Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>KASUS PT ELNUSA</font><br />Dulu Penggelapan, Kini Korupsi

Para tersangka pembobol deposito PT Elnusa dijerat pasal korupsi. Kelalaian pihak bank diabaikan.

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH empat bulan mereka mendiami penjara yang sama. Tapi sipir melaksanakan kebijakan khusus: enam tersangka pembobol deposito PT Elnusa itu tidak dimasukkan ke sel yang sama.

"Ini memang strategi kami," kata Kepala Pengamanan Rumah Tahanan Kelas I Bandung, Tohari, kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu. "Hubungan mereka berenam saat ini tak terlalu baik." Bila disatukan, mereka akan sibuk saling cela dan tuding.

Mereka adalah eks Direktur Keuangan PT Elnusa Santun Nainggolan; Kepala Bank Mega Cabang Jababeka, Cikarang, Itman Harry Basuki; Direktur PT Discovery Indonesia dan Komisaris PT Harvestindo Asset Management Ivan C.H. Litha beserta dua anak buahnya, Andi Gunawan dan Zulham; serta Richard Latief, yang menjadi broker dalam kasus ini. Praktis hanya Richard dan Itman yang tampak akur. Mereka sering melakukan salat tarawih bersama.

Para tersangka ini sebelumnya meringkuk di ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, sejak pertengahan April lalu. Selama itu pula mereka menjalani pemeriksaan intensif karena diduga menggelapkan deposito Elnusa Rp 111 miliar. Modus yang mereka gunakan adalah memalsukan blangko deposito PT Elnusa di Bank Mega pimpinan Itman selama periode September 2009-Juli 2010. Uang yang telah dicairkan kemudian dimasukkan ke rekening PT Elnusa palsu, lalu "dilemparkan" lagi ke perusahaan investasi milik Ivan dan Andi.

Kerja sama ini dibongkar Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada April lalu. Dari penyidikan, tiap tersangka punya peran masing-masing. Itman, yang memiliki kewenangan sebagai kepala cabang, memuluskan transaksi jadi-jadian itu. Ivan bersama Andi memutar uang itu di berbagai investasi agar mendapatkan bunga besar. Zulham bertugas memalsukan tanda tangan yang ada di blangko. Sedangkan Santun diduga mengetahui penggelapan ini.

Uang itu pun secara bertahap menjadi bancakan. Sekitar 20 persen uang jarahan diberikan kepada Richard, Santun, dan Itman sebagai honor. Sisa duit mengalir ke rekening perusahaan Ivan dan Andi. Sebenarnya komplotan ini telah menggelapkan uang Elnusa sebanyak Rp 161 miliar. Ivan terpaksa mentransfer balik Rp 50 miliar ke rekening Elnusa karena deposito itu dicairkan direksi perusahaan yang beroperasi di hulu perminyakan ini. "Supaya aksi mereka tak ketahuan," kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Baharudin Djafar, Kamis dua pekan lalu.

Pada 16 Agustus lalu, Kejaksaan Agung menyatakan berkas pemeriksaan para tersangka telah lengkap. Polisi menyerahkan barang bukti berupa duit Rp 2 miliar dan US$ 34.400, lima sepeda balap dengan total harga Rp 150 juta, lima mobil mewah, seperti Hummer, Honda CRV, Honda Jazz, dan Honda Odyssey, rumah toko di Makassar senilai Rp 1,4 miliar, serta sebidang tanah di Jakarta Timur, plus setumpuk dokumen perbankan. Para tersangka juga diserahkan. Sidang perkara itu direncanakan digelar pertengahan bulan ini.

Awalnya kasus ini menonjol sebagai perkara perbankan. Itman dianggap tak hati-hati saat melayani nasabah. Selain itu, ada pasal penipuan, pencucian uang, serta pemalsuan dokumen. Bank Mega sempat dituding memiliki standar keamanan yang lemah dalam bertransaksi dengan nasabah. Karena itu, Elnusa ngotot minta ganti rugi kepada Bank Mega. Elnusa menganggap Bank milik taipan Chairul Tanjung itu lalai. Elnusa bahkan membawa-bawa masalah ini ke Dewan Perwakilan Rakyat. Bank Mega hingga kini tetap ogah mengganti duit Elnusa. Mereka menganggap kasus ini harus diselesaikan secara hukum. "Negosiasi mentok," ujar Vice President Legal PT Elnusa Imansyah Syamsoeddin kepada Tempo.

Berkas juga sempat bolak-balik antara polisi dan kejaksaan. Di detik-detik terakhir penyelesaian berkas pemeriksaan, "Jaksa meminta kasus ini menjadi pidana korupsi," kata Baharudin. Permintaan itu kemudian dipenuhi penyidik. Maka tuduhan utama kepada para tersangka berubah menjadi kasus korupsi dengan menggunakan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi. Kasus yang sebelumnya ditangani jaksa pidana umum itu beralih ke pidana khusus. "Pasal pencucian uang tetap diterapkan kepada mereka," kata Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Fadil Zumhana kepada Tempo.

Pengacara Itman, Dwi Heri Sulistiawan, mengaku di satu sisi kliennya diuntungkan dengan penetapan kasus ini menjadi korupsi. Itman hanya akan dianggap turut serta dalam kejahatan ini. Tapi ia menyesalkan satu hal. Dengan pasal korupsi, Bank Mega tempat Itman bekerja tak akan turut bertanggung jawab. Jaksa mengesampingkan kelalaian yang menurut dia turut dilakukan oleh Bank Mega. "Kesalahan transaksi itu akan dibebankan sepenuhnya kepada Itman," ujarnya.

Bernard Nainggolan, pengacara Santun, turut merasa keberatan dengan perubahan sangkaan ini. Selain perubahan itu sangat mendadak, kasus ini sama sekali tak berbau korupsi. Sebab, sejak awal, Elnusa dianggap perusahaan swasta karena statusnya "Tbk". "Kenapa disebut korupsi bila tak ada kerugian negara?" katanya. Apalagi kini, ujarnya, kliennya merasa paling terpojok karena jabatannya di Elnusa yang dianggap jaksa sebagai perusahaan milik negara.

Fadil hakulyakin para tersangka memang harus dijerat dengan pasal korupsi. Jaksa menganggap duit Elnusa juga duit Pertamina, yang seratus persen sahamnya dikuasai pemerintah. "Uang milik Elnusa masuk kategori modal penyertaan pemerintah," ujarnya. Alasan kedua, mereka menggunakan pasal korupsi agar duit Elnusa yang ditilap para tersangka bisa dikembalikan. "Kalau hanya pasal pencucian uang, tak akan ada ganti rugi."

Fadil juga menolak anggapan yang menyebut kasus ini hanya dibebankan kepada Santun. Lewat pasal korupsi, katanya, semua tersangka memiliki ancaman yang sama karena perannya berkaitan. Bank Mega juga tak bisa lepas tangan. Mereka juga akan memberi keterangan di pengadilan nanti. "Bukan berarti Bank Mega akan diuntungkan bila kasus ini berubah menjadi kasus korupsi," ujarnya.

Elnusa tak peduli. Apa pun proses pengadilannya, uang mereka tetap harus kembali. Namun Imansyah memberikan catatan, perusahaannya hingga kini tak menganggap Santun bersalah, apalagi sampai terjerat kasus korupsi. Buktinya, hingga kini, dokumen asli kepemilikan deposito itu masih mereka pegang. Bagi mereka, uang perusahaan telah hilang akibat kejahatan pemalsuan, bukan lewat penggelembungan atau kecurangan administrasi di Elnusa. "Ini murni kejahatan yang dilakukan pihak luar," katanya.

Mustafa Silalahi (Jakarta), Erick P. Hardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus