Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Wisata Sejarah, Kisah Pemakaman Sultan Sepuh Sampai Jebol Tembok

Belanda melarang jenazah Sultan Sepuh dimakamkan di Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Akhirnya dibawa ke Kotagede. Ada juga versi pemakaman yang lain.

4 Mei 2019 | 20.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana halaman Makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Kisah tentang pemakaman Sultan Sepuh atau Sri Sultan Hamengku Buwono II menarik untuk diketahui generasi muda. Pada masa itu, keraton Yogyakarta mengalami tantangan ketika hendak memakamkan jasad Sri Sultan Hamengku Buwono II, hingga akhirnya mengambil tindakan menjebol tembok makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca: Wisata Sejarah, Kisah Benteng Setebal 1 Meter Jebol Ditendang

Sultan Hamengku Buwono II atau dikenal dengan sebutan Sultan Sepuh memerintah kasultanan selama tiga periode, yaitu 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828. Sultan Sepuh wafat pada 3 Januari 1828. Sesuai aturan kerajaan, semestinya jenazahnya dimakamkan di Makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul.

Sejak masa Raja Mataram III Sultan Agung Hanyokrokusumo, jenazah para raja dimakamkan di Imogiri, Bantul. Hanya dua Raja Mataram yang dimakamkan di Makam Raja-raja Mataram di Kotagede, yaitu Raja Mataram I Panembahan Senopati dan anaknya, Raja Mataram II Panembahan Hanyokrowati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru kunci Makam Raja-raja Mataram Kotagede, Yogyakarta, Mas Lurah Endri Wisastro mengatakan Sultan Sepuh termasuk raja yang anti-kolonialisme. "Sultan Sepuh menentang Belanda," katanya saat ditemui Tempo di Kantor Sekretariatan Makam Kotagede, Sabtu, 27 April 2019.

Sikap itu membuat proses pemakaman Sultan Hemangku Buwowo II menghadapi tantangan. "Iring-iringan pasukan yang membawa jenazah Sultan Sepuh ke Makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, dicegat pasukan Belanda," kata Endri.

Pasukan yang membawa jenazah Sultan Sepuh kemudian beralih ke Makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Namun ketika sampai, kondisi makam di kompleks itu sudah penuh. Lantaran tak ada tempat lagi, proses pememakaman jenazah Sri Sultan Hamengku Buwono II tetap dilakukan di sana.

Hanya saja, pasukan yang membawa jenazah tidak melewati pintu utama Makam Raja-raja Mataram di Kotagede, melainkan dengan menjebol tembok makam di bagian utara. "Jadi, kalau ada raja setelah Sultan Agung yang wafat dimakamkan di Kotagede, tidak lewat pintu depan. Tapi dari pintu samping," kata Endri.

Bentuk tembok luar Kompleks Makam Raja-raja Kotagede yang pernah dijebol prajurit Mataram untuk jalan masuk iring-iringan pengangkut jenazah Sultan Hamengku Buwono II. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Itu menurut versi pertama. Endri menjelaskan, ada satu lagi cerita tentang Sri Sultan Hamengkubuwono yang akhirnya dimakamkan di Makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta. "Versi kedua, ceritanya adalah Sultan Sepuh sendiri yang berwasiat agar jasadnya dimakamkan bersama dengan leluhurnya di Kotagede," kata Endri.

Kisah tembok sebelah utara di Makam Raja-raja Mataram Kotagede yang dijebol juga ada dua versi. Cerita yang lain adalah, tembok di makam sengaja dibobol karena saat itu pemerintah Kolonial Belanda melarang para raja yang wafat dimakamkan di Makam Imogiri maupun Kotagede. "Dua makam para raja itu ditutup oleh Belanda," kata pemandu wisata Jelajah Pusaka Kotagede, David Nugroho.

Tak terima dengan pelarangan tersebut, maka pasukan keraton menjebol dinding makam. "Itu adalah satu-satunya jalan sekaligus simbol perlawanan kepada Belanda," ucap David. Bekas tembok yang dijebol masih terlihat hingga kini.

Artikel lainnya:
Aturan Nyekar ke Makam Raja, Beda Anak Raja dan Orang Biasa


Dinding itu sudah ditutup kembali pada masa yang sama. Hanya saja, posisi dinding lebih menjorok ke dalam dibanding tembok lainnya. Uniknya, tembok makam berupa bata merah tidak direkatkan dengan semen. "Sebelum disusun, bata-bata merah itu saling digosokkan hingga muncul perekat seperti semen,” kata David.

Hasil gesekan antar-bata merah menghasilkan serbuk yang berfungsi sebagai perekat. Buktinya, kendati tak pakai semen, tembok-tembok bata merah itu masih berdiri kokoh hingga kini. Padahal Kerajaan Mataram Islam di Kotagede didirikan pada 1588. Selain itu, tentu saja karena ukuran temboknya memiliki ketebalan lebih dari 1 meter.

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus