Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=2 color=#FF9900>Putusan</font><br />Lagi-lagi Bebas di Pengadilan Antikorupsi

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis bebas Wakil Wali Kota Bogor. Untuk yang kesekian kalinya.

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN raut tenang, Ahmad Ru’yat duduk di kursi terdakwa di ruang IV Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. Kamis pagi dua pekan lalu, Wakil Wali Kota Bogor nonaktif periode 2009-2014 itu sedang menghadapi pembacaan vonis atas dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bogor tahun 2002.

Ru’yat, yang ketika itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bogor dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dituding menerima uang penunjang kegiatan proyek Rp 122 juta. Kas Bogor pun tekor Rp 6,2 miliar karena ada 32 anggota DPRD lain yang menikmati uang serupa di luar gaji itu.

Menjelang siang, setelah empat jam putusan dibacakan secara bergantian, hakim ketua Joko Siswanto sampai pada pembacaan vonis. Seisi ruang sidang langsung senyap. Ru’yat duduk tegak menatap tajam tiga hakim. "Majelis hakim memutuskan...," Joko rehat sejenak, "menyatakan membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum."

Ruang sidang seketika bergemuruh. Kader-kader PKS yang ada di ruangan itu langsung berdiri dan meneriakkan "Allahu akbar" berkali-kali. Ru’yat juga bangkit dan bersujud di lantai ruang sidang. Wajahnya sumringah. "Terima kasih majelis hakim, terima kasih warga Bogor, terima kasih para wartawan," katanya.

Tak hanya membebaskan, hakim juga memerintahkan hak-hak Ru’yat dikembalikan. Misalnya jabatan wakil wali kota. Wali Kota Diani Budiarto menyambutnya dengan segera mencabut surat penonaktifan koleganya itu. Artinya, Ru’yat bakal kembali menjadi wakil wali kota dan mungkin maju menjadi calon Wali Kota Bogor periode 2014-2019. Menurut beberapa politikus Bogor, dia calon paling kuat sejauh ini.

Putusan Pengadilan Tipikor Bandung itu jelas merupakan antiklimaks dari serangkaian persidangan maraton sebelumnya, yang digelar sejak 2004 terhadap 32 bekas anggota DPRD Kota Bogor. Pengadilan Negeri Bogor—karena Pengadilan Korupsi di daerah belum terbentuk—memvonis mereka bersalah telah menikmati uang fasilitas dari APBD.

Hakim-hakim itu tak setuju dengan dakwaan jaksa yang menyodorkan bukti-bukti kuitansi penerimaan dan pencairan uang proyek itu. Hakim menilai duit tersebut tak layak dinikmati anggota DPR yang menyetujui mata anggaran yang diajukan pemerintah itu.

Sebab, uang fasilitas itu di luar gaji, sehingga adanya alokasi ini membuat anggota DPRD Kota Bogor mendapat penghasilan dobel. Gaji iya, uang fasilitas iya. Saat penyidikan, di antara anggota Dewan itu ada yang mengembalikan uang, tapi ada juga yang menolak dan memilih menjalani hari-hari di penjara Paledang.

Tapi tidak begitu pertimbangan hakim Joko Siswanto, yang membebaskan Ru’yat. Dia baru disidang sekarang karena, ketika pengusutan kasus ini mulai berjalan pada 2009, Ru’yat sudah menjadi wakil wali kota berpasangan dengan Diani Budiarto. Jaksa harus menunggu izin Presiden lebih dulu untuk memeriksa Ru’yat.

Menurut Joko, Ru’yat tak bersalah. Dua hakim lainnya idem ditto. Hakim Pengadilan Korupsi daerah terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc (sementara). Karena baru dibentuk awal tahun ini, pengadilan di Semarang, Surabaya, dan Bandung masih menginduk pada pengadilan negeri. Batasannya, untuk kasus korupsi di atas Rp 100 miliar ditangani tiga hakim karier dan dua hakim ad hoc. Sedangkan kasus di bawah Rp 100 miliar diputuskan oleh dua hakim karier dan satu hakim ad hoc.

Dalam memutuskan kasus Ru’yat, Joko bersandar pada penetapan Gubernur Jawa Barat atas rancangan APBD tersebut. Kata Joko, tak ada koreksi dari Gubernur atas rancangan itu. RAPBD yang dikembalikan ke DPRD Bogor disahkan menjadi peraturan daerah. "Saat pertanggungjawaban juga tak ada koreksi," kata Joko. "Ya, sudah, tak ada hukum yang dilanggar."

Hal yang meringankan Ru’yat berikutnya adalah tak adanya audit Badan Pemeriksa Keuangan atas APBD 2002 dan tuduhan korupsi itu. Penilaian BPK itulah, kata Joko, yang bisa menentukan duit yang diterima Ru’yat dan kawannya itu tergolong korupsi atau bukan

Joko, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Bandung, mengaku siap dihujat atas putusannya itu. Ia tak menampik sejumlah tuduhan yang dialamatkan, termasuk menerima duit Rp 500 juta dari Ru’yat. "Saya terima SMS seperti itu, tapi tak saya tanggapi," katanya.

Joko memang terkesan memberi keistimewaan kepada Ru’yat. Ia, misalnya, mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Ru’yat, sesuatu yang tak pernah dilakukan, misalnya, oleh Pengadilan Tipikor di Jakarta. Lewat penangguhan ini, status Ru’yat pun jadi tahanan kota. Saat itu beragam tuduhan miring berhamburan ke Joko. Tapi Joko menegaskan yang ia lakukan sesuai dengan prosedur dan ia tak menerima suap apa pun untuk masalah ini.

Selama 26 tahun menjadi hakim, Joko mengaku kerap dicurigai macam-macam. Selain memutus bebas Ru’yat, ia pernah membebaskan terdakwa korupsi dana pedagang kaki lima dengan terdakwa seorang pengusaha dan Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandung. Saat bertugas di Sumatera Selatan, ia pernah membebaskan Direktur Bank Sumsel dari tuduhan korupsi.

Bagi Pengadilan Tipikor Bandung, Ru’yat adalah pejabat ketiga yang dibebaskan. Tiga pekan sebelumnya, Bupati Subang Eep Hidayat juga dibebaskan dari tuduhan korupsi duit upah pungut pajak bumi dan bangunan senilai Rp 14 miliar. Pertimbangannya sama: Eep tak melanggar hukum apa pun dan tak adanya perhitungan BPK berapa nilai kerugian negaranya.

Sebelumnya lagi, 3 Agustus lalu, Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Bandung Priana Wirasaputra, terdakwa korupsi dana talangan APBD 2004 sebesar Rp 2,5 miliar. Majelis hakim yang diketuai Charles Simamora menyatakan Prina, yang dituntut empat tahun penjara, tidak terbukti melakukan korupsi.

Pertimbangan dan putusan hakim membebaskan Ru’yat itu disambut riang gembira koleganya anggota DPRD Bogor yang berada di bui. Salah satunya Mochamad Sahid. Di balik tubuh ringkihnya yang terkena stroke, politikus PDI Perjuangan berusia 63 tahun itu menunjukkan raut gembira. "Putusan itu benar karena uang itu memang jatah kami," kata bekas Ketua DPRD Kota Bogor dan wakil wali kota ini.

Maka ia memilih tak mengembalikan uang yang sudah dinikmatinya itu. Bagi Sahid, meski upaya hukum agak tertutup dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, ia bertekad akan mengajukan kembali upaya hukum peninjauan kembali dengan novum vonis Ru’yat. Ia menyarankan teman-temannya juga mengajukan upaya hukum lanjutan. "Kasus Pak Ru’yat ini yurisprudensinya," katanya.

Ketua Kejaksaan Negeri Bogor Ahmad Hadari Ghazali geleng kepala mendengar pertimbangan hakim atas vonis bebas terhadap Ru’yat. Ia mengaku terkejut ketika mendengar vonis bebas murni itu. Ia juga sudah menduga vonis itu akan dipakai kolega Ru’yat untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

Awalnya Ghazali hakulyakin Ru’yat menyusul teman-temannya ke Paledang. Sebab, pasal untuk Ru’yat sama dengan pasal yang didakwakan kepada mereka yang sudah dibui. Sejak pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung menyebutkan ke-32 bekas anggota Dewan itu bersalah. Mahkamah bahkan menolak peninjauan kembali yang diajukan Mochamad Sahid.

Soal tak adanya audit BPK, Ghazali mengatakan audit itu tak perlu karena bukti-bukti pemakaian uang sudah terang dan jelas. Untuk Ru’yat, misalnya, uang itu dipakai membayar cicilan utang pribadi ke Bank Jabar. Pengeluaran lain tak disertai kuitansi.

Karena itu, Ru’yat mengembalikan uangnya saat penyidikan berlangsung. Uang Rp 122 juta kemudian dititipkan di BNI. Bagi jaksa, pengembalian uang itu bukti pengakuan Ru’yat telah memakai uang yang bukan haknya. "Sewaktu penyidikan, Pak Ru’yat sudah lempar handuk," kata Ghazali. "Maka kami kaget dia dibebaskan."

Karena tak ingin dakwaannya sia-sia, Ghazali meminta jaksa yang menangani kasus ini mengajukan permohonan kasasi. "Kami harus kasasi karena ini menyangkut harga diri lembaga," katanya.

Bagja Hidayat, Erick P. Hardi (Bandung), Arihta U. Surbakti (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus