SEORANG ibu dengan wajah menahan marah, suatu hari mendatangi sekolah anaknya. Di meja kepala sekolah dibukanya rapor si anak, kelas I SD, lalu di samping rapor, dibeberkan selembar kertas laporan hasil tes psikologi. Rapor triwulan kedua anak ibu itu penuh angka merah. Sementara pada lembar hasil tes psikologi, pada kolom IQ (angka kecerdasan) tercantum angka 125. Dan itulah yang dipersoalkan si ibu: mengapa anaknya yang tergolong punya kecerdasan di atas rata-rata (IQ rata-rata 100-110), angka rapornya merah melulu. Apakah sekolah tak melakukan kesalahan? Itulah cerita seorang psikolog yang bekerja untuk sebuah perguruan swasta di Jakarta, tentang salah seorang orangtua murid di situ. Ini memang bukan cerita baru - terjadi sekitar tiga tahun lalu - tapi contoh ini tetap relevan, menjelang tes masuk murid baru. Sudah jadi model tampaknya, bagi sekolah-sekolah swasta yang favorit untuk mensyaratkan tes psikologi di samping nilai ebtanas murni (NEM), buat alat seleksi. Pokoknya tes psikologi biasanya jadi ramai menjelang penerimaan murid baru, yang tahun ini akan dimulai bulan depan. Bahkan dua minggu lalu, majalah Ayahbunda, bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis di Jakarta, membuka satu seminar tentang tes psikologi dan pendidikan. Yang terjadi dengan tes psikologi di Indonesia memang aneh. Masuk TK tes, mau masuk SD tes, mau masuk SMP tes, dan seterusnya. Padahal, menurut Menteri P 8 K Fuad Hassan, yang kebetulan guru besar psikologi dari Fakultas Psikologi UI, "hasil tes pada prinsipnya tak berubah bila jarak tes hanya beberapa tahun." Tapi, tambah Menteri kepada Indrayati dari TEMPO, seorang anak yang sama-sama punya IQ 100 dari tes psikologi, misalnya, belum tentu pula punya kemampuan sama. "Selain angka itu hanya menunjukkan ukuran kuantitatif, ada berbagai faktor lain terhadap keberhasilan seorang siswa," kata Fuad pula. Contohnya adalah anak si ibu yang diceritakan di muka. Setelah psikolog sekolah mencoba mengetahui latar belakang kegagalan si anak di sekolah, diketahuilah anak itu punya hambatan mental di rumah. Ayah ibunya sibuk bekerja, ia sejak kecil hanya diasuh oleh pembantu. Anak itu kekurangan kasih sayang, dan lebih banyak pasif daripada kreatif, karena di rumah ia hanya dibiarkan saja. Dan, repotnya, tes psikologi sebenarnya ada bermacam-macam tergantung tujuan tes tersebut. Dan ini tampaknya tak disadari para orangtua, dan jangan-jangan juga pihak sekolah. Yoke Siagian dari Biro Konsultasi Psikologi Yayasan Paramartha, Jakarta, terus terang selalu mengatakan kepada kliennya, keterbatasan tes ini. Dicontohkannya, pada tes untuk mengetahui kemungkinan keberhasilan seorang anak di sekolah, hasil tes tidaklah mutlak menentukan. Dalam tes ini biasanya, selain tingkat kecerdasan, juga diukur ketekunan, ketelitian, daya tahan belajar di bawah stress, dan beberapa faktor lagi. Tapi, itu semua masih juga tergantung sistem dan suasana sekolah, untuk melihat kemungkinan keberhasilan itu. Satu dan lain sekolah memberikan kondisi berbeda. Itulah salah satu sebab, kata Fuad Hassan pula, yang menjadi landasan dikeluarkannya larangan bagi sekolah negeri, terhitung sejak 1984, untuk menyeleksi murid baru lewat tes psikologi. "Seperti orang yang tahu tekanan darahnya sendiri, tapi ia 'kan tak tahu apa itu artinya, dan penyakit apa yang dikandungnya, hingga bagaimana pencegahan atau pengobatannya agar tetap sehat," tambah Menteri pula. Maksudnya, ya, itu tadi, banyak faktor menentukan sukses seorang murid, tidak bisa hanya diramalkan lewat tes psikologi - yang mulai diperkenalkan di Indonesia pada 1953, oleh Prof. Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi UI itu. Selain itu, biro-biro psikologi itu sendiri perlu diwaspadai, kata Nyonya Saparinah Sadli, juga seorang guru besar psikologi dari UI, yang dalam seminar dua pekan lalu itu jadi moderator. Bahkan Nyonya Sadli, sudah sejak ketika dilantik jadi guru besar 1980, merasa khawatir dengan sepak terjang biro-biro tes itu. "Jangan-jangan ada reduksi materi tes, hingga hasil tes diragukan kebenarannya," katanya. Satu tes psikologi yang benar, kata bekas Dekan Fakultas Psikologi UI ini, tak mungkin menampung misalnya 200 anak sekaligus. Selain itu, pun diperlukan beberapa kali tes, beberapa kali wawancara, sebelum hasil tes dievaluasi. "Dan itu memerlukan ongkos," tambahnya. Maka, bila sebuah sekolah menyelenggarakan tes ramai-ramai dengan ongkos hanya Rp 5 ribu, hasilnya perlu dipertanyakan. Tak berarti tes psikologi tak ada gunanya sama sekali. Agung Marwoto, Kepala SMA Loyolla, Semarang, umpamanya, kepada TEMPO mengaku "sekitar 90% ramalan tes psikologi di sekolah ini tepat." Maksudnya, sebagian besar siswa yang oleh hasil tes dinyatakan baik, keberhasilan belajarnya pun ternyata baik. Yang perlu dipertanyakan yakni, yang dikatakan "baik" oleh tes itu bagaimana, dan yang kemudian diterima di sekolah itu yang bagaimana pula. Sebab, ada sebuah sekolah swasta di Jakarta, yang menerima murid baru hanya yang punya IQ 120 ke atas berdasar tes psikologi. Tentu saja, kemudian sukses para siswa di sini sangat bisa diandalkan - apalagi ditambah sistem dan disiplin yang baik dari pihak sekolah. Dalam kalimat lain, karena yang diterima memang siswa-siswa berpotensi tinggi maka mereka kebanyakan berhasil - dan bukan karena tes psikologi sukses itu dicapai. Kembali pada kekhawatiran Nyonya Sadli terhadap biro-biro psikologi yang banyak berdiri di kota-kota besar, perlu dicatat bahwa materi tes tak bisa berlaku seumur hidup. Dan inilah yang sudah lama dicita-citakan guru besar psikologi, yang hingga kini belum terlaksana, bagaimana bisa diadakan semacam pemantauan hingga biro-biro itu tetap bisa dipercaya validitas tesnya. Mungkin untuk memberi informasi kepada pihak sekolah, jalan cepat yang bisa ditempuh, guna menghadapi penerimaan murid baru bulan depan, diumumkan saja biro-biro psikologi yang dianggap kerjanya benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini