Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Katakan: Kamu!

27 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agung Y. Achmad

  • Wartawan

    Anda, sebagaimana saya dan banyak orang di sekitar kita, sering bertutur, mendengar, atau disapa orang dengan ucap­an semisal: Hai, bagaimana kabarnya?; Bang, minumnya apa?; Mas, boleh saya minta alamat e mail nya; Ibu pendapatannya dari mana?; Aslinya Non dari mana?

    Ucapan ucapan tersebut hanyalah sedikit bukti tentang kesungkanan kita menggunakan kosakata ”kamu” atau ”Anda” (”antikamu”) pada saat bertutur atau menulis. Ada ambigui tas di sana. Di satu pihak penghilangan kata ”kamu” merupakan upaya penghalusan, di lain pihak hal itu menjelaskan dominasi ”aku”. Struktur kalimat pun menjadi kacau akibat kekeliruan dalam menempatkan­ kata ganti (dan kata ganti milik) orang kedua tunggal.

    Masih banyak varian kalimat yang arbitrer seperti ucapan di atas, bahkan dalam naskah yang dipublikasi­kan. Dalam bentuk jamak, kalimat­ se­wenang wenang sering kita dengar, seperti: ”Penonton, mana tepuk tangannya?” atau ”Teman teman, terima kasih atas sumbangannya”. Kalimat kalimat tersebut bisa dibikin lugas, populer, dan baku: ”Terima kasih atas sumbang­an kawan kawan”, atau ”Terima kasih untuk kawan kawan yang telah memberi sumbangan; Penonton, mana tepuk tangan kalian?”

    Wartawan Andy F. Noya, pada saat mewawancarai penyair asal Prancis, Elisabeth N. Inandiak, (Kick Andy di MetroTV, 20 Agustus 2010), misal­nya, berucap, ”Anda kan orang Prancis. Seberapa cintanya pada Indonesia?” Tentu saja, Elisabeth dan para pemirsa memahami pertanyaan Andy itu sebagaimana bila wartawan senior itu berucap: ”Anda kan orang Prancis. Seberapa cinta Anda kepada Indonesia?”

    Telinga kita memang terbiasa mendengar struktur kalimat yang kacau dan ”pelit” menampilkan kosakata ”ka­mu” atau ”Anda”, terutama dalam­ bahasa lisan. Hal demikian banyak kita jumpai pada iklan televisi. Ada kesan bahwa tim kreatif iklan tidak bekerja keras dalam mencari kata atau kalimat yang baku, lugas, dan meng­hibur yang sekaligus jitu seba­gai bahasa promosi, seperti pada iklan sebuah produk rokok: ”Mana ekspresinya?”

    Saya pernah menjadikan kutipan tersebut sebagai topik diskusi bersa­ma dua kawan yang kebetulan bekerja di sebuah perusahaan advertising. Menurut mereka, klip iklan memang­ harus komunikatif dan bisa mende­katkan suatu produk kepada konsu­men, dan karena itu menampilkan cara berbahasa masyarakat secara apa adanya adalah hal lumrah. Mere­ka enteng saja membawa kalimat nga­wur ke ruang publik. Padahal terlampau banyak pilihan kata atau kalimat efektif dan populer yang memenuhi standar baku bahasa sekaligus menarik sebagai pesan komersial.

    Cara berbahasa ”antikamu” memang ada akarnya. Bahasa Jawa mungkin bisa dikatakan sebagai faktor paling berpengaruh dalam hal ini. Bennedict Anderson, pengamat sosial politik Indonesia kondang dari Cornell University, Amerika Serikat, pernah mengulas hal ini dalam perspektif yang luas: tentang relasi kebudayaan Jawa dan politik Indonesia modern. Melalui berbagai tulisan, termasuk pada kumpulan esai­nya yang sangat masyhur: Kuasa Kata: Jelajah Budaya Budaya Politik di Indonesia, 2000, Ben Anderson meng­ulas signifikansi proses ”Jawanisasi” terhadap bahasa Indonesia.

    Bahasa Jawa, menurut Ben, tidak memiliki kata yang tepat untuk ka­ta ganti ”kamu”. Kata panjenengan (kamu), misalnya, tidak bisa digunakan dalam semua situasi. Telah dilakukan suatu upaya untuk mengha­dapi hal itu melalui penggunaan bahasa ngoko (bahasa Jawa sehari ha­ri), namun tidak berhasil (Paul Stange, dalam Politik Perhatian, 1998). Bagi kebanyakan orang Jawa, menyebut ”kamu” kepada lawan bicara adalah hal tidak sopan. Apalagi bila si ”kamu” lebih tua atau tinggi derajat sosialnya ketimbang ”saya”.

    Dalam kultur politik elitis, bahasa politik (yang telah terjawakan) secara mudah merambah masuk ke level sosial menengah bawah serta ke ranah nonpolitik. Para penguasa di masa lalu, Soekarno dan Soeharto, adalah rezim yang sadar benar terhadap keampuhan penggunaan bahasa politik yang ”terjawakan” ini untuk melanggengkan kekuasaan. Semua partai politik yang ada pada saat ini juga meneruskan tradisi lama tersebut. Karena itu, bisa dimengerti bila etos berbahasa ”antikamu” kini tidak lagi menjadi identitas orang Jawa.

    Ucapan wartawan Andy F. Noya di atas menjelaskan hal itu. Padahal, ia termasuk sedikit wartawan yang jeli dan fasih menyapa ”Anda” kepada setiap narasumber yang ia wawancarai. Gejala tersebut mirip dengan kebiasaan banyak orang ketika merespons ucapan lawan bicara mereka dengan kalimat tanya: maksudnya?” Jarang orang, ketika hendak meminta penjelasan partner bicaranya, mengajukan pertanyaan: ”maksud kamu?” atau ”maksud Anda?”

    Dalam hal ini, ucapan ”maksud lu” memiliki aspek semantik yang bagus, karena pihak kedua diakui secara nyata dan ada kesetaraan di sana. Jadi, bila Anda tidak suka bilang lu, berlatihlah sejak sekarang untuk mengucapkan: ”kamu” atau ”Anda”. Itu bahasa yang baik dan benar.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus