Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Lampung Timur - Sejumlah warga dari enam desa penyangga hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Kabupaten Lampung Timur mendapat pelatihan menangani konflik gajah dengan manusia. Pelatihan itu digelar LSM Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP).
Muhamad Muslih, Koordinator Konservasi Program WCS-IP, mengatakan masyarakat di sekitar kawasan hutan Way Kambas rentan berkonflik dengan satwa gajah liar. “Sebabnya adalah perebutan lahan pangan mengingat kawanan gajah liar sering ke luar hutan mencari makan di kebun atau areal pertanian warga,” ujarnya di Lampung, Rabu, 25 Juli 2018.
Konflik antara gajah dan manusia itu sudah berlangsung lama serta berdampak merugikan kedua belah pihak. Karena itu, pelatihan tersebut digelar untuk mendorong kapasitas masyarakat menangani konflik. "Pelatihan ini penting karena kelestarian satwa itu datang dari masyarakat desa sekitar,” kata Muslih. “Masyarakat terdekatlah yang akan membantu menyelesaikan konflik manusia dengan gajah.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pawang mengiring gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) menuju Rumah Sakit Gajah Prof Dr Ir Rubini Atmawidjaja di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Rumah sakit Gajah Prof Dr Ir Rubini Atmawidjaja didirikan pada 31 Januari 2012 dan merupakan Rumah Sakit Gajah (RSG) pertama di Indonesia dan Asia. ANTARA/Muhammad Adimaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelatihan yang berlangsung tiga hari itu (24-26 Juli) dilakukan di Balai Desa Braja Kencana, Kecamatan Braja Selebah, Way Jepara, Lampung Timur. Peserta merupakan warga dari Desa Taman Fajar, Rantau Jaya Udik II, Labuhan Ratu IX, Labuhanratu VI, Labuhan Ratu VII, dan Braja Kencana.
Mereka adalah perwakilan dari kelompok tani, kelompok wanita tani, kelompok ternak, kelompok karang taruna, kelompok nelayan, kelompok perempuan, dan unsur pemerintahan desa.
Selain dibekali pengetahuan menangani konflik, mereka diajari memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam di sekitar kawasan hutan. Mereka dirangsang untuk menciptakan inovasi usaha yang bisa dikembangkan di sekitar kawasan hutan.
Masyarakat, misalnya, bisa memanfaatkan kanal-kanal penghalang gajah sebagai tempat usaha budi daya ikan. "Jadi masyarakat tidak hanya didorong berusaha produktif, tapi juga diajak bersama-sama menjaga gajah," ujar Muslih.
Kepala Balai TNWK Ir Subakir menyebutkan ada 37 desa yang berbatasan langsung dengan hutan Way Kambas. Sedangkan jumlah petugas hutan Way Kambas atau polisi hutan hanya 40 orang. “Sehingga kami kesulitan menangani jika terjadi konflik manusia dengan gajah. Begitu pula manakala terjadi kebakaran hutan dan perburuan satwa,” ucap Subakir.
Adanya pelatihan oleh WCS-IP itu, kata Subakir, akan mendorong warga ikut berperan menjaga keamanan dan kelestarian hutan TNWK.
ANTARA