INILAH sebuah sandiwara yang batal karena pemainnya menyebal dari skenario. Dalam sidang Pengadilan Negeri Medan, Rabu pekan lalu, Syamsiah, yang disebut-sebut melakukan pengguguran kandungan, ternyata belum pernah hamil. Padahal, tindakan abortus saksi itulah yang menyebabkan Bidan Chrestina Bunga Beru Manik diseret ke pengadilan sebagai terdakwa. "Saya dipaksa Adan Sebayang untuk mengaku hamil dan menggugurkan kandungan," kata Syamsiah, pelacur bertubuh gemuk itu. Kalau ia menolak, katanya, Adan akan menjebloskannya ke tahanan Koramil. Paulina, seorang saksi yang lain, pun di depan sidang mengaku disuruh berpura-pura menyaksikan Syamsiah diaborsi. Ia, bukan rekan seprofesi Syamsiah, dijanjikan hadiah Rp 5 Juta. Maka, tuduhan jaksa terhadap Bidan Chrestina, 58, pensiunan Dinas Kesehatan Kota di Medan, kehilangan kekuatannya. Padahal, dakwaan itu diperkuat dengan dua surat keterangan dari dr. Sempurna Sembiring. Satu menerangkan bahwa Syamsiah hamil. Dan, surat kedua menyatakan ia mengalami perdarahan karena menggugurkan kandungannya. Ternyata, menurut pengakuan Syamsiah, semua itu hanya sandiwara. Penulis skenario beserta sutradaranya tak lain adalah Adan Sebayang, kapten TNI-AD purnawirawan yang kini bekerja sebagai pengacara. Begini pengakuan Syamsiah. Mulanya ia diajak "main" oleh Adan, bapak 5 anak, dan dibayar Rp 5 ribu. Lalu lelaki yang pintar bicara ini mengatakan bahwa Syam berpenyakit sifilis yang perlu segera diobati. Wanita itu mau saja disuruh ke klinik bersalin Manik, milik Bidan Chrestina, karena Adanlah yang menanggung biayanya. Pada 8 Februari Syamsiah benar-benar pergi ke klinik tersebut ditemani Paulina - yang telah disiapkan Adan. Tengah pemeriksaan dilakukan oleh Bidan Chrestina, muncul dua lelaki yang langsung menuduh bidan itu melakukan aborsi. Chrestina beserta sejumlah peralatan - antara lain pinset dan alat penjahit luka dan sekotak obat-obatan - diboyong ke kantor Koramil. Ia diperiksa sebelum akhirnya diserahkan ke polisi. Esoknya, 9 Februari 1985, Adan mengajak Syamsiah dan Paulina ke Dokter Sempurna - yang kemudian melahirkan dua surat keterangan itu. Dalam kesaksiannya Rabu pekan lalu, Dokter Sempurna membenarkan kedatangan mereka ke tempat prakteknya. Ketika itu, katanya, Syamsiah mengalami perdarahan. Ia tak bisa memastikan penyebabnya, apakah karena menstruasi atau aborsi, "Karena gejalanya sama." Dan karena diminta Adan, seorang sahabatnya, katanya, ia mengeluarkan surat keterangan yang menyebutkan bahwa perdarahan tersebut akibat aborsi. Ditambah satu surat keterangan lagi, yang isinya menyebutkan bahwa pada 20 Desember 1984 - satu setengah bulan sebelumnya - Syamsiah datang memeriksakan diri kepadanya. Berdasar tes dipastikan bahwa wanita itu hamil. Jadi, keterangan tentang kehamilan itu baru dibuat pada 9 Februari 1985, juga "Karena permintaan Adan yang mewakili Syamsiah." Di depan sidang, karena pertanyaan hakim, Sempurna mengoreksi pernyataannya soal kehamilan itu. Air seni Syamsiah memang mengandung hormon, tapi belum bisa dipastikan wanita itu benar-benar telah hamil. Sebab, bisa saja hormon yang ada diakibatkan oleh suatu penyakit tertentu. Surat keterangan itu disebutkannya sebagai "hanya kesalahan redaksinya". TAPI Syamsiah sendiri menyangkal telah diperiksa oleh Dokter Sempurna. Ketika datang, katanya, ia hanya disuruh duduk di ruang praktek. Surat keterangan dibuat begitu saja, setelah Sebayang, Batak Karo asli, asyik berbincang dalam bahasa Karo - yang tak dimengerti olehnya - dengan Sempurna. Syamsiah juga menyangkal keras bahwa ia pernah datang ke Dokter Sempurna mengeteskan kehamilan pada bulan Desember 1984. Siapa yang memberikan keterangan benar? Belum jelas. Yang pasti, seumpama Syamsiah mengatakan bukan yang sebenarnya, artinya keterangan Dokter Sempurna benar, tetap saja dokter itu bisa dituntut. Pertama, soal aborsi itu. Bahwa perdarahan belum tentu disebabkan oleh aborsi, padahai ia memberikan surat aborsi, tentu diragukan ketaatan saksi pada kode etik kedokteran. Kedua, tentang kehamilan itu, yang juga sebenarnya belum pasti benar. Apalagi, bila ternyata Syamsiah yang benar. Maka, dokter itu bukan saja melanggar kode etik profesinya, tapi telah melanggar hukum: memberikan keterangan palsu. Apa kata Adan, lelaki berusia 47 ini? Dia membantah keras seolah telah membuat skenario soal abortus, untuk menjerumuskan Chrestina. "Syamsiah, dan Paulina, telah mencemarkan nama baik saya. Akan saya adukan kepada pihak berwajib," katanya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Dua pembela Chrestina menduga, perkara ini jangan-jangan ada hubungannya dengan persengketaan antara Chrestina dan Adan, tahun 1984. Adan, kala itu, dituduh memalsukan akta surat kuasa, hingga rumah yang dikuasakan kepadanya untuk dijualkan jatuh ke tangannya. Rumah itu adalah rumah Chrestina. Perkara pemalsuan akta ini berlarut-larut, hingga pekan lalu pun masih ada sidang pengadilannya - sidang yang kesekian kalinya. Dalam sidang itu Adan dituntut hukuman 3 bulan penjara. Pekan ini, sidang abortus dilanjutkan. Siapa tahu, Chrestina, lulusan sekolah bidan RSU Pirngadi, Medan, dan R.S. Bethesda, Yogyakarta, angkatan 1950-an, yang pendiam ini balik menuntut pengacara berkulit putih yang selalu necis itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini