Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBUNGAHAN itu tak berumur panjang. Awalnya, Kamaludin Arfah gembira bukan kepalang tatkala mendengar kabar Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah yang berkaitan dengan ujian nasional. Ini memang penting buat Kepala Sekolah Menengah Umum Irnas Makassar itu. Kamaludin menilai ujian nasional memang belum tepat dilaksanakan lantaran jomplangnya kualitas tiap sekolah.
Tapi rupanya ia salah terka. Putusan Mahkamah itu ternyata tak melenyapkan ujian nasional. Bahkan, nah ini yang membuat dia masygul, Menteri Pendidikan Muhammad Nuh menegaskan ujian nasional tahun ini tetap ada. Itulah yang membuat Kamaludin kecewa. ”Guru yang mendidik, tapi orang lain yang menentukan kelulusannya,” ujarnya kepada Tempo.
Kamaludin memang punya peng- alaman buruk dengan ujian nasional ini. Tahun lalu, dari 24 siswanya yang ikut ujian itu, tak seorang pun lolos. Sebenarnya, SMU yang terletak di dekat masjid itu bukanlah satu-satunya SMU di Makassar yang siswanya tercatat paling banyak jeblok ketika mengikuti ujian nasional. Di Makassar, tercatat ada lima sekolah yang tingkat kelulusannya tidak mencapai seratus persen.
Kegagalan melewati ujian nasional itulah yang menyebabkan 58 siswa ”korban ujian nasional” mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan yang diajukan pada 2006 itu awalnya ditolak pengadilan lantaran para penggugat belum cukup umur. ”Terpaksa para orang tua dan guru yang maju mengusung gugatan citizen law suit ke pengadilan,” kata Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia, salah seorang penggagas ”gugatan unas” itu.
Menurut Iwan, ide gugatan memang berawal dari banyaknya keluhan seputar ujian nasional. Bersama sejumlah orang tua yang anaknya tak lulus ujian, termasuk artis Sophia Latjuba, Irwan mendatangi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Mereka meminta LBH menjadi tim advokasi. LBH setuju. Maka lahirlah Tekun (Tim Advokasi Korban Ujian Nasional), yang lantas mendaftarkan gugatan tersebut pada September tiga tahun silam. Inti gugatan: meminta ujian nasional tidak dijadikan syarat kelulusan. Selain gugatan primer itu, para pemohon menyertakan gugatan subsider, antara lain meminta kebijakan pendidikan dievaluasi.
Pada 12 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Ketua majelis hakim, Adriani Nurdin, menyatakan tergugat, Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi pendidikan, khususnya di daerah pedesaan.
Diputus seperti ini, para tergugat, melalui Kejaksaan Agung sebagai pengacara mereka, mengajukan permohonan banding. Namun banding ini ditolak pengadilan tinggi. Pengadilan tetap mengukuhkan putusan pengadilan negeri. Tidak puas dengan hasil tersebut, pemerintah mengajukan permohonan kasasi. Hasilnya, ya itu tadi. Pertengahan September lalu, Mahkamah menolak permohonan kasasi. Artinya, putusan pengadilan negeri tetap berlaku.
Di mata penggugat, dengan putusan ini, ujian nasional tidak boleh dilaksanakan. Alasannya, pemerintah mesti memenuhi dulu poin putusan yang diketuk pengadilan negeri. Dalam putusan pengadilan negeri, memang disebutkan, ”Memerintahkan tergugat meningkatkan kualitas guru dan kelengkapan sarana-prasarana pendidikan dan akses informasi pendidikan di seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan ujian nasional.”
Putusan ini ditafsirkan berbeda oleh Departemen Pendidikan Nasional. Muhammad Nuh menyatakan tak ada pelarangan ujian nasional. Ujian nasional 2010, ujarnya, tetap akan ada. Menurut Nuh, jika mengacu pada pemenuhan kualitas guru dan sarana-prasarana, sampai kiamat pun tak akan terpenuhi. ”Yang penting ada upaya meningkatkan kualitas,” katanya.
Nuh juga punya alasan lain. Gugatan itu, ujarnya, terjadi sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan dipenuhinya anggaran pendidikan menjadi 20 persen. Menurut Nuh, setelah putusan itu, departemennya tengah menggenjot perbaikan kualitas guru, peningkatan sarana dan akses informasi. Ujian nasional sebagai syarat kelulusan, ujarnya, itu juga merupakan bentuk apresiasi terhadap siswa. ”Jika ujian difungsikan hanya sebagai pemetaan, itu percuma,” ujarnya.
Ketua Federasi Guru Independen Indonesia, Suparman, menuding Nuh sekadar mencari celah dari putusan Mahkamah Agung. Menurut Suparman, klaim Departemen Pendidikan yang menyatakan telah meningkatkan kualitas guru itu jauh dari kenyataan. Dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia, ujarnya, baru 500-an yang bisa dikategorikan berkualitas. Jumlah ini mengacu pada hasil sertifikasi guru. Demikian juga dengan kewajiban lainnya seperti pemenuhan sarana dan prasarana. Semuanya, kata Suparman, jauh dari harapan.
Suparman menyatakan pihaknya memang tidak serta-merta, dalam gugatannya, meminta ujian nasional dihentikan. Federasi Guru, ujarnya, memahami ada kepentingan lebih luas dari ujian nasional itu, antara lain untuk ”pemetaan” pendidikan di Indonesia. ”Kami hanya minta ujian nasional tidak dijadikan penentu kelulusan siswa,” katanya.
Sampai kini memang terjadi penafsiran berbeda antara para penggugat dan tergugat perihal putusan Mahkamah Agung ini. Ketika Tempo meminta ketegasan isi putusan itu kepada Hatta Ali, salah satu hakim agung yang memegang perkara itu, Hatta hanya menggelengkan kepala. ”Maaf, kami tak bisa membuat pendapat dan penafsiran,” ujarnya pendek.
Tafsir atas putusan Mahkamah justru datang dari Kepala Biro Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Nurhadi, Selasa pekan lalu. Menurut Nurhadi, Mahkamah Agung menyatakan ujian nasional tetap bisa dilakukan tahun depan dan seterusnya. ”Sebab, dalam amar putusan majelis kasasi, ujian nasional tidak dilarang,” katanya.
Pendapat ini memicu kontroversi. Menurut Koordinator Tim Advokasi Korban Ujian nasional, Gatot Goey, pernyataan itu menyesatkan dan mengaburkan inti permasalahan yang diajukan korban ujian nasional. Mahkamah juga tidak berhak menentukan boleh-tidaknya ujian nasional. ”Kepala Humas melampaui kewenangan hakim,” katanya.
Pakar hukum perdata dari Universitas Indonesia, Rosa Agustina, punya pendapat soal putusan ini. Menurut guru besar hukum ini, meski secara eksplisit tidak disebutkan ujian nasional dilarang, secara implisit jelas dikatakan bahwa harus ada pembenahan lebih dulu sebelum penyelenggaraan ujian nasional dilanjutkan. ”Jadi, tidak ada ujian nasional sebelum sejumlah syarat itu dipenuhi,” katanya. Menurut dia, jika pihak Departemen Pendidikan mengatakan telah melakukan pembenahan dan tetap menggelar ujian nasional, itu jelas keliru. ”Adanya putusan yang meminta dilakukan pembenahan mengindikasikan pembenahan belum selesai,” ujarnya.
Rosa juga menunjuk amar putusan yang menyatakan pemerintah lalai melindungi hak asasi, terutama hak atas pendidikan dan hak anak. Menurut Rosa, jika pemerintah tetap melanjutkan ujian nasional tanpa memperhatikan syarat itu, artinya pemerintah meneruskan kelalaian itu. Rosa menilai, yang disampaikan Kepala Biro Humas Mahkamah Agung adalah pendapat pribadi, bukan institusi. ”Amarnya jelas, kok,” ujarnya.
Apa boleh buat, debat tafsir ini tampaknya bakal panjang. Federasi Guru Independen kini berancang-ancang meminta bantuan DPR menuntaskan masalah ini. ”Kami akan ke DPR untuk mencari jalan keluar dari polemik ini,” kata Suparman.
Ramidi, Dianing Sari, Sukmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo