Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Puncak tradisi religi Yaa Qowiyyu di Jatinom, Klaten diadakan setiap tanggal 15 Sapar bulan kedua dalam kalender Jawa, bertepatan dengan 18 Oktober 2019. Namun rangkaian religi dan budaya, sudah digelar sejak 6 Oktober.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perhelatan itu, penyelenggara membagikan tujuh ton kue apem (penganan dari tepung beras yang didiamkan semalam dengan mencampurkan telur, santan, gula dan tape serta sedikit garam kemudian dibakar atau dikukus) . Apem dibuat gunungan lalu dibagikan dengan cara dilemparkan ke belasan ribu warga yang saling berebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Apem ini sedekah dari masyarakat. Kalau beratnya sekitar 7 ton,” kata Sekretaris Lembaga Pengelola, Pelestari Peninggalan Kyai Ageng Gribig, Moh. Sudaryanto di Yogyakarta, Selasa, 8 Oktober 2019.
Tradisi keagamaan dan budaya Yaa Qowiyyu sudah berjalan sejak abad ke-16, dan dilaksanakan di Jatinom, Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Tahun ini memasuki babak baru, dan semakin menampilkan potensi budaya masyarakat yang berwarna-warni.
Tradisi Ya Qowiyyu ini juga sering disebut Saparan. Tradisi ini menyatukan religi dengan tradisi atau budaya lokal. Tradisi menyebar kue apem ini diprakarsai oleh tokoh sejarah Kyai Ageng Gribig (keturunan Raja
Bhrawijaya V dari Keraton Majapahit), sekaligus juru dakwah dari Wali Sanga.
Kue apem yang akan disebarkan kepada penduduk. Foto: @frzy.al
Tahun ini rangkaian upacara tradisi Yaa Qowiyyu yang digelar pada bulan Sapar (Saparan) bertambah meriah dengan hadirnya sejumlah acara penting lainnya.
"Nguri-uri Dadi Mberkahi" merupakan tajuk yang dipilih untuk tahun ini. Maksudnya dengan upaya yang terus-menerus masyarakat menjaga
kearifan masa lalu. Dengan sendirinya keberkahan-keberkahan masa lalu
akan turut menyertai perjalanan masyarakat luas.
Sejumlah agenda baru dalam rangkaian acara antara lain bangkitnya sejumlah kesenian masyarakat Desa Jetis di Kecamatan Jatinom yang akan dipergelarkan di desa mereka. Lalu pembuatan panggung pertunjukan, serta lomba pembuatan apem, lomba memancing, bazaar makanan dan jajanan, dan sejumlah pergelaran seni.
Warga juga mulai bangkit dengan menyiapkan rumah-rumah penduduk sebagai homestay, untuk menerima ribuan tamu yang akan hadir selama lebih dari sepekan ini.
“Juga ada lomba Jemparingan (panah tradisional) yang digelar oleh Yayasan Ash-Shomad yang ke-19, juga ada wayang kulit,” kata dia.
Selain itu juga ada pameran fotografi “Wangsul Jatinom” oleh Dr Mia Sismadi. Juga ada diskusi warisan dan nilai-nilai Kyai Ageng Gribig oleh Ki Hadjar Poerwatjarita. Tak kalah menarik adalah Parade Nusantara dengan hadirnya para seniman muda dari berbagai daerah.
Tradisi sebar apem ini dilakukan sejak 1511 tahun Saka atau 1688 Masehi. Yaitu pada akhir masa Sultan Agung. Yaa Qowiyyu diambil dari doa “Yaa qowiyyu, yaa aziz, qowwina wal muslimiin, yaa qowiyyu warzuqna wal muslimiin.”
Warga berebut kue apem. Pada perhelatan Yaa Qowiyyu 2019, terdapat 7 ton kue apem yang dibagikan. Foto: yani_sunarno
“Minta kekuatan kepada Allah. Kuat dalam beragama, kuat jasmani dan kuat ekonomi,” kata Sudaryanto.
Apem, kata dia sebenarnya berasal dari kata afwan (bahasa Arab), yang artinya minta maaf dalam bahasa Indonesia. Saat itu, Kyai Ageng Gribig yang punya nama asli Syekh Wasibagno Timur ini membagikan makanan atau kue yang ia bawa dari Arab saat naik haji. Penganan itu ukurannya besar lalu dipotong-potong dan dibagikan kepada para santrinya.
“Saat ditanya santrinya, Kyai Ageng Gribig menjawab njaluko ngapuro. Afwan, afwan. Tapi karena lidah Jawa, santri itu menyebut dengan nama apem,” kata dia.
Acara inti Yaa Qowiyyu dipusatkan di Masjid Besar Jatinom Klaten, yang berada satu kompleks dengan makam Kyai Ageng Gribig. Banyak peziarah yang datang ke makam beliau di bulan Sapar.
Mia Sismadi, seorang dokter dan fotografer yang keluarganya asli Jatinom menyatakan, perpaduan gelar budaya dan religi ini sangat sesuai dengan ajaran hablun minallah dan hablun minannas. Hubungan antara manusia dengan Allah yang terujud dalam titik keagamaan dan hubungan antara manusia dengan manusia terwujud dalam budaya.
“Ada religi ada budaya. Saling menjaga. Jalan bersama tidak saling menggerus,” kata Mia. MUH SYAIFULLAH