Badui Dalam masih cukup terbuka untuk menerima warga dari luar wilayahnya. Mereka masih menerima kunjungan orang luar di hari-hari dan waktu-waktu tertentu dengan syarat untuk tetap mematuhi aturan yang berlaku di sana.

Mereka menganut ajaran Sunda Wiwitan yang meyakini arwah leluhur dan memuja satu kekuatan besar di alam ini yang mereka imani keberadaannya (animisme) dan sangat menghormati kepala adat yang disebut Pu’un. 

Permukiman suku Badui Dalam berada dekat dengan sumber air atau sungai, sehingga keberlangsungan hidup mereka benar-benar bergantung pada kondisi air sungai. Berangkat dari sana, masyarakat suku Badui juga sangat mementingkan kelestarian alam di sekitarnya.

Dikarenakan tidak memiliki akses moda transportasi, suku Badui Dalam terbiasa berjalan kaki untuk bepergian. Meskipun bisa berjalan jauh dalam waktu yang lama, terdapat peraturan bahwa adanya batas waktu untuk warga suku Badui Dalam yang sedang bepergian meninggalkan area mereka. Jika melanggar, terdapat sanksi, yang paling tinggi bisa dikeluarkan dari anggota kesukuan.

4. Wana

Suku Wana berasal dari sebuah kawasan yang terletak di pedalaman provinsi Sulawesi Tengah bagian timur. Wilayah ini meliputi wilayah pedalaman Kabupaten Poso (terutama di Kecamatan Ampana Tete, Ulu Bongka, dan pedalaman Kecamatan Bungku Utara), Kabupaten Morowali (Kecamatan Mamolosato, Petasia, dan Soyojaya), dan wilayah pedalaman di Kabupaten Luwuk Banggai.

Suku Wana biasa menyebut dirinya Tau Taa (orang Taa), berbeda dengan sebutan dari orang luar yaitu Tau Taa Wana yang artinya orang yang tinggal di kawasan hutan. Sebutan itu merujuk pada bahasa yang mereka gunakan, yaitu bahasa Taa. Bahasa ini disebut juga bahasa ingkar yang masih merupakan satu bagian dari kelompok bahasa Pamona.

Meskipun merupakan suku pedalaman, suku Wana menjalin hubungan yang baik dengan penduduk pantai, terlebih untuk mendapatkan barang-barang berbahan besi. Mata pencarian umum yang mereka lakoni adalah berladang seperti padi, jagung, ubi-ubian, kopi, pisang, dan kelapa. Biasanya, suku Wana mengumpulkan rotan, damar, atau kayu besi untuk dijual sehingga uangnya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan dari pesisir.

Selain kepercayaan animisme dan dinamisme, beberapa warga suku Wana yang sering berhubungan dengan orang-orang Bugis, Mori, Ampana, atau Bajau banyak yang berujung memeluk agama Islam. Sebagian lainnya memeluk agama Kristen Protestan yang ajarannya dibawa oleh seorang penginjil di Lemo. 

5. Dayak Punan

Suku yang satu ini berasal dari Kalimantan. Keberadaannya terbagi di beberapa wilayah, dua di antaranya berada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar) dan Mahakam Hulu, Kalimantan Timur (Kaltim). Pada 2019, sub suku Dayak Punan di dua wilayah tersebut berhasil disatukan. Beberapa sub suku tersebut adalah Punan Uheng Kereho, Punan Hovongan, Bukat Kalbar dan Bukat, Seputan, dan Aoheng Kaltim.

Sebagai salah satu rumpun suku Dayak tertua, persebaran suku Dayak Punan di Kalimantan bisa dikatakan cukup signifikan. Istilah Punan sendiri merupakan sebutan umum untuk kelompok masyarakat pemburu dan peramu yang dulu hidup secara berpindah-pindah di hutan Kalimantan. Itu sebabnya, suku Dayak Punan sering disebut juga sebagai “penjaga hutan rimba”.

Salah satu keunikan suku Punan, khususnya suku Punan Batu, adalah mereka masih melestarikan bahasa lagu (Latala) yang tidak memiliki hubungan secara linguistik dengan bahasa lain di Kalimantan. Diwariskan secara turun-temurun, bahasa lagu suku Punan Batu memiliki beragam penggunaan nada, pengulangan kata atau frasa, dan penggunaan metafora. Isi dari bahasa lagu mereka umumnya menggambarkan pengetahuan dan kearifan lokal tetang alam, flora, fauna, hingga obat-obatan yang mereka miliki.

6. Korowai

Berasal dari daerah pedalaman Papua Pegunungan dan Papua Selatan, suku Korowai atau Koroway diketahui baru berinteraksi dengan dunia luar sekitar 3 dekade yang lalu. Hingga 2023, suku ini diketahui memiliki populasi sebanyak 3.000 orang sejak pertama kali ditemukan di pedalaman hutan Papua pada 1974.

Salah satu keunikan dari suku Korowai adalah rumah mereka yang tidak dibangun di atas tanah, melainkan di atas pohon. Tempat tinggal mereka biasa disebut dengan rumah xaim atau rumah tinggi yang dibangun 3 hingga 9 meter dari tanah di atas tonggak-tonggak dari pohon-pohon berukuran kecil sebagai fondasi. Meski begitu, ada pula jenis rumah xau yang dibangun hanya 1 meter dari permukaan tanah, namun jumlahnya tidak sebanyak rumah xaim.

Tujuan dari pembuatan rumah dengan model seperti itu adalah demi menghindari serangan binatang buas dan gangguan roh jahat yang biasa mereka sebut sebagai laleo. Bagi suku Korowai, istilah laleo juga berlaku untuk semua orang asing yang bukan bagian dari suku mereka.

Masyarakat suku Korowai hidup dari hasil berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Mereka menempati kawasan hutan sekitar 150 kilometer dari Laut Arafura.

7. Anak Dalam

Suku Anak Dalam juga dikenal sebagai suku Kubu adalah suku pedalaman yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Pulau Sumatra bagian tengah, tepatnya di Jambi. Pada 2022, diperkirakan jumlah populasi suku Anak Dalam ada sekitar 200.000 orang.

Istilah Kubu sendiri berasal dari kata ngubu atau ngubun yang dalam bahasa Melayu berarti bersembunyi di dalam hutan. Walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya, Anak Dalam Batin Sembilan yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan, terutama daerah Rawas Rupit dan Musi Lakitan, masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari hasil persawitan. 

Kepercayaan yang dianut suku pedalaman ini adalah animisme yang memuja kekuatan dari alam semesta. Mereka bertahan hidup dengan berburu menggunakan senjata seperti parang, kapak, dan pisau serta meramu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus