Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color="navy">MARKUP TIKET DIPLOMAT</font><br />Amunisi Masih Dikumpulkan

Kasus dugaan markup tiket diplomat akan menjerat para tersangka baru. Kejaksaan masih terus mencari bukti keterlibatan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Imron Cotan.

22 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENUNGGANG Kijang Innova cokelat, dua penyidik kejaksaan tiba di depan rumah nomor 8 di Jalan Cikini Timur Dalam, Bintaro, Tangerang. Di belakangnya, ikut dua dokter dan seorang paramedis yang datang dengan Avanza perak. Sedikit bergegas, tim dari Kejaksaan Agung ini memasuki rumah jembar berpagar tinggi itu.

Hari itu, Kamis pekan lalu, dua penyidik tersebut akan memeriksa Ade Sudirman di kediamannya. Sebelumnya, tiga panggilan dari kejaksaan tak membuahkan hasil. Mantan Kepala Subbagian Administrasi dan Pembiayaan Perjalanan Dinas Biro Keuangan Kementerian Luar Negeri itu justru meminta pemeriksaan dilakukan di rumahnya. Sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus markup tiket diplomat, Rabu tiga pekan lalu, Ade mengaku sakit. Alasan ini pula yang membuat kejaksaan, untuk sementara, tak menahannya.

Sekitar satu jam dua dokter tersebut memeriksa Ade. Hasilnya, disimpulkan kondisi kesehatan pria 56 tahun itu memang lemah. Selain kadar gulanya melonjak nyaris tiga kali lipat kadar normal, sebagian tulangnya mengalami pengeroposan. Kaki kirinya sulit bergerak. ”Kami hanya ingin memastikan bahwa dia sakit,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah.

Kendati demikian, dokter menganggap Ade masih mampu memberikan keterangan. Didampingi dua pengacaranya, ia diperiksa. Berbaring di tempat tidur, Ade memberikan kesaksian untuk empat tersangka lain. ”Ia dicecar 25 pertanyaan. Sebagian besar soal peran empat tersangka lainnya,” kata Achmad Kholidin, pengacara Ade Sudirman.

Dalam kasus yang diduga membuat tekor negara Rp 21 miliar ini, kejaksaan sudah menetapkan lima tersangka. Tiga di antaranya pejabat di Biro Keuangan Kementerian Luar Negeri yang sudah dicopot pada Februari lalu. Mereka adalah Ade Sudirman, Kepala Biro Keuangan Ade Wismar Wijaya, dan Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Syarif Syam Arman.

Adapun dua tersangka lain juga pernah menjabat di biro ”basah” itu, yakni I Gusti Putu Adnyana (Kepala Bagian Pelaksana Anggaran periode 2003-2007) dan Syarwanie Soeni (bekas Kepala Subbagian Perencanaan Pengeluaran Rutin). Saat ini, Syarwanie menjabat Direktur Utama PT Indowanua Inti Sentosa, salah satu agen perjalanan yang menjadi rekanan Kementerian Luar Negeri.

Sebelum kejaksaan turun tangan, Inspektorat Jenderal Kementerian Luar Negeri sudah melakukan pemeriksaan internal. Awal Februari lalu, Inspektorat menemukan bukti markup itu. Dari 1.185 laporan keuangan refund tiket sepanjang 2008-2009, lebih dari separuhnya ternyata nilainya dilambungkan. Tujuh agen rekanan terseret kasus ini, yaitu PAN Travel, Kintamani Tours, Indowanua, Bimatama Tours, Shilla Tours, Laser Pratyaksa, dan Anugrah Dayu Wisata. Sampai sekarang, duit yang dikembalikan ke negara baru Rp 11,4 miliar.

Pihak agen sendiri tak mau dituding terlibat kongkalikong perkara ini. Managing Director PAN Travel David Harsanto, misalnya, menunjuk yang ”bermain” dengan penggelembungan tiket itu karyawannya. Menurut pengacara PAN Travel, Nanda Hasibuan, karyawan itu pun kini sudah dipecat.

Kendati demikian, kejaksaan tetap membidik para agen itu. Sejauh ini, para penyidik memang baru menilai Indowanua yang benar-benar terlibat kasus ini. ”Kalau ini, terang-benderang,” ujar Arminsyah. Tapi, kata dia, setelah memeriksa 20 saksi, pihaknya kini memiliki bukti bahwa agen lain pun tak bisa lepas dari kasus ini. ”Dalam waktu dekat akan ada agen lain yang kami jerat,” ujarnya.

Upaya ”cuci tangan” dari perkara ini, diam-diam, menurut sumber Tempo, tengah dilakukan pejabat yang diduga ikut menikmati duit markup itu. Caranya dengan berupaya melokalisasi kasus ini hanya sampai lingkungan biro keuangan, khususnya Ade Sudirman. Apalagi Ade disebut-sebut sebagai pihak yang secara langsung meminta blangko kosong untuk melambungkan dana refund itu.

Kepada pemeriksanya, Ade berkukuh ia tak sendirian bermain dalam urusan tiket ini. Ade sendiri sudah membuat surat pernyataan di atas meterai yang mengejutkan. Isinya, ia mengaku pada Agustus 2009 menyerahkan duit Rp 1 miliar untuk Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Selain untuk Hassan, ia mengaku pernah menyerahkan Rp 2,35 miliar kepada Sekretaris Jenderal Imron Cotan pada Januari dan Desember 2008. Dan semuanya melalui Ade Wismar. Lalu Ade Sudirman membuat pernyataan: Ade Wismar sudah memusnahkan barang bukti pengeluaran tiket senilai Rp 3,8 miliar.

Melalui kuasa hukumnya, Seno Edhie, Ade Wismar membantah tuduhan mantan anak buahnya itu. ”Itu kan pengakuan pribadi dia saja,” kata Seno. Kepada Tempo, Hassan Wirajuda tak mau mengomentari tuduhan itu. ”It’s not my business.” Imron Cotan memilih mengunci mulut soal tuduhan Ade Sudirman itu.

Menurut sumber Tempo di kejaksaan, dugaan gratifikasi masih jauh untuk dijeratkan ke Hassan dan Imron. ”Buktinya terus dikumpulkan,” ujarnya. Kata sumber ini, setidaknya kedua pejabat tersebut memang bisa dituduh melakukan pembiaran terjadinya kejahatan itu. Hanya, Imron bisa dinilai bersalah karena dia, pada 2008, menandatangani keputusan penunjukan langsung tujuh agen perjalanan. ”Penunjukan itu melanggar,” ujar sumber ini.

Dari dokumen yang diperoleh Tempo, penunjukan agen itu dituangkan lewat keputusan Menteri Luar Negeri. Selain tak transparan, ketentuan itu dianggap menabrak Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa. Penunjukan juga dianggap asal-asalan karena tak ada uji kelayakan kompetensi agen. Sumber Tempo di Biro Kepegawaian Kementerian Luar Negeri menambahkan, agen yang dipilih itu sebagian besar kawan lama. ”Yang itu-itu saja. Kalau ada yang baru, cuma satu atau dua.”

Keganjilan lain yang tengah ditelisik, menurut Arminsyah, soal pejabat yang menandatangani ketentuan penunjukan itu. Sebelumnya, yang menandatanganinya adalah Kepala Biro Kepegawaian. ”Kenapa jadi Sekjen,” katanya. Indonesia Corruption Watch juga meminta Imron dijadikan tersangka. ”Dia yang bertanggung jawab atas semua pengeluaran,” kata Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch. Kejaksaan sendiri tak mau terburu-buru. Menurut Arminsyah, pihaknya harus memiliki bukti yang kuat untuk menetapkan keterlibatan Imron. ”Ini baru administrasi, tunggu bukti lain,” katanya.

Babak baru pengusutan kasus dugaan korupsi tiket diplomat dimulai pada Kamis pekan lalu itu. Kepada penyidik, saat diperiksa di kediamannya, Ade Sudirman kembali menegaskan perihal surat pernyataannya yang belakangan dikenal sebagai ”testimoni Ade” itu. Ade menyerahkan sejumlah bukti soal gratifikasi yang diterima sejumlah pejabat di Kementerian Luar Negeri. ”Itu bukti adanya aliran dana,” kata pengacara Ade, Achmad Kholidin.

Pengakuan Ade juga bisa menjadi amunisi baru kejaksaan. Sejauh ini, memang sulit membuktikan kebenaran testimoni itu. Apalagi, ujar Arminsyah, penyidik hanya mengantongi salinannya. Sebelumnya, kendati pernah diperiksa, Ade tak pernah ditanya soal testimoni itu. ”Kalau sekarang dia mengaku, bisa didalami,” katanya.

Menurut sumber Tempo, sejumlah petunjuk memang mengarah ke Imron Cotan. Kepada penyidik, kasir Biro Keuangan Kementerian Luar Negeri, Adang Sudjana, mengaku dimintai Rp 25 juta per bulan oleh Imron melalui sekretarisnya. ”Tapi belum bisa dipastikan itu untuk apa,” kata pengacara Adang, Irfan Fahmi. Menurut sumber Tempo yang lain, saat diperiksa Inspektorat Jenderal, di brankas sekretaris Imron ditemukan uang Rp 600 juta. Uang itu diduga dari setoran rutin duit tiket.

Imron sendiri tak pernah mau bersuara ketika ditanya seusai pemeriksaan. Sejauh ini, kejaksaan sudah tiga kali memeriksa mantan Duta Besar Australia ini. Namun, menurut seorang sumber Tempo, kepada seorang temannya, Imron bersumpah tak terlibat dalam urusan tiket ini. Menurut sumber itu, Imron menduga Ade Sudirman tengah berupaya menyeret siapa pun pejabat di atasnya terlibat kasus yang menjeratnya.

Arminsyah mengakui, semua pengakuan Ade masih minim untuk menjerat seseorang dengan tuduhan menerima gratifikasi. Sampai saat ini, kejaksaan juga belum memeriksa Hassan Wirajuda. Kendati demikian, ia menegaskan kejaksaan akan terus menelisik perkara ini. ”Sabar, kami akan mengusutnya tuntas.”

Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus