Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga anggota TNI AL yang menembak bos penyewaan mobil akan diproses secara peradilan militer.
Padahal berbagai pihak menilai kasus ini seharusnya diproses melalui peradilan umum.
Pemerintah diminta segera merevisi UU Peradilan Militer yang sudah uzur dan tak sesuai dengan semangat reformasi.
PENEMBAKAN bos rental mobil, Ilyas Abdurrahman, oleh anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut di area peristirahatan jalan tol Tangerang-Merak Kilometer 45 jadi simpang-siur oleh keterangan Panglima Komando Armada Laksamana Madya Denih Hendrata. Denih mengatakan penembakan terjadi karena anggota TNI itu dikeroyok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizky Agam Saputra, anak Ilyas yang menyaksikan ayahnya ditembak bersama tiga temannya, membantah klaim Denih Hendrata. Agam mengatakan dia dan ayahnya tak pernah mengeroyok pelaku yang hendak melarikan mobil sewaan. Ilyas, kata Agam, berupaya persuasif saat menemui tiga anggota TNI AL yang membawa mobil Honda Brio tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan, kata Agam, ayahnya sempat menawari para pelaku menepi dan mengobrol saat mengejar mobil tersebut di jalan tol. Sebaliknya, para anggota TNI AL itu malah mengancam mereka. “Minggir kamu. Kalau tidak, saya tembak,” ujar Agam menirukan ancaman ketiganya.
Sementara Denih, dalam konferensi pers pada 6 Januari 2025, mengatakan ketiga anggotanya menembak Ilyas dan rekannya, Ramli Abu Bakar, karena dikeroyok 15 orang tak dikenal. Dia mengatakan penembakan itu sebagai bentuk pembelaan diri. “Jadi, kembali lagi, apalagi mungkin karena tentara juga sudah dilatih faktor kecepatan, insting, dan segala macam. Karena kami sering dengar ada kill or to be killed (membunuh atau dibunuh),” kata Denih.
Penembakan itu terjadi pada Kamis, 2 Januari 2025. Ketiga pelaku adalah Sersan Satu (Sertu) AA, Sertu RH, dan Kelasi Kepala BA. Kepolisian Resor Kota Tangerang menyatakan ketiga pelaku merupakan pembeli terakhir mobil hasil penggelapan itu. Mobil tersebut sebenarnya disewa oleh Ajat Sudrajat, yang kemudian menyerahkannya kepada IH. Mobil itu sempat pula berpindah tangan ke RH, yang kemudian menjualnya kepada IS. Dari tangan IS inilah tiga anggota TNI AL itu membeli mobil tersebut Rp 40 juta.
Meski demikian, Kepolisian Resor Tangerang hanya menangani para tersangka yang berstatus warga sipil. Penanganan tiga anggota TNI AL yang terlibat diserahkan ke Pusat Polisi Militer Angkatan Laut (Puspomal). Denih menyatakan senjata api yang digunakan ketiga anggotanya dalam peristiwa tersebut merupakan barang inventaris. "Itu senjata inventaris yang melekat karena jabatan AA adalah ADC (aide-de-camp), ajudan," tuturnya.
Rizky Agam Syahputra dan Agam Muhammad Nasrudin, anak Ilyas Abdurrahman, saat memberikan keterangan soal penembakan ayah mereka seusai menghadiri konferensi pers di Markas Koarmada TNI AL, Jakarta Pusat, 6 Januari 2025. TEMPO/Alfitria Nefi Pratiwi
Direktur Imparsial Ardi Manto Putra menilai narasi pengeroyokan dalam penembakan itu menunjukkan TNI AL menutup-nutupi kejadian sebenarnya dan melindungi anggotanya sebagai pelaku penembakan. Apalagi TNI AL menyatakan penembakan itu sebagai bentuk pembelaan diri.
Dia pun ragu Puspomal akan mengusut tuntas keterlibatan tiga anggotanya tersebut. Kasus ini, menurut dia, menambah panjang catatan sistem peradilan militer tidak cakap dalam memproses kejahatan pidana umum yang dilakukan anggota TNI. "Untuk itu, kami selalu menyarankan prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum harus diproses melalui sistem peradilan umum," tuturnya kepada Tempo, Selasa, 7 Januari 2025.
Landasan hukum untuk menyeret anggota TNI yang melakukan tindak pidana ke peradilan umum, menurut Ardi, cukup kuat. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII tentang Peran TNI dan Peran Polri menyatakan anggota TNI yang melakukan tindak pidana bisa diadili dengan peradilan umum.
Yang menjadi hambatan, menurut dia, adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Undang-undang yang dibuat sebelum era reformasi itu masih menetapkan anggota TNI yang terlibat pidana umum diproses melalui peradilan militer. Padahal, kata Ardi, revisi UU Peradilan Militer adalah mandat UU TNI. "Kami menyarankan pemerintah segera membuat perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) ihwal revisi peradilan militer," kata Ardi.
Menurut catatan Imparsial, terdapat delapan kasus penembakan oleh anggota TNI terhadap warga sipil pada tahun lalu. Dari delapan kasus itu, Ardi menyatakan tak diketahui ujung pengusutannya. Karena itu, dia menilai sudah seharusnya anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui sistem peradilan umum. “Pengadilan militer seharusnya hanya untuk mengadili tindak pidana militer,” ucapnya.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, menjelaskan bahwa Pasal 65 ayat 2 UU TNI menyatakan tentara tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam pelanggaran pidana militer, tapi untuk pidana umum dapat diadili di peradilan umum. "Tapi klausul dapat disidangkan di peradilan umum itu mengharuskan pembaruan UU Peradilan Militer," tutur Khairul saat dihubungi secara terpisah.
Karena itu, ia menyebutkan pendekatan alternatifnya adalah mekanisme koneksitas yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Jadi kasus yang melibatkan anggota TNI dan warga sipil bersama-sama bisa disidangkan secara kolaboratif antara peradilan militer dan peradilan umum," ujarnya.
Namun, ia menggarisbawahi penentu akhir dalam mekanisme koneksitas—apakah perkara disidangkan di pengadilan umum atau militer—berada di tangan Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum. Kasus ini, kata Khairul, menjadi momentum untuk mendesak perubahan UU Peradilan Militer yang merupakan amanat Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia.
Tabur bunga di lokasi tempat kejadian perkara (TKP) penembakan bos rental mobil di di Rest Area KM 45, Tol Tangerang-Merak, Banten, 3 Januari 2025. ANTARA/Azmi
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Dimas Bagus Arya juga mempersoalkan alasan pemerintah belum juga merevisi UU Peradilan Militer. Hal itu, menurut dia, membuat terjadinya tarik-ulur antara aparat penegak hukum sipil dan aparat penegak hukum tindak pidana militer.
Meski belum ada revisi UU Peradilan Militer, Dimas mendorong agar kasus penembakan bos rental oleh anggota TNI AL tersebut diadili dengan mekanisme peradilan umum. Sama seperti Khairul, dia menilai hal itu bisa dilakukan dengan melihat delik atau jenis tindakan pidana yang dilakukan ketiganya. “Ini sudah layak diajukan dalam mekanisme peradilan umum," ujar Dimas.
Selain itu, Dimas menilai penegakan hukum harus menelusuri ada atau tidak keterlibatan atasan tiga anggota TNI AL tersebut. Sebab, menurut dia, pertanggungjawaban komando harus menjadi salah satu delik pidana dalam konteks tindakan pidana yang melibatkan aparat pertahanan keamanan.
Mengenai mekanisme koneksitas, ia menuturkan, harus ada pelaku dari warga sipil. Sebab, pengadilan koneksitas mensyaratkan unsur pelaku berasal dari sipil dan militer. "Apabila ditemukan benang merah keterkaitannya, pengadilan koneksitas bisa dilakukan."
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani juga mendesak revisi UU Peradilan Militer. Alasannya, menurut dia, aturan tersebut nyaris tidak tersentuh reformasi. "Peradilan militer berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1997 adalah peradilan yang paling purba. Dari segala bentuk perspektif keadilan, ini peradilan yang paling menunjukkan wajah rezim militer yang otoriter," ujarnya melalui pesan suara, Selasa, 7 Januari 2025.
Ketiadaan perubahan aturan tersebut, menurut dia, membuat militer tidak tunduk secara hukum kepada kekuasaan sipil. "Karena itu, sampai kapan pun, apabila terdapat anggota TNI yang berbuat tindak pidana sipil tapi tidak diadili di peradilan sipil, ya akan jauh dari kata keadilan dan standar kelayakan peradilan," katanya.
Dampak konkretnya, kata Julius, masyarakat tidak bisa memantau TNI yang diadili di peradilan militer. Putusan juga tidak bisa dicek dan sidang tak terbuka. "Jadi, menurut kami, sepanjang dia diadili di peradilan militer, kita dalam posisi masih pada rezim otoriter Orde Baru," tutur Julius.
Pengajar hukum pidana di Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, juga sepakat jika kasus ini diproses melalui peradilan umum ketimbang peradilan militer. Dia mengatakan kuncinya adalah mengetahui jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI lebih dulu. Apakah itu tindak pidana umum atau tindak pidana militer. "Nah, dalam kasus ini, pelanggaran itu kan tindak pidana umum," ujar Chudry saat dihubungi pada Selasa siang, 7 Januari 2025. "Jadi, kalau kasus ini diproses dengan peradilan militer, ya enggak tepatlah." ●
Alfitria Nefi Pratiwi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo