Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDIRI di lahan seluas sekitar 660 meter persegi, Rumah Duka Atma Jaya di kawasan Pluit Raya itu nyaris tak pernah sepi. Kamis pekan lalu, misalnya, saat Tempo bertandang ke rumah duka berwarna hijau muda itu, puluhan karangan bunga dan mobil menyesaki halamannya. Rumah duka itu tengah mendapat ”order” penyemayaman sejumlah jenazah. ”Rata-rata ada sembilan puluh jenazah tiap bulan,” kata Robert T. Sirait, Direktur Utama PT Naga Sakti, pengelola rumah duka itu.
Ini memang bukan bisnis biasa. Dari bisnis rumah duka yang beroperasi sejak 1 Januari 1997 itu, setiap bulan PT Naga Sakti mendapat pemasukan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Selain dari penyewaan tempat, pemasukan diraup, antara lain, dari penjualan peti mati. Untuk bisnis ini, Naga Sakti bekerja sama dengan Yayasan Atma Jaya. Yayasan penyedia lahannya, Naga Sakti pengelolanya.
Nah, hubungan bisnis itu kini retak dan berlabuh di pengadilan. Atma Jayalah yang lebih dulu mengadukan Naga Sakti ke pengadilan. Atma Jaya menuding mitranya mencederai janji, tak membagi keuntungan yang selama ini disepakati. Bukannya mengkeret, Naga Sakti justru menggugat balik Atma Jaya. Naga Sakti menuduh Atma Jaya juga melakukan wanprestasi.
Naga Sakti bahkan lebih maju lagi. Mereka meminta pengadilan melakukan sita jaminan (conservatoir beslag) atas aset-aset Yayasan Atma Jaya. Pada 3 November lalu, pengajuan sita jaminan itu dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sejumlah gedung milik Atma Jaya pun disita, di antaranya Rumah Sakit Atma Jaya, Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, juga rumah duka itu sendiri.
Perang antara Atma Jaya dan Naga Sakti juga muncul di media massa lewat ”iklan pemberitahuan”. Menurut Denny Kailimang, pengacara Yayasan Atma Jaya, Naga Sakti jelas-jelas melakukan wanprestasi lantaran tak membayar keuntungan dari usaha Rumah Duka Atma Jaya itu. ”Selama tiga tahun ini tidak ada pembagian keuntungan untuk Atma Jaya,” katanya.
Adapun Robert punya alasan kenapa ia emoh membagi rezeki yang masuk ke kas Naga Sakti. ”Kami tak mau membagi keuntungan sebelum ada kejelasan status tanah rumah duka itu,” katanya tegas.
RUMAH duka yang kini terbilang paling laris di seantero Jakarta Utara itu memang lahir dari kerja sama Yayasan Atma Jaya dan Yayasan Naga Sakti lewat perjanjian pada 23 Januari 1996. Akta itu diteken oleh ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing yayasan. Yayasan Naga Sakti sendiri, pada Desember 2008, berubah badan hukum menjadi perseroan terbatas (PT).
Untuk modal bisnis rumah duka ini, menurut Robert, Naga Sakti menyetor Rp 1,125 miliar. Dana itu digunakan untuk membangun gedung tiga lantai dan membeli peralatan. Adapun Yayasan Atma Jaya, yang menyediakan lahannya, menyetor Rp 300 juta. Perjanjian kerja sama disepakati berlaku dua puluh tahun dan dapat diperpanjang. ”Pembagian keuntungan lima puluh-lima puluh,” kata Denny Kailimang.
Rumah duka ini ternyata banyak peminatnya. Fulus pun mengalir deras ke kantong Naga Sakti, perusahaan yang ditunjuk mengelola rumah ini. Tahun pertama, misalnya, usaha ini sudah menghasilkan laba sekitar Rp 250 juta. Keuntungan awal ini tak dibagi, tapi digunakan untuk menambah modal. Tahun-tahun berikutnya, keuntungan dari penyewaan ”ruang persemayaman jenazah” ini terus meningkat. Pada 2000, misalnya, neraca keuntungan mencatat Rp 9 miliar. Lima tahun kemudian, angka ini melonjak jadi sekitar Rp 15 miliar.
Menurut Robert, kesuksesan itu berkat kerja keras Direktur Rumah Duka Atma Jaya, Suwito Muliadi, yang juga Ketua Yayasan Naga Sakti. ”Dia turun tangan sendiri mencari klien,” katanya. ”Termasuk ikut memandikan jenazah.” Denny Kailimang mengakui yayasan tak mengurusi hal-hal demikian. ”Kami hanya terima bersihnya,” ujarnya.
Dua tahun silam kerja sama itu mulai tak mulus. Naga Sakti mogok membayar keuntungan yang semestinya juga disetor ke rekening Atma Jaya. Menurut Robert, Naga Sakti melakukan ini karena mengetahui Yayasan Atma Jaya melakukan kecurangan. Yayasan, secara sepihak, telah menarik tanah rumah duka itu dari aktiva tetap. Rumah duka harus membayar sewa tanah itu ke Atma Jaya.
Menurut Suwito Muliadi, pihaknya baru mengetahui ”hilangnya” tanah itu saat meneliti neraca keuangan 2006. ”Tanah itu ternyata sudah hilang dari pembukuan sejak 1997,” katanya. Menurut Suwito, pihaknya tidak tahu ada kecurangan tersebut karena selama ini yang memegang pembukuan pihak Atma Jaya.
Berhentinya setoran dari PT Naga Sakti itu membuat Yayasan Atma Jaya bereaksi. Lantaran Naga Sakti tetap berkukuh tak mau membagi lagi hasil laba bisnis rumah duka itu, Atma Jaya pun, pada 24 April silam, membawa kasus ini ke pengadilan. Atma Jaya menuntut Naga Sakti membayar tunggakan setoran selama tiga tahun sejak 2007. Menurut Denny, jumlah yang seharusnya diterima yayasan pada 2007 saja sekitar Rp 4 miliar. ”Keuntungan dua tahun terakhir kami tidak tahu karena angkanya dipegang Naga Sakti,” ujar Denny.
Gugatan inilah yang membuat Naga Sakti mengeluarkan ”kukunya”. Pada 18 Juni silam mereka ganti menggugat Atma Jaya. Salah satu yang dipersoalkan, hasil keuntungan dari penjualan peti mati yang selama ini ikut dinikmati Atma Jaya. Menurut Naga Sakti, modal bisnis peti mati itu murni dari kocek mereka. Naga Sakti menghitung, keuntungan yang dinikmati Atma Jaya dari penjualan peti mati ini, sejak 1997, sekitar Rp 56 miliar.
Naga Sakti juga menilai keuntungan yang selama ini dibagikan kepada Atma Jaya terlalu besar. Menurut Robert, modal Atma Jaya, setelah tanah itu ditarik, hanya 21 persen. ”Jadi seharusnya bagian keuntungan kami lebih besar,” kata Robert. Dengan dasar itulah, Naga Sakti menuntut yayasan membayar ganti rugi senilai Rp 120 miliar.
Denny menampik jika Naga Sakti disebut tak mengetahui adanya penarikan tanah itu. Menurut dia, sejak awal tidak ada keberatan dari Naga Sakti soal ini. ”Sudah berjalan sepuluh tahun, kok baru diributin,” katanya.
Yang menjadi keheranan Denny adalah perihal sita jaminan yang ”luar biasa” itu—meliputi berbagai aset milik Atma Jaya. Sita jaminan yang dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu, kata dia, janggal karena seharusnya menunggu dulu selesainya proses pembuktian di persidangan. ”Ini belum selesai sudah disita,” katanya.
Tapi, kepada Tempo, juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Prim Haryadi, menampik jika dikatakan sita jaminan yang mereka lakukan menyalahi ketentuan. Sita jaminan, kata dia, dapat diputuskan setelah tergugat menyampaikan jawaban. Menurut Prim, pengadilan sudah berusaha menyelesaikan perkara ini dengan jalan perdamaian. Hakim sudah mempertemukan Naga Sakti dan Yayasan Atma Jaya. ”Tapi selalu gagal,” ujarnya. Apa boleh buat, ”bisnis jenazah” ini tampaknya memang berakhir pahit. Jika Naga Sakti menang, bisa-bisa sebagian aset Atma Jaya bakal melayang.
Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo