Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTAMA kali dalam hidup Djoko Pramono harus tidur beralaskan tripleks. Sejak dijebloskan Komisi Pemberantasan Korupsi ke tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kamis dua pekan lalu, Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PT Perusahaan Gas Negara ini hidup prihatin. Menempati sel enam kali enam meter persegi di Blok B, pria 48 tahun itu lebih mawas diri. ”Dia lebih banyak menghabiskan waktu di musala,” ujar sumber Tempo, di tahanan Polda Metro Jaya.
Djoko terseret pengakuan Trijono, terdakwa kasus korupsi penerimaan gratifikasi dari sejumlah pengusaha proyek Pembangunan Jaringan Distribusi Gas di Wilayah Jawa Bagian Timur. Mantan General Manager Strategic Business Unit II ini telah divonis empat tahun penjara di tingkat pertama. Kini perkaranya dalam proses kasasi.
Kasus Trijono juga menyeret Direktur Utama PT Gas Washington Mampe Parulian Simanjuntak dan Zamzani selaku pemimpin proyek—tapi Zamzani meninggal dalam status tahanan Komisi. ”Ketiganya dijerat pasal gratifikasi, menerima uang dari rekanan proyek,” kata juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P. Washington tengah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Djoko tak ingin tergelincir sendiri. Di hadapan penyidik Komisi dan dalam kesaksiannya di pengadilan korupsi, dia membeberkan sejumlah nama mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang turut kecipratan duit haram itu. Sejumlah anggota Dewan pun telah diperiksa Komisi, meski baru sebatas saksi.
Kisah kusut korupsi di tubuh perusahaan pemasok gas ini berawal pada 2003. Saat itu perusahaan pelat merah tersebut mengajukan anggaran ke DPR untuk perluasan jaringan pemipaan distribusi gas di sepuluh wilayah, termasuk Jawa Bagian Timur. Total anggaran Rp 127 miliar.
Terkait proyek itu, menurut pengacara Trijono, Albani Andrian, Washington selaku direktur utama memerintahkan kliennya dan para pemimpin proyek menyisihkan dana proyek. Dana itu dihimpun dari pungutan fee rekanan penerima proyek sebesar sembilan persen dari nilai proyek.
Sejumlah perusahaan rekanan di persidangan Trijono telah terang mengakui pemberian itu. Di antaranya CV Duta Buana senilai Rp 80 juta, PT Bakrie Pipes Indonesia senilai Rp 465 juta, PT Centram sebesar Rp 100 juta, dan PT Kastilmas Persada senilai Rp 85 juta. Uang yang terkumpul Rp 3 miliar lebih.
Fee itu dikumpulkan dalam satu rekening atas nama Caroline Aulia. Rekening tersebut milik Trijono, yang dulu digunakan untuk menampung pendapatan penyewaan kendaraan Carnival miliknya di koperasi perusahaan. Caroline adalah nama pemilik kendaraan sebelum dibeli Trijono.
Duit kolekan itu digunakan untuk membeli Mandiri Travel Check. Cek ini lalu diserahkan Trijono kepada Djoko Pramono secara bertahap sebanyak empat kali. Nilai totalnya Rp 1,5 miliar. Bagian lainnya digunakan Trijono buat menyogok komisaris PT Gas, Soemarno Surono, demi mengincar jabatan direksi. Namun Soemarno dalam persidangan Juni lalu menyebut uang itu diberikan atas jasanya sebagai konsultan uji kelayakan dan kepatutan Trijono yang berhasrat menjadi anggota direksi. Menurut Albani, uang untuk anggota komisaris senilai Rp 2,8 miliar itu sebagian diambil dari duit pribadinya.
Direksi diduga tak hanya menerima setoran dari Strategic Business Unit II Jawa Bagian Timur senilai Rp 1,5 miliar. Juga ada setoran lain karena proyek pemipaan itu berlangsung di sejumlah wilayah. Hanya, menurut Johan, Komisi belum mendalami sampai ke sana.
Djoko mengaku menyerahkan cek perjalanan ke sejumlah anggota DPR. Pemberian itu untuk memuluskan rencana PT Gas meluncurkan initial public offering atau penerbitan saham perdana ke publik. Pada berita acara pemeriksaan, Djoko mengaku memberikan uang kepada anggota Dewan setelah ada perintah dari Washington.
Masih menurut Djoko, biasanya bosnya akan memanggilnya ke ruangan, lalu memberikan nama dan nomor telepon seorang anggota Dewan. Dia akan menghubungi si anggota DPR untuk membuat janji tentang lokasi penyerahan uang. Penyerahan bisa berupa uang tunai atau cek perjalanan. ”Biasanya mereka yang memilih,” ujarnya kepada penyidik.
Menurut pengakuan Djoko, uang diserahkan pada 2003-2004. Lokasi penyerahan antara lain di ruang kerja anggota DPR, Hotel Sahid, dan Hotel Mulia. Dalam berita acara, ia menyebut sejumlah nama: Hamka Yandhu, Agusman Effendi, Achmad Farial Husein, dan Azwir Dainytara.
Kepada Hamka, Djoko menyebutkan telah menyerahkan Rp 600 juta. Uang itu sebagian diserahkan kepada pemimpin Dewan (saat itu), Akbar Tandjung. Namun Akbar berulang kali membantah. Dari catatan yang dimiliki Trijono, nama Hamka tercatat telah mencairkan empat lembar cek perjalanan pada 19 November 2003, dengan nomor seri FA117126 hingga FA117129.
Selain Hamka, tercatat sejumlah nama seperti Farida Abidin, istri Antony Zeidra Abidin, terpidana aliran dana Bank Indonesia. Soal kasus ini, pengacara Antony, Rochamah Rahayu, mengaku kliennya belum pernah diperiksa.
Lebih fantastis lagi tuduhan terhadap Agusman Effendi. Anggota Komisi Energi DPR periode 1999-2004 itu dituduh menerima Rp 1 miliar. Uang diserahkan setelah anggota Dewan itu menghubungi Washington. Penyerahan dilakukan di restoran Bebek Bali Senayan melalui dua utusan staf keuangan PT Perusahaan Gas, Nur Ilhami dan Darmojo. Dua orang itu awalnya menunggu di halaman restoran. Setelah ditelepon, mereka masuk dan menyerahkan upeti. Mereka juga mengaku membayar makanan di restoran itu menggunakan kartu kredit Standard Chartered.
Ramai-ramai anggota Dewan itu membantah semua tuduhan. Kepada Tempo, Agusman menampik pernah menerima uang tersebut. Politikus Partai Golkar ini juga menyangkal pernah menghubungi Washington untuk minta uang. Empat bulan lalu, Agusman juga dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dan dicek silang dengan dua anggota staf pembawa uang. Ia mengaku tak mengenal Nur Ilhami dan Darmojo. ”Mereka juga tak bisa memastikan pernah ketemu saya,” ujar mantan Ketua Umum Real Estate Indonesia ini.
Bantahan serupa dilontarkan Achmad Farial Husein. ”Saya tidak pernah menerima uang atau cek perjalanan dari Djoko atau anggota Dewan lain,” ujarnya. Menurut dia, kewenangan menentukan initial public offering (IPO) dan persetujuan anggaran ada di panitia anggaran dan ketua komisi. ”Saya hanya anggota biasa,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan ini. Azwir Dainytara idem ditto. ”Komisi saya tidak terlibat dalam pembahasan masalah IPO dan anggaran pipanisasi,” ujar Azwir, yang mengaku dari Komisi V.
Selain ke sejumlah anggota Dewan, duit setoran Trijono juga diakui Djoko mampir ke sakunya, senilai Rp 700 juta—duit itu telah dikembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Duit juga mengalir ke Washington. Kepada penyidik, Djoko menyebutkan uang itu diterima bosnya dalam bentuk tunai dan cek perjalanan. Setelah itu, dia diminta mencairkannya. Namun pengacara Washington, Rufinus Hotmaulana, menyanggah. ”Itu perlu dibuktikan,” katanya.
Rufinus juga membantah kliennya pernah memerintahkan para pemimpin proyek mengumpulkan uang untuk Dewan. Kalau memerintahkan, mereka harusnya pernah ketemu. Di persidangan, tak satu pun pemimpin proyek mengaku pernah bertemu dengan Washington. ”Jadi saya menganggap ini salah tangkap,” ujarnya.
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo