Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pria itu menghampiri meja Farid Husain. Mata mereka mengawasi seisi restoran. Duduk semeja dengan utusan khusus Presiden untuk masalah Papua itu, mereka terlihat resah dan waswas. Hidangan makan malam nasi dan lauk mereka tolak. "Mereka minta papeda (bubur sagu)," kata Farid kepada Tempo dua pekan lalu.
Bertemu di sebuah rumah makan di pusat Kota Jayapura, tamu-tamu itu bukan orang sembarangan. Satu orang bernama Marunggen Wonda, pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua, yang bergerilya di Pegunungan Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Ia terdaftar sebagai buron kepolisian dengan tuduhan makar. Ia diteÂmani Saul J. Bomay, mengaku sebagai juru bicara Organisasi Papua Merdeka. "Bomay menjadi penerjemah kami dengan Wonda," ujar Ridha Saleh, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang mendampingi Farid.
Pertemuan itu juga dihadiri Ketua Perwakilan Komnas HAM di Papua dan wakilnya, Julius Ongge dan Matius Murib, serta Salim Shihab, anggota staf Farid. Pertemuan pada 19 Mei lalu itu berlangsung dua jam. Farid, yang juga ketua tim penyelesaian konflik Papua, mengajak Wonda bertemu untuk membicarakan kemungkinan damai.
Dalam perbincangan itu Bomay awalnya keras menolak. Ia mengatakan perundingan harus juga dihadiri mereka yang terlibat pada penyerahan Papua ke Indonesia, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Kami tidak mau berdialog kalau masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujarnya seperti tertulis dalam dokumentasi pertemuan. Menurut Bomay, tidak ada pilihan selain referendum dan merdeka.
Tak mau kalah gertak, Farid membalas. "Kalau masih mau merdeka, negara tidak akan segan-segan mengirim pasukan yang lebih besar," ujar lelaki yang dulu menjadi anggota tim perintisan perjanjian damai antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka itu. "Pada akhirnya rakyat Papua yang rugi karena jatuh korban lebih banyak." Bomay terdiam. Selanjutnya ia lebih banyak menceritakan perjalanannya.
Wonda mengatakan tak mengerti alasan mengapa ia masuk daftar orang yang dicari aparat keamanan. Ia menyebutkan sebenarnya tidak ingin memiliki senjata. "Tapi militer Indonesia datang ke tempat kami dan memberikan senjata," ujarnya. Ia menyatakan ingin mengembalikan senjata itu. Syaratnya, "Jangan lagi orang-orang itu ada di daerah kami," kata Wonda. Ia juga meminta bakti sosial TNI dihentikan. Pasalnya, menurut dia, kegiatan itu dijadikan intelijen untuk memecah belah warga Papua. Dalam pertemuan itu Wonda menolak direkam dan difoto.
Pertemuan itu memuaskan Farid dan kawan-kawan. Ia meminta Wonda menyampaikan keinginan damai dari pemerintah kepada gerilyawan lainnya. "Saya perlu tahu sikap mereka terhadap perdamaian di Papua," ujar Farid. Selain menemui gerilyawan, Farid mendatangi para tokoh adat, pemimpin gereja, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh berpengaruh lainnya.
Pertemuan-pertemuan itu dipakai Farid untuk memetakan kekuatan yang menghendaki kemerdekaan Papua. Selain di Jayapura, ia kerap mengadakan diskusi dan dialog dengan tokoh Papua di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Ia menyimpulkan, yang paling penting diajak duduk bersama adalah kelompok bersenjata. "Kalau Tentara Pembebasan Nasional sudah ditangani, kondisi aman dan dialog bisa berlangsung," ujar Farid.
Tak mudah membujuk para gerilyawan bertemu. Kelompok bersenjata memenuhi undangan dialog pada 19 Mei itu karena mereka percaya kepada Komnas HAM. "Kerja Komnas HAM mendapat apresiasi," kata Ridha. Adapun Farid Husain dianggap berhasil mendamaikan Aceh.
Kelompok di Papua menilai, penyelidikan Komnas HAM berhasil menyeret beberapa pelaku penyiksaan dan pembunuhan oleh aparat TNI. Salah satunya kasus penyiksaan dan pembunuhan Pendeta Kinderman Gire pada 17 Maret tahun lalu. Pada 11 Agustus 2011, Pengadilan Militer Jayapura menghukum pelaku—Prajurit Satu Hasirun, Prajurit Satu Heri P., dan Sersan Satu S.T. Sihombing—antara 6 dan 15 bulan penjara.
Angin baik ini tak disia-siakan oleh Farid. Ia menargetkan bertemu dengan Ketua Dewan Militer Papua Brigadir Jenderal Richard H. Joweni alias Hans Uri Yoweni. Pada awal Juni, Farid dan Ridha mengutus Arkilaus Baho, Ketua Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua Barat, untuk menemui sang jenderal. "Saya memang sudah mengenal Joweni," kata Arkilaus kepada Tempo. Pada 2004-2007, ia kerap keluar-masuk hutan menjadi kurir penghubung di antara pemimpin kelompok bersenjata.
Arkilaus berhasil menemui Joweni di tempat persembunyiannya di kawasan pantai utara Papua. Sepulang dari sana, ia menyerahkan surat dari Joweni kepada Farid. Surat tertanggal 23 Juli itu ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ditembuskan ke 13 orang dan lembaga lain, di antaranya Farid, Komnas HAM, Palang Merah Internasional, dan sejumlah tokoh Papua.
Dalam surat yang ditulis dengan ejaan lama itu, Joweni memanggil YudhoÂyono dengan sebutan "Paduka yang Mulia". Ia menyatakan bersedia melakukan proses selanjutnya sesuai dengan prosedur yang tersedia. Panglima TPN Papua Barat itu berharap proses tersebut bisa berlangsung dalam suasana "saling menghormati antara kedua belah pihak".
Sayangnya, Istana belum merespons surat keinginan damai dari kelompok bersenjata Papua itu. Juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Istana belum menerima surat. Tapi, menurut Julian, Presiden Yudhoyono ingin penyelesaian Papua menggunakan pendekatan kesejahteraan. "Tidak seperti masa lalu yang menggunakan pendekatan militer," ujarnya.
Menurut Ridha, kekuatan separatis di Papua bersedia meletakkan senjata dan berdialog dengan pemerintah dengan tiga syarat: penarikan seluruh pasukan non-organik, pengampunan untuk semua tahanan politik Papua merdeka, dan penghapusan bakti sosial TNI. "Mereka tidak ada masalah dengan pasukan organik di sana."
Maxi Qhebe Tabuni, juru bicara TPN, mengatakan memang ada gagasan untuk berdamai dan menghentikan konflik bersenjata di Papua. Menurut dia, surat Joweni merupakan inisiatif pribadi sebagai panglima tertinggi. "Kalau sekadar berdamai dan tidak ada lagi kekerasan di Papua, kami setuju. Itu bagus," ujarnya. Rencana damai itu, kata Maxi, akan dibahas dan dimatangkan dalam Konferensi Nasional TPN di Vanuatu, 10 September nanti.
TNI belum memberi lampu hijau. Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menolak menarik pasukan non-organik dari Papua. "Kami tidak melakukan negosiasi seperti itu," kata Agus di sela-sela buka puasa bersama di Cilangkap. Menurut dia, total pasukan non-organik di Papua sekitar 1.500 personel, yang sebagian berasal dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Agus juga tegas menolak tuntutan penghapusan bakti sosial TNI, yang menurut dia justru atas permintaan warga Papua.
Damai di Papua memang masih jauh dari kenyataan. Kekerasan aparat belum berhenti. Tepat pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus lalu, Dasnum Gomba, 30 tahun, disiksa sebelum ditembak mati anggota Yonif 330 Kodam XVII Cenderawasih yang menggelar latihan di Arso 14, Distrik Skamto, Kabupaten Keerom.
Selama sebulan terakhir saja, lebih dari 10 kasus penembakan terjadi di berbagai penjuru Papua. Diawali pada 1 Agustus dengan penembakan di Kampung Nafri, Jayapura. Ada pula penembakan helikopter di Tingginambut, Puncak Jaya. Sedikitnya 23 tewas, termasuk satu anggota TNI dan satu anggota Brigadir Mobil.
Salah seorang pemimpin TPN, Lambert Pekikir, mengakui ada kejadian yang murni serangan gerilyawan. Tapi sebagian lain insiden itu sengaja diciptakan untuk membuat kondisi Papua tak aman. Gerilyawan Papua menuduh ada satuan-satuan yang sengaja dibentuk TNI atau polisi untuk menciptakan kegaduhan. "Yang menembaki warga sipil adalah ‘OPM peliharaan’," ujar Lambert. Terhadap tudingan ini, Panglima Agus Suhartono tak memberi jawaban tegas. Katanya, TNI telah menahan diri untuk tidak melakukan kesalahan, terutama pelanggaran hak asasi. "Kami mendorong penyelesaian hukum terhadap kasus-kasus penembakÂan itu," katanya.
Tito Sianipar, Anton Septian, Fanny Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo