Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tameu itu menggumam dengan nada rendah. Dari mereka, dari kita, untuk Aceh. Tameu tidak hadir dengan suara menyayat yang biasanya melengking tinggi dalam balada tradisional Aceh. Pada Tameu Jroeh' Jroeh (Saling Menyayangi), yang tersaji adalah gumam nada rendah seperti senandung suku-suku Indian Amerika. "Saya ingin sedikit memberi perbedaan nuansa kepada pendengar, tanpa mengurangi emosi lagu," ujar Yovie Widiyanto, musisi yang menulis Tameu dalam tiga jam. Tiga jam berikutnya digunakan untuk rekaman. Secara keseluruhan, bangunan utama Tameu tetap sebuah komposisi pop. Di bagian interlude, ia selipkan narasi ber-bahasa Aceh yang ditulis oleh seniman muda Sanjev.
Tameu adalah satusekaligus yang paling menonjoldari 12 lagu di album Kita untuk Mereka (KUM), produksi Sony Music Entertainment Indonesia. Komposisi menarik lainnya, Mata Hati, dibawakan oleh kelompok Crossbottom, Yogyakarta, dengan aransemen dan harmonisasi suara yang mengingatkan pada lagu-lagu Simon & Garfunkel.
Lagu utama yang berjudul sama dengan nama album dinyanyikan oleh 58 vokalis yang tergabung dalam Indonesian Voices. Dari Titiek Puspa sampai Marshanda, dari Bob Tutupoly sampai Ikke Nurjanah. Dibuka oleh ekspresi vokal Nyak Ina "Ubiet" Raseuki yang khas, KUM pelan-pelan mencair menjadi tipikal "lagu keroyokan" seperti We Are the World, atau Suara Persaudaraan.
Beragamnya langgam penyanyi dari rock sampai dangdut membuat Erwin Gutawa, yang mengaransemen lagu ciptaan Glenn Fredly, tak punya banyak pilihan. Apalagi tenggat waktu begitu ketat. "Kita ingin menggalang dana bantuan bagi korban tsunami secepatnya, namun seluruh lagu tetap harus baru," ujar Jan N. Djuhana, Senior Artist & Repertoire Director Sony Music, konseptor album yang diluncurkan pada akhir Januari. "Me-lodi dan lirik Kita untuk Mereka tercipta dalam dua jam. Karena gambar-gambar di televisi saat itu sangat kuat dan menyentuh, nada-nada itu mengalir begitu saja ketika saya menyentuh piano," kata Glenn kepada Tempo.
Konsep yang berbeda dilakukan oleh Musica Studio's, yang meluncurkan album bertajuk Dari Hati untuk Aceh, Senin pekan lalu. Sembilan lagu di album ini diapit oleh dua puisi dari Guruh Sukarno Putra dan Taufiq Ismail, yang dibacakan oleh Tamara Bleszynski. Artis-artis senior Musica, seperti Ebiet G. Ade, Chrisye, The Rollies, dan Hetty Koes Endang, "turun gunung" menyanyikan lagu-lagu yang selama ini menjadi theme song tayangan tsunami seperti Badai Pasti Berlalu atau Untuk Kita Renungkan. "Permintaan terhadap lagu-lagu lawas itu meningkat tajam, sehingga kita satukan dalam album ini," tutur Indrawati Widjaja, Direktur Musica Studio's.
Uniknya, di album ini terdapat Panggung Sandiwara, yang lazimnya dikenali sebagai lagu God Bless namun dibawakan oleh mendiang Nike Ardilla. Sedangkan grup yang tengah meroket pamornya, Peterpan, bersama vokalis Seurieus, Candil, membawakan lagu Ayah (Rinto Harahap) dengan mengganti seluruh kata "ayah" menjadi "Aceh". Sehingga, di bagian refrain terdengar: Untuk Aceh tercinta/aku ingin bernyanyi/walau air mata di pipiku/Aceh dengarkanlah/Aku ingin berjumpa/walau hanya dalam mimpi.
Agak janggal, memang. Tapi, apa boleh buat, nama besar Peterpan dan niat menggebu untuk membantu korban tsunami membuat pertimbangan estetis untuk sementara dikesampingkan lebih dulu. Seperti halnya, dengan atau tanpa lengking nyawoung, nestapa itu terus saja bersipongang dari hari ke hari. Sampai hari ini.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo