Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR itu datang dari Istana Presiden, Kamis pekan lalu. Setelah bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengumumkan sikap lembaganya atas putusan pengadilan tinggi yang membatalkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah tiga pekan lalu. Pembatalan itu memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, April lalu. ”Kami akan mengajukan langkah hukum luar biasa atau peninjauan kembali,” kata Hendarman di depan puluhan wartawan Istana.
Menurut Hendarman, pertimbangan yang dijadikan majelis hakim dalam memutus perkara banding praperadilan itu jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan. Dengan alasan adanya pertimbangan yang khilaf itulah, menurut Hendarman, pihaknya tidak akan melimpahkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Mohammad Amari menunjuk kekeliruan yang dilakukan majelis hakim terletak pada kesimpulan hakim, yang menyatakan perkara yang sudah lengkap tidak bisa dihentikan. Menurut Amari, kejaksaan berwenang tidak melanjutkan suatu perkara meski perkara itu dinyatakan lengkap. Alasannya, sebelum dilimpahkan ke pengadilan, kejaksaan pasti akan mengkaji layak atau tidak perkara itu dituntut. Dengan demikian, ”Kalau ternyata tidak layak, ya bisa dihentikan,” ujarnya.
Upaya peninjauan kembali dipilih kejaksaan dari dua alternatif lain yang ada: kasasi dan deponering. Kasasi tidak dipilih karena Mahkamah Agung tidak mengenal kasasi atas praperadilan. Adapun deponering atau pengesampingan perkara juga tak dipilih karena pertimbangan beberapa hal. Selain prosesnya harus meminta pendapat lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif, di satu sisi sikap Presiden sudah jelas, yakni memerintahkan perkara ini dihentikan.
Di jalur legislatif, kejaksaan juga sudah mempertimbangkan kemungkinan besar opsi ini bakal mentok. Soalnya, sikap Dewan Perwakilan Rakyat sudah jelas. Dalam rapat dengan Kejaksaan Agung, September lalu, DPR meminta kasus Bibit-Chandra dibawa ke pengadilan. Lalu ada kekhawatiran lain. Mahkamah Agung, sebagai lembaga yudikatif, belum tentu mengabulkannya. ”Mahkamah melarang pengadilan menolak perkara. Jadi apa mungkin dia memberikan pendapat tentang deponering,” ujar seorang petinggi Kejaksaan Agung kepada Tempo.
Hendarman menunjuk alasan lain kenapa deponering tak dipilih. Menurut dia, perkara Anggodo Widjojo, yang didakwa mencoba menyuap dan menghambat Bibit-Chandra selaku pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, sedang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nah, berdasarkan hal itu, apabila perkara Bibit-Chandra di-deponering, sedangkan perkara Anggodo tidak, bertentangan dengan asas equality before the law.
Todung Mulya Lubis, mantan anggota Tim Delapan yang dibentuk Presiden untuk mengkaji kasus Bibit-Chandra enam bulan silam, mengatakan pilihan peninjauan kembali itu menunjukkan sikap ketidaktegasan kejaksaan. Dengan pilihan ini, kata dia, kejaksaan sebenarnya hanya menunda kekalahan, mengulur-ulur waktu, dan bukan menyelesaikan masalah. ”Sebab, meskipun PK sedang dalam proses, kejaksaan tetap harus mengajukan kasus ini ke pengadilan,” katanya. Menurut Todung, sedari awal pihaknya mengusulkan kejaksaan mengeluarkan deponering untuk kasus Bibit-Chandra itu. Sementara itu, adanya kendala dari pihak legislatif, misalnya, menurut Todung, itu bisa diatasi. ”Yang penting, kejaksaan harus mengupayakan deponering itu.”
Pilihan sudah jatuh. Yang pasti, dengan pembatalan SKPP itu, status tersangka kini melekat pada Bibit dan Chandra. Terkait dengan status ini, kejaksaan sudah mengambil sikap. Menurut Amari, pihaknya tak akan melakukan penahanan terhadap dua pemimpin KPK yang dituduh melakukan pemerasan tersebut. Dari pengadilan banding, juru bicara Pengadilan Tinggi Jakarta, Andi Samsan Nganro, menyatakan menghormati pilihan kejaksaan. ”Itu hak kejaksaan,” ujarnya.
Bibit dan Chandra memang tetap masih berkantor di KPK. Hanya mereka tak lagi dilibatkan mengambil putusan atawa meneken surat keputusan. ”Ini masalah legalitas,” kata Wakil Ketua KPK M. Jasin, yang kini praktis hanya bersama Haryono ”memimpin” KPK.
Erwin Dariyanto, Renny Fitria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo