Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Beban di Balik Dokumen Kilat

Sistem satu atap dalam pengurusan dokumen tenaga kerja ilegal dibuat agar dapat menyelesaikan masalah dengan cepat dan murah. Nyatanya, TKI membayar lebih mahal.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah papan bercat baru bertuliskan "Imigresen Malaysia - ORC Tanjung Uban" dipasang di kantor imigrasi Tanjung Uban, Bintan, Riau. Apakah dengan begitu kantor imigrasi Malaysia pindah ke Tanjung Uban?

Pekan lalu, secara resmi dibuka pelayanan administrasi satu atap (one roof center—ORC) bagi tenaga kerja Indonesia yang terkena program amnesti, yakni tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang dipulangkan ke Indonesia untuk mengurus dokumen lewat koordinasi pemerintah.

Selain ORC Tanjung Uban, juga dibuka ORC Entikong (Kalimantan Barat), Nunukan (Kalimantan Timur), Dumai (Riau), dan Belawan (Sumatera Utara). Menyusul dibuka, awal Maret pekan ini, ORC di kantor imigrasi Kuala Tungkal, Batam, Parepare (Sulawesi Selatan), Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Kupang, dan Maluku. Total ada 14 titik pintu ORC yang akan dipakai "mencuci" sekitar 450 ribu TKI ilegal.

Pilihan membuka ORC bisa disebut merupakan buah dari serangkaian lobi antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Pada 3 November, menjelang masa akhir amnesti di penghujung tahun 2004 lalu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Fahmi Idris, menemui Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri Malaysia, Azmi Khalid. Ia juga bertemu Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi. Dalam dua pertemuan itu, Fahmi meminta perpanjangan waktu pengampunan atau amnesti bagi TKI ilegal. Permintaan ini kemudian dikabulkan. Fahmi juga membicarakan kemungkinan pengiriman kembali para TKI dengan status legal pada pembicaraan berikutnya, 9 Desember silam.

Gagasan ORC muncul dalam pertemuan ketiga di Jakarta, 14 Januari silam, ketika Datuk Azami Khalid bertamu dan berunding dengan Menteri Fahmi Idris serta sejumlah pejabat Indonesia. Disepakatilah usulan membentuk komite bersama dalam bentuk sistem satu atap (one roof system) untuk menangani administrasi TKI. Sebab, Malaysia, seperti mereka nyatakan dalam pertemuan, mengaku membutuhkan banyak TKI. "Dengan layanan satu atap ini, TKI yang tadinya ilegal bisa kembali ke Malaysia dengan dokumen resmi secara cepat, lewat prosedur yang benar. Intinya, mempermudah jalur birokrasi," kata Fahmi Idris.

Kini, di kantor imigrasi Tanjung Uban "ditanam" lima orang petugas imigrasi Malaysia. Mereka akan bertugas, untuk waktu awal ini, selama satu bulan, sebelum kemudian datang petugas lain yang dikirim Kuala Lumpur sebagai gantinya. Begitu terus hingga ORC tersebut berakhir tiga bulan kemudian. "Kami hanya mengeluarkan visa untuk TKI, sedangkan yang lainnya tanggung jawab pemerintah Indonesia-lah," kata Abdul Halim bin Haji Hasyim, salah seorang petugas Malaysia itu, kepada Tempo di ruang kerjanya.

Untuk mengesahkan para TKI itu, para petugas Malaysia menyiapkan tiga unit komputer Pentium 4 yang telah diprogram khusus, hingga bisa mengetahui TKI tersebut layak direkomendasi untuk mendapat visa atau tidak. Caranya, dengan memindai (scan) sidik jari TKI bersangkutan. Malaysia memang memiliki database sidik jari puluhan ribu, mungkin sampai ratusan ribu, sidik jari TKI. Maklum saja, mereka sudah mengumpulkannya sejak tahun 1989, ketika program pemutihan TKI gelap di sektor perkebunan dilakukan hingga program amnesti yang ditutup 31 Januari silam, setelah diperpanjang sampai tiga kali. Dan kini diberlakukan Akta Imigrasi No. 115 Tahun 2002, yang memberi hukuman cambuk, penjara, dan denda bagi TKI ilegal.

Nah, sidik jari itu kemudian dicocokkan kembali dengan data mereka. "Bile tanda red (merah), berarti ditolak. Dan bila tanda hijau, berarti lulus," kata Abdul Halim. Bila lulus, bisa langsung diurus segala kelengkapan dokumennya. Bagi mereka yang kena "lampu merah", bukan berarti tak ada toleransi. Petugas imigrasi Malaysia akan melihat paspor yang bersangkutan, apakah pernah tercatat melakukan tindak kriminal atau tidak di negara itu. Bila "bersih", paspor akan ditera stempel "ampunan", dan harapan bekerja di negara semenanjung itu bisa diperoleh. Semua proses itu, dari pemerintah Malaysia, gratis. " Tak ade biaya, percumalah. Gratislah," kata Abdul Halim.

Para petugas Malaysia ini bekerja bersama dengan petugas Indonesia, antara lain dari Imigrasi, Polri, Departemen Dalam Negeri, Tenaga Kerja, dan Departemen Luar Negeri. Konsepnya, kantor satu atap ini akan memberikan pelayanan dokumen yang diperlukan TKI secara cepat. Dari berupa paspor, penandatanganan kontrak kerja, sampai pemeriksaan kesehatan pada satu tempat. Para TKI tak perlu lagi menunggu lama untuk mengurus izin kerja di Malaysia, yang biasanya diurus para tekong.

Hanya, dalam sistem baru ini, untuk mencegah pemalsuan pada paspor, data kartu keluarga atau kartu tanda penduduk tak lagi dipakai, diganti dengan sistem penomoran penduduk tunggal yang bakal diterapkan oleh Departemen Dalam Negeri. Dijanjikan, proses pembuatan seluruh dokumen yang ditarif Rp 2,9 juta per kepala TKI itu paling lama memakan waktu satu minggu.

Namun, alih-alih kerja cepat, kedodoran yang didapat. Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Kepala Seksi Tata Usaha Kantor Imigrasi Mataram, Muhammad Diah, mengaku belum tahu cara kerja sistem penomoran penduduk tunggal yang bakal "diurus" petugas Departemen Dalam Negeri. Ia juga bingung mengenai teknis kerja sistem administrasi satu atap ini. "Makanya, kita menunggu petugas dari Departemen Dalam Negeri," kata Diah.

Menurut Sirojul Munir, Kepala Dinas Tenaga Kerja Nusa Tenggara Barat, pelaksanaan sistem administrasi satu atap rencananya dimulai 15 Februari lalu. Tapi molor, karena persiapan yang terlambat. Misalnya, dari menyiapkan perangkat kerja lunak hingga menunggu petugas dari Imigrasi, Departemen Dalam Negeri, Dinas Tenaga Kerja, Balai Pelayanan dan Penempatan TKI (BP2TKI). Termasuk petugas Malaysia yang akan mengelola dan membantu sistem ini. "Kendalanya, petugas yang mengelola belum siap," ujarnya. Akhirnya, setelah dihitung ulang jadwalnya, disepakati penerapan resminya dilakukan awal Maret.

Di Belawan, salah satu pintu imigrasi terdekat dengan Semenanjung Malaysia, kebingungan itu "diterabas". Masalahnya, banyak TKI yang mengurus dokumen di sana bukan warga asli. Data terakhir, ada sekitar 12 ribu TKI ilegal "mampir" lewat Belawan. Menurut Sunardi, kepala seksi informasi di kantor imigrasi Belawan, pelayanan dibuat mudah. Si pemohon, bila dia TKI yang pulang karena program amnesti, cukup mengisi formulir. Tanpa perlu menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP). "Masalahnya, banyak TKI yang tak lagi memegang KTP," katanya. Formulir bernama Formulir Kejujuran itu berisi keterangan data diri dan alamat si TKI. "Syaratnya, asal mengisi dengan jujur. Walau dia orang Jawa sekalipun, tak masalah," katanya.

Formulir Kejujuran inilah yang dijadikan dasar pembuatan paspor. Lantas cukup wawancara biasa untuk security keimigrasian. Setelah paspor siap dua hari kemudian, diserahkan ke petugas BP2TKI untuk dibuatkan berita acara serah-terima. Dari situ, berkas si TKI dibawa ke petugas imigrasi atau konsul Malaysia untuk dicek sidik jarinya. Bila dia memang sudah membawa keterangan resmi bekerja di Malaysia, dia akan segera mendapat visa. Bila tidak, itu pun bukan masalah. Si majikan akan ditelepon oleh petugas imigrasi Malaysia untuk konfirmasi. Kemudian dikeluarkan calling visa.

Adakah jurus ORC ini melegakan para TKI? Dari segi ongkos, kenyataannya biaya ORC malah membuat sebagian TKI merasa seperti dijadikan sapi perah. Bayangkan, biaya yang harus mereka tanggung jauh di atas ongkos resmi. Dari pantauan Tempo, rata-rata TKI ilegal dikenai ongkos RM 3.000-RM 3.300 atau sekitar Rp 7 juta.

Hasiyah, 24 tahun, misalnya, seorang TKI asal Jawa Timur yang bekerja di pabrik onderdil motor PT Zing Aju Cesting di Belakong Tamin Jaya, mengaku dipungut ongkos 3.000 ringgit (sekitar Rp 6,9 juta) oleh perusahaannya. Ongkos dokumen kerjanya yang diurus sebuah perusahaan jasa pengerah TKI di Pematang Siantar memang dibayar perusahaannya dulu. Setiap bulan, gajinya bakal dipotong RM 200. Penghasilan Hasiyah sebulannya sekitar RM 600. Ia diharuskan mengangsur 13 bulan saja alias RM 2.600 (Rp 5,9 juta). Secuil sisanya baru ditanggung perusahaan. "Bila kita yang nanggung semuanya dulu, bisa bangkrut kita," keluh Hasiyah.

Arif A.K., B. Soedjiartono, Hambali, Rumbadi D., Sujatmiko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus