Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wulan, bukan nama sebenarnya, terperanjat ketika mengetahui akun Twitter nya dipantau oleh perusahaan yang akan merekrutnya. Dalam sesi wawancara, Wulan dimintai konfirmasi apakah akun dengan nama tersebut adalah miliknya. ”Saya mengakuinya karena itu memang punya gue,” kata perempuan 27 tahun itu kepada Tempo. Setelah tahap wawancara itu, Wulan tak lagi mendapat panggilan dari perusahaan bintang lima bidang jasa tersebut. ”Mungkin memang karena twitt gue,” ujar perempuan berkulit cerah itu.
Wulan hanya bisa menduga duga alasan perusahaan itu tidak lagi memanggilnya karena isi kicauannya. Namun itulah kenyataannya. Ia mengakui kicauannya kerap seenaknya. Misalnya, pada satu siang ia menuliskan status akan bolos kerja setelah makan siang. Di lain waktu, ia menuliskan komentarnya tentang atasannya yang mengesalkan karena memberikan tugas berlebihan. ”Yah, saya enggak jadi pindah kerja, deh,” ujarnya tersenyum.
Apa yang dialami Wulan sebenarnya sudah menjadi tren di dunia rekrutmen tenaga kerja. Perilaku di dunia maya dijadikan salah satu penilaian ketika merekrut calon karyawan. Tidak hanya di situs Twitter, beberapa akun pribadi lain yang turut dipantau adalah Facebook, LinkedIn, hingga blog pribadi. ”Itu memang bagian dari referensi untuk menyeleksi orang,” kata Presiden Direktur JAC Recruitment Indonesia, Mariko Asmara, ketika ditemui Tempo di kantornya di Menara Thamrin, Jakarta. JAC adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang outsourcing dan rekrutmen kerja.
Menurut Mariko, penilaian dari akun pribadi di dunia maya itu dilakukan pada tahap awal. Jika sudah terdapat cacat, si calon pekerja tidak akan dipanggil kembali. ”Kami sudah melakukan ini sejak semula,” ujar perempuan keturunan Jepang ini. Status atau apa pun yang ditulis di akun pribadi dianggap merupakan gambaran kepribadian seseorang. ”Apakah cocok dengan lapangan kerja itu atau tidak.” Mariko mengakui pernah mencoret kandidat yang memiliki latar yang buruk dalam akun dunia maya.
Perusahaan di Amerika dan Eropa sudah terlebih dahulu memanfaatkan situs jejaring sosial di Internet untuk menggali informasi tentang orang yang melamar kerja. Biasanya alasan penolakan adalah kandidat mem posting foto atau informasi yang provokatif dan tidak sopan, kebiasaan minum alkohol atau mabuk mabukan, menjelek jelekkan perusahaan atau teman kerja, hingga komentar yang menyerang orang lain di jejaring sosial.
Angka penggunaan Internet yang tinggi menjadi patokan bahwa dunia maya sudah menjadi salah satu tempat berinteraksi yang layak untuk dijadikan penilaian. Dalam sebulan di seluruh dunia terdapat 346 juta orang pembaca blog, 700 juta foto yang diunduh ke Facebook, dan rata rata setiap orang online selama 273 menit. Adapun di Indonesia, hingga April 2010, terdapat 21,5 juta akun Facebook, yang pada akhir 2008 hanya berkisar 1,5 juta akun. Itu berarti setiap sebulan terdapat 1 juta akun baru.
Demikian juga dengan situs microblogging Twitter. Menurut data yang dilansir situs www.zdnetasia.com, penetrasi Twitter di Indonesia adalah yang paling tinggi, yakni 20 persen dari seluruh pengguna Internet. Diikuti oleh Brasil, Venezuela, Belanda, dan Jepang. Adapun jumlah pengguna Twitter di seluruh dunia mencapai 92,9 juta pengguna, yang melonjak 109 persen dibanding tahun sebelumnya. Bisa dibilang, bersosialisasi dan menjaga jejaring sosial di dunia maya sudah merupakan kebutuhan, termasuk kebutuhan akan informasi.
Tingginya angka traffic jejaring sosial di dunia maya mengundang CEO Google Eric Schmidt mengingatkan agar pengguna Internet berhati hati. Menurut dia, pengungkapan jati diri secara bebas di dunia maya bisa mengganggu prospek kerja di masa depan. Eric mengatakan informasi yang tercatat di Internet sebagian besar tidak bisa dihapus. ”Informasi itu akan membuat anak muda menyesali kesalahan mereka nanti,” kata Eric seperti dikutip Wall Street Journal.
CEO Virtual Consulting Nukman Luthfie mengatakan sejarah seseorang pada akun pribadi di dunia maya seperti Twitter dan Facebook merupakan jejak yang sesungguhnya. Daftar riwayat hidup (curriculum vitae) yang disertakan dalam rekrutmen kerja, kata Nukman, memang punya posisi penting. ”Tapi itu tidak cukup. Karena dibuat menurut versi dia,” ujar pendiri PT Virtual Media Nusantara ini. Jejak di media sosial dibutuhkan sebagai konfirmasi atas riwayat hidup yang dilampirkan secara resmi.
Nukman mengakui, pada beberapa kasus, jejak di dunia maya tidak menggambarkan seseorang yang seutuhnya. Banyak yang membuat akun pribadi hanya untuk kepentingan hiburan dan senang senang belaka. Bahkan beberapa membuat akun yang tidak menggunakan nama asli. ”Jadi akun dunia maya bukan untuk menilai capable atau tidak, tapi lebih untuk melihat gaya seseorang,” ujar Nukman, yang juga Presiden Direktur Portal HR.
Dalam proses rekrutmen, yang dilakukan perusahaan adalah menggali sebanyak mungkin data tentang kandidat atau pelamar. Jika ada orang yang menyajikan data pribadi yang lengkap dalam akun dunia mayanya, secara tidak langsung orang tersebut akan memiliki nilai tambah di mata perusahaan. Sebaliknya, jika seseorang memasukkan data yang asal bikin dan tidak akurat tentang dirinya, otomatis akan merugikan dirinya sendiri ketika akun tersebut diketahui perusahaan.
Selain pada tahap rekrutmen, akun dunia maya berpengaruh pada nasib seorang karyawan. Nukman mengakui pernah memecat salah satu karyawannya karena berperilaku tidak baik di dunia maya, yakni menjelek jelekkan perusahaan. ”Tapi saya tidak mau expose,” katanya. Menurut dia, di beberapa perusahaan lain juga ada kasus karyawan yang dipecat karena membocorkan rahasia perusahaan. Walau si karyawan tidak bermaksud membocorkan rahasia, yang diungkapkan dalam akun itu dianggap rahasia. Biasanya dalam keterangan resminya perusahaan selalu menutupi alasan memecat karena status akun di dunia maya.
Selain rahasia perusahaan, kata Nukman, menurut etika, mengomentari atasan atau perusahaan di media jejaring sosial adalah hal yang terlarang. Di luar itu, membicarakan orang lain juga sebaiknya dihindari. ”Karena akun dunia maya itu adalah ruang privat yang di go public kan,” kata dia. Jadi nasihat agar berhati hati jika menuliskan sesuatu di akun dunia maya adalah hal yang benar.
Karena itu, Nukman menyarankan sebaiknya setiap perusahaan menerbitkan aturan tentang perilaku dunia maya bagi karyawannya. ”Bahkan wajib,” ujarnya. Pasalnya, peraturan perusahaan yang berlaku saat ini rata rata dibuat sebelum media sosial merebak dan menjadi tren seperti sekarang ini. Dengan aturan tersebut, setiap karyawan bisa bertindak sebagai humas yang secara tidak langsung juga menguntungkan perusahaan.
Tapi tak selamanya akun pribadi di dunia maya hanya berdampak buruk dan menjadi bumerang. Bagi sebagian orang, akun jejaring sosial merupakan sarana yang bagus untuk terhubung dengan berbagai kesempatan kerja dan untuk mempromosikan diri di Internet, atau bahkan berbisnis. ”Saya pernah merekrut orang karena riwayat hidup di Facebook yang lengkap. Bahkan lebih lengkap dari daftar riwayat hidup formal,” kata Nukman.
Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo