Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLAHAN, aliran cek pelawat untuk memuluskan langkah Miranda Goeltom sebagai Wakil Gubernur Bank Indonesia semakin terkuak. Terakhir, untuk mengatasi simpang-siur keterangan, Komisi Pemberantasan Korupsi merasa perlu mempertemukan Hamka Yandhu dengan Ahmad Hakim Safari Malangjuda alias Arie Malangjuda, awal Februari, di gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Dalam berita acara, Arie Malangjuda mengaku pernah bertemu dengan Hamka di ruangan kantor bosnya, Nunun Nurbaetie, di Jalan Riau, Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, 7 Juni 2004, sehari sebelum pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia, ia dipanggil ke ruangan bosnya. Di sana telah ada laki-laki yang belakangan dikenalnya bernama Hamka Yandhu. Nunun tak memperkenalkan nama tamunya, tapi ia menyebutnya sebagai anggota DPR.
Hamka menyangkal adanya pertemuan itu. Dikonfrontasi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, awal Februari lalu, ia mengaku tak begitu mengenal Arie, ”Setahu saya Arie orangnya kurus dan tidak berkacamata,” katanya. Sebaliknya, Arie merasa yakin, ”Saya mengenal orang di depan saya, seratus persen Hamka Yandhu.” Namun, ditemui di sela sidang perdananya yang terkait dengan kasus cek pelawat senilai Rp 24 miliar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Hamka tak menampik sempat ketemu Arie. Dan pertemuan itu berlangsung sehari setelah pelaksanaan pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia, dan tidak bersama Nunun. Lagi pula, ia diantar seorang teman yang kini telah meninggal.
Menurut Arie, dalam pertemuan di ruang bosnya itu, Nunun memintanya menyampaikan tanda terima kasih kepada anggota Dewan. Arie protes, tapi Nunun kemudian menukas, ”Lha, masak office boy, ini kan untuk anggota Dewan.” Nunun lalu bilang, akan ada orang yang menghubunginya. Saat itulah ia mendengar Hamka mengatakan, ”Kita sudah atur, nanti ada kode merah, kuning, hijau, putih pada kantong.” Tangannya menunjuk empat kantong karton, di samping kanan meja Nunun.
Belakangan kantong yang dibubuhi tanda bulatan berwarna dengan spidol itu dibawa office boy ke ruangan Arie. Sehari kemudian seseorang menelepon, mengatakan ingin mengambil titipan. Melalui Nunun, Arie diberi tahu untuk menyerahkan kantong bertanda merah dan hijau ke Restoran Bebek Bali dan Hotel Atlet Century, Senayan. Sedangkan kantong bertanda kuning dan putih tetap di kantornya.
Hamka Yandhu tak pernah canggung tersenyum di depan kamera. Kamis pekan lalu, untuk kesekian kalinya mantan anggota Dewan dari Partai Golkar ini kembali tampil di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, meski hukuman tiga tahun penjara atas aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia belum kelar dijalani. Kali ini pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, 53 tahun lalu ini menjadi terdakwa kasus cek pelawat untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Ia diancam Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hamka bersama 41 anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 diduga menikmati kucuran duit untuk mengegolkan Miranda. Empat anggota Komisi IX telah ditetapkan sebagai tersangka: Hamka Yandhu dari Partai Golkar, Dudhie Makmun Murod dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri, dan Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara dari Partai Persatuan Pembangunan. Sejak dua pekan lalu, persidangan mereka digelar.
Selain Hamka, ada 11 anggota Fraksi Golkar di Komisi IX didakwa telah menerima pemberian traveller’s cheque Bank Internasional Indonesia senilai total Rp 7,3 miliar. Uang diberikan Nunun Nurbaetie, istri bekas Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun, melalui Arie Malangjudo, rekan bisnisnya. ”Terdakwa lalu membagikan kepada anggota Komisi IX dari Partai Golkar,” ujar jaksa Triyono.
Pengacara Nunun, Partahi Sihombing, kepada Tempo sebelumnya membantah keterlibatan kliennya. Harus dibuktikan, kata dia, tidak ada saksi yang melihat Nunun memerintah dan menyerahkan cek pelawat kepada Arie. ”Cek bisa diterimanya dari siapa saja,” katanya.
Jaksa mencatat Hamka menerima bagian terbesar, 45 lembar cek pelawat senilai Rp 2,2 miliar. Sedangkan yang lain menerima Rp 150 juta hingga Rp 600 juta. Pemberian duit dimaksudkan agar Miranda Swaray Goeltom menang sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dari tiga nama calon, yakni Miranda, Hartadi A. Sarwono, dan Budi Rochadi. Dalam pemilihan dengan mekanisme voting Miranda unggul. Wanita 60 tahun itu mengantongi 41 suara. Pesaingnya, Budi Rochadi, mendapat 12 suara, dan Hartadi 1 suara.
Kepada wartawan Hamka mengaku memilih Miranda karena diarahkan bosnya di Komisi. Hamka menyebut bekas Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Paskah Suzetta mengarahkan Fraksi Golkar memilih Miranda.
Senada dengan Hamka, jaksa Riyono juga menyebut Paskah memimpin rapat rutin Kelompok Fraksi (Poksi) di ruang Poksi lantai 14 Gedung Dewan. Dalam rapat itu Paskah menyampaikan hasil konsultasi Dewan Pimpinan Fraksi yang menginginkan Poksi mendukung Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior. Dalam pertemuan itu, menurut jaksa, juga ada pembicaraan informal tentang adanya dukungan dana yang akan dikucurkan melalui fraksi.
Paskah membantah mengarahkan pemilihan dewan gubernur. ”Saya bukan pimpinan fraksi, jadi tak punya kewenangan itu,” katanya kepada Tempo. Ia juga membantah ada pertemuan rutin, karena pertemuan rutin hanya digelar pada Jumat. Tanpa arahan di atas, sikap akan ditentukan masing-masing individu.
Selain soal mengarahkan pilihan, Hamka mengaku perkenalannya dengan Nunun difasilitasi Paskah Suzetta. Menurut pengakuan Hamka kepada penyidik, sebulan sebelum proses fit and proper test calon Dewan Gubernur BI, ia diajak Paskah menghadiri undangan Nunun di Hotel Mulia, Jakarta, dalam acara Paguyuban Pasundan. Di sana ia bertemu Nunun dan berkenalan. Dua atau tiga hari kemudian dia bersama anggota Dewan lainnya, Paskah Suzetta dan Nurlif, diundang acara khitanan anak pengusaha itu di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan. Di sinilah Hamka mulai dekat dengan Nunun.
Hamka tak menjelaskan di mana perannya dalam Poksi dan pemilihan dewan gubernur. Namun, menurut Arie, dialah yang menghubunginya untuk mengambil jatah untuk Fraksi Golkar. Tapi, menurut Hamka, inisiatif mengambil uang adalah ide rekannya, Azhar Muchlis. Selesai pemilihan dewan gubernur, Azhar mengajaknya ke suatu tempat. Hamka sempat bertanya, tapi Azhar hanya menjawab, ”Wis, ikut aku aja.”
Ternyata Azhar membawanya ke kantor Arie di Jalan Riau, Menteng. Tak seperti anggota fraksi lain yang mengambil bagiannya di restoran atau hotel, kelompok Golkar menjemput langsung ke kantor PT Wahana Esa Sejati. Amplop cokelat lalu dibawa ke sekretariat Komisi IX di lantai dasar gedung Nusantarsa I. Di sana telah menunggu sejumlah anggota Fraksi Golkar lainnya.
Amplop cokelat itu dibuka dan diletakkan di atas meja. Masing-masing mengambil amplop sesuai dengan namanya. Nurlif menerima Rp 550 juta, Baharuddin Aritonang Rp 350 juta, Antony Zeidra Abidin kebagian Rp 600 juta, Achmad Hafiz Nawawi Rp 600 juta, Bobby Suhardiman Rp 500 juta, Reza Kamarullah memperoleh Rp 500 juta, Hengky Baramuli Rp 500 juta, Asep Ruchimat Sudjana Rp 150 juta, Azhar Muchlis Rp 500 juta, dan Marthin Bria Seran mendapat Rp 250 juta.
Sisanya dibawa Hamka. Selanjutnya Hamka dan Azhar menuju Hotel Mulia, untuk melapor kepada Paskah. ”Ia hanya manggut-manggut,” ujar Hamka kepada penyidik. Setelah makan malam, Hamka mengantar Paskah pulang. Sampai di rumahnya, Hamka menyodorkan amplop bertulisan nama Paskah Suzetta. ”Ini jatahnya, Kang,” ujar Hamka. Paskah tidak menghitungnya lagi, tapi langsung memasukkan ke sakunya. Dakwaan jaksa menyebut Paskah menerima Rp 600 juta.
Saat dimintai konfirmasi Paskah membantah pernah menerima cek dari Hamka. ”Tidak ada itu,” ujar Paskah, yang sudah dua kali diperiksa KPK. Ia memang mengenal Nunun, karena masih satu paguyuban. Hanya, menurut dia, selama ini tak pernah ada komunikasi dengan Miranda ataupun Nunun tentang dukungan kepada calon dewan gubernur.
Bantahan juga dilontarkan Hengky Baramuli. Meski memilih Miranda, ia mengaku tak pernah menerima uangnya. ”Saya pilih dia karena dia terbaik,” ujar Hengky kepada Febriana Firdaus dari Tempo. Bantahan juga dilontarkan mantan anggota Badan Pemeriksaan Keuangan, Baharuddin Aritonang.
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo