Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan 40-an tahun itu cukup yakin saat ditanya petugas di loket bagian penerimaan tamu Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Rabu siang pekan lalu. "Nama saya Sri," katanya. Sebuah nama yang lebih sering kita temukan pada orang-orang di Jawa. Bahkan, saat bicara Melayu pun, masih terdengar logat Jawa Tengah lumayan kental. Tapi, entah apa yang membuatnya masih tetap percaya diri ketika ia mengaku berasal dari Aceh kepada petugas bagian konsuler yang menerimanya di kantor perwakilan pemerintah itu.
Tak sampai lima menit kemudian, Sri keluar ruangan dengan muka ditekuk. Rupanya, keinginannya tak terkabul. Padahal di dalam ia sudah mengatakan ia sangat ingin tinggal di Malaysia. Ia tak sanggup "pulang" ke Aceh karena di sana ia sebatang kara. "Pekerjaan pun tak ada," katanya kepada Tempo di ruang tunggu kedutaan.
Ada dua alasan mengapa Sri mengaku dari Aceh. Pertama, ia berharap mendapat kemudahan memperoleh surat per-jalanan laksana paspor (SPLP) dari kedutaan. Kedua, dengan memegang kartu identitas beralamat Aceh, ada lebih banyak kemungkinan baginya untuk selamat dari razia, yang gencar digelar pemerintah Malaysia terhadap para pekerja asing tanpa izin beberapa bulan terakhir ini.
Kepala Bidang Imigrasi Kedutaan RI di Kuala Lumpur, Arihken Tarigan, mengakui banyak TKI asal Aceh yang minta agar SPLP bisa jadi dalam sehari. Alasannya, mereka ingin segera menengok saudara di Aceh yang terkena musibah tsunami. Tapi, anehnya, permintaan sejenis sepertinya meningkat pesat seiring makin kerasnya operasi penangkapan pekerja ilegal di Malaysia.
Tarigan maklum, tak semua dari mereka benar-benar akan pulang ke Aceh. Yang lebih banyak justru yang ingin tinggal dan bekerja di Malaysia, dan menggunakan identitas Acehnya itu agar terhindar dari penangkapan. Apalagi pemerintah Malaysia sendiri seperti memberi "angin" dalam hal ini. "Bagi orang Aceh yang betul-betul harta bendanya musnah akibat gempa dan gelombang tsunami, sudah menjadi kewajiban kami mempertimbangkan keberadaan mereka di sini," kata Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri Malaysia, Datuk Azmi Khalid, kepada Tempo. "Kami perlu lihat identitas yang dipegang. Kalau benar dia menunjukkan diri sebagai orang Aceh dan tidak tahu harus pulang ke mana, tentu kita beri keringanan itu," ujar Ketua Pengarah Imigrasi Pusat Putrajaya, Datuk Ishak bin Mohammad, menambahkan.
Tak mengherankan jika aneka cara ditempuh para TKI agar bisa mendapat identitas Aceh itu. Ada saja yang datang seperti Sri, dan lebih banyak lagi yang datang tanpa membawa selembar pun surat identitas kewarganegaraan. "Tentu kami tak gampang percaya," kata Tarigan.
Untuk mengetes, biasanya pemohon diminta bertutur dalam bahasa Aceh. Toh, masih saja ada yang mencoba ngeles kalau mereka gagal dalam soal ini. "Mereka beralasan tidak lahir di Aceh dan besar di luar daerah itu," kata Tarigan. "Tapi, kalau bahasa Jawa atau logat Medannya lancar-lancar saja, tentu sukar bagi kami memberinya SPLP beralamat Aceh."
Kalau jalan ini buntu, masih ada satu alternatif lagi: mereka pergi ke kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi para pengungsi). Sejak masa amnesti diberlakukan pemerintah Malaysia, kantor UNHCR yang terletak di Bukit Petaling, Kuala Lumpur, mendadak ramai oleh para pencari suaka. Kebanyakan asal Myanmar dan Indonesia. Dengan memegang kartu UNHCR, mereka akan memperoleh izin tinggal sementara, dan harus diperbaharui tiap tahun.
"Selama tiga bulan terakhir rata-rata pemohon 60 orang per hari, padahal sebelumnya di bawah angka 30 orang per hari," kata petugas yang tak mau disebut namanya di kantor itu kepada Tempo. Ia menyodorkan data. Sejak Desember lalu, 2.880 orang asal Aceh mendaftarkan diri untuk mendapatkan perlindungan. Kebanyakan datang sebagai pelarian politik yang merasa tidak aman tinggal di daerah kelahirannya.
Ke kantor inilah Sri berencana mencoba peruntungannya sekali lagi dengan mengaku sebagai orang Aceh. Yang ia tidak tahu adalah bahwa para petugas UNHCR pun tak akan begitu saja percaya padanya. "Mereka harus membawa bukti," kata sang petugas. Syarat lainnya: dia mesti lulus wawancara dalam bahasa Aceh. "Dalam tiga bulan terakhir ada sekitar 10 orang TKI ilegal yang mengaku dari Aceh atau sebagai istri orang Aceh," tuturnya.
Y. Tomi Aryanto, T.H. Salengke (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo